Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: 1 Januari dan Satu Cerita Tersisa

2 Januari 2016   07:13 Diperbarui: 3 Januari 2016   14:05 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Tapi Janji ya, gantian nggenjot.”

Lelaki tiga puluh satu tahun itu lantas menyiapkan sepedanya. Tekanan ban disesuaikan dengan beban yang akan ditimpakan pada sepeda. Ia pencet kedua ban satu demi satu, dengan ibu jari dan telunjuk yang ditempelkan pada sisi luar ban. Persis capit urang. Ia tekan keras sampai tiga kali. Ned…ned…ned, rasanya seperti mendengar suara itu, saat lelaki itu menekan karet ban.

Cukup untuk dua orang: satu kuintal lebih, pikirnya. Ini belum seberapa dibandingan dengan dua karung gabah atau rumput yang biasa ia letakkan di atas batangan dan boncengan sepeda merk Dames. Sepeda pemberian dari mantan Kades, yang merasa percuma menyimpan sepeda tak terpakai. Mending untuk yang membutuhkan, katanya kepada Jumali, lima tahun yang lalu.

Karsiem tak kalah sigap. Sebungkus plastik berisi kacang goreng ia taruh di atas meja. Dua botol air minum kemasan ia isi ulang dengan air masakannya. Semua untuk bekal malam nanti.

“Bawa tikar apa nggak, Kang?” tanya Karsiem

“Nggak usah. Kita gelar sarung saja. Biar ringkas, mudah dibawa. Enteng.”

Karsiem tersenyum simpul. Ia kagum dengan jawaban suaminya yang singkat, jelas dan argumentatif.

Pukul 09.00 malam masih belia. Lalu lintas mulai padat. Suami istri itu melintasi jalan raya meninggalkan huniannya, beradu dengan deru  motor-motor berkenalpot bobokan. Suaranya menggelegar, memacu adrenalin si pengendara. Karsiem jadi kaget, jengkel dengan suara motor yang gasnya dimain-mainkan itu.

“Sompret. Bajindul!” teriak perempuan itu misuh-misuh.

Lantas, ia mengarahkan senter yang ada di tangan kanannya ke arah mata penunggang motor tanpa helm itu. Anak muda itu gelagapan.  Silau. Motornya nyaris terarah ke parit pinggir jalan. Jumali cekakakan. Kali ini ia yang kagum pada keberanian istrinya.

“Itu, kenapa aku mengawinimu, Kar. Aku butuh perempuan pendamping yang punya nyali menghadapi pelecehan dari orang lain. Bukan perempuan yang cuma minta uang, ha ha ha!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun