“Tapi Janji ya, gantian nggenjot.”
Lelaki tiga puluh satu tahun itu lantas menyiapkan sepedanya. Tekanan ban disesuaikan dengan beban yang akan ditimpakan pada sepeda. Ia pencet kedua ban satu demi satu, dengan ibu jari dan telunjuk yang ditempelkan pada sisi luar ban. Persis capit urang. Ia tekan keras sampai tiga kali. Ned…ned…ned, rasanya seperti mendengar suara itu, saat lelaki itu menekan karet ban.
Cukup untuk dua orang: satu kuintal lebih, pikirnya. Ini belum seberapa dibandingan dengan dua karung gabah atau rumput yang biasa ia letakkan di atas batangan dan boncengan sepeda merk Dames. Sepeda pemberian dari mantan Kades, yang merasa percuma menyimpan sepeda tak terpakai. Mending untuk yang membutuhkan, katanya kepada Jumali, lima tahun yang lalu.
Karsiem tak kalah sigap. Sebungkus plastik berisi kacang goreng ia taruh di atas meja. Dua botol air minum kemasan ia isi ulang dengan air masakannya. Semua untuk bekal malam nanti.
“Bawa tikar apa nggak, Kang?” tanya Karsiem
“Nggak usah. Kita gelar sarung saja. Biar ringkas, mudah dibawa. Enteng.”
Karsiem tersenyum simpul. Ia kagum dengan jawaban suaminya yang singkat, jelas dan argumentatif.
Pukul 09.00 malam masih belia. Lalu lintas mulai padat. Suami istri itu melintasi jalan raya meninggalkan huniannya, beradu dengan deru motor-motor berkenalpot bobokan. Suaranya menggelegar, memacu adrenalin si pengendara. Karsiem jadi kaget, jengkel dengan suara motor yang gasnya dimain-mainkan itu.
“Sompret. Bajindul!” teriak perempuan itu misuh-misuh.
Lantas, ia mengarahkan senter yang ada di tangan kanannya ke arah mata penunggang motor tanpa helm itu. Anak muda itu gelagapan. Silau. Motornya nyaris terarah ke parit pinggir jalan. Jumali cekakakan. Kali ini ia yang kagum pada keberanian istrinya.
“Itu, kenapa aku mengawinimu, Kar. Aku butuh perempuan pendamping yang punya nyali menghadapi pelecehan dari orang lain. Bukan perempuan yang cuma minta uang, ha ha ha!”