“Tum, aku pengin banget peluk kamu,” kata Sinarjo, suatu ketika di pinggir kali saat senja masih perawan menebar rona merahnya.
Tumini tersipu. “Wih, Kang Sinarjo. Malu ah”
“Ayolah Tum”
“Emoh…..”
“Tum….”
“Emoh……”
Tumini lantas menjauh dari rayuan Sinarjo. Berlari kecil di atas bebatuan tepian kali.
“Peluk saja batu besar itu,” ia sedikit berteriak sambil menoleh ke belakang, menunjuk batu besar yang baru dilewatinya. “ Pasti anget!”
Itu cara dia menolak permintaan nakal perjaka yang tengah kasmaran. Sayang, Tumini lengah.
"Auh!" Ia terantuk batu dan tubuhnya tengkurep mendekap bumi.
Sinarjo malah tersenyum. “Oh, Tumini, andaikan saja kamu mau………..”
Tampaknya, Sinarjo mulai ancang-ancang keluar dari persembunyian. Dibenahi sarungnya, dilingkarkan pada perut. Ujung sisi sarung disatukan ke depan dalam sebuah ikatan.
Perempuan yang tengah diincar bujangan ini mulai bergerak menjauh dari pintu rumah. Aman, pikir Sinarjo. “Satu, dua, tiga” Ia mengitung dalam benaknya.
Secepat itu, ia memburu dari belakang. Hanya hitungan tak sampai satu menit. Tanpa permisi dan ba bi bu, ia dekap erat-erat. Perempuan itu sesak nafas dan meronta. Suaranya seketika keras keluar.