“Halah, aku mana mungkin minta uang, Kang. Wong uangnya juga nggak ada!”
“Justru karena nggak ada itu, aku tiap hari berupaya biar ada duit. Itu bukti, kamu nggak salah pilih lelaki, yang tiap harinya mau berkeringat cari duit. Daripada dapat Darminto, tampangnya keren tapi masih disubsidi Bapaknya!”
“Sudah, jalan saja. Genjot yang kencang. Jangan ngungkit-ungkit masa lalu!”
Mereka berdua semangat. Tertawa sepanjang jalan menuju alun-alun kota kabupaten.
Satu kilometer sebelum sampai, Jumali meredakan kayuhannya. Mengarahkan stang ke tepi jalan, sembari menekan lembut tuas rem kiri. Sepeda pun berhenti dengan damai.
“Sekarang, gantian. Kamu yang nggenjot. Biar orang tahu, kamu perempuan pembahagia suami!”
Karsiem mencubit pantat suaminya. Lelaki itu kaget. Kakinya berjinjit menahan japitan dua ujung jari yang mencucuk daging bagian bawah pantatnya. Beberapa orang pejalan kaki menatap adegan itu. Mengingatkan film Ramadan dan Ramona yang diperankan Lidya Kandau dan Jamal Mirdad. Sebuah komedi romantis.
***
Ratusan orang lalu lalang. Jumali mencoba menghitung sekenanya. Berdesakan, bersenggolan, berpapasan, bahkan ada pula yang bertegur sapa karena kenal. Semrawut, pikir Karsiem yang baru kali ini bermalam tahun baru di alun-alun. Jumali meralat hitungannya. Bukan ratusan atau beratus-ratus. Tapi ribuan. Atau lebih pantas disebut beribu-ribu orang memadati alun-alun.
Keduanya terkagum-kagum dengan kepadatan ini. “Begitu pentingkah malam tahun baru di alun-alun?” tanyanya dalam hati.
Mereka berdua menggelar sarung di tempat yang agak jauh dari kebanyakan orang. Hingga matanya bisa menangkap lebih luas pemandangan malam itu. Penjual bakso, mi ayam, balon, soto, siomay. Apalagi…, semua mencari peruntungan. Termasuk para tukang parkir liar, para lelaki itu tak kalah trengginas mengumpulkan seribu-demi seribu.
Puncak perayaan semakin dekat. Penonton berdiri melihat angka digital yang bergerak menuju 00.00. Dari tengah panggung alun-alun, seseorang dengan pengeras suara melakukan hitung mundur.