Syahdan.
Perempuan yang didekapnya pada malam itu langsung menjerit. Meronta. Sinarjo kebingungan. Pemuda yang sebentar lagi genap seperempat abad itu sesaat gagap tingkah. Ia tengok kanan dan kiri. Secepatnya ia pergi berlalu, sebelum teriakan minta tolong perempuan tadi, menarik orang banyak mengarah ke dirinya, di situ.
Ia segera berlari. Bersembunyi pada semak-semak pinggir kali kecil tak jauh dari tempat tadi. Sarung yang ia bawa dijadikan pelindung dirinya. Lebih pasti, agar tidak ketahuan.
***
Gelap. Suasana dusun memang sangat sunyi menjelang maghrib datang. Sudah menjadi kebiasaan umum, semua warga, utamanya anak-anak, harus masuk rumah pada garis perubahan waktu petang menuju malam.
“Sudah sandekala. Masuk!”
Ketika kalimat itu terlontar dari orang tua, anak-anak dusun itu sudah maksud. Mereka harus manjing, masuk rumah. Banyak cerita seram yang tersebar dari generasi ke generasi bila masih berkeliaran di luar rumah saat-saat seperti itu. Saat senjakala. Sebut saja: digondhol wewe gombel, dibrakot cepet, diculik demit. Ah, entah apa lagi.
Dan, suara jangkrik pun berderik bersautan mencubit-cubit gendang telinga memasuki malam. Orong-orong pun bersuara, tak mau dikerdilkan bangsa jangkrik. Puluhan kunang berkelip terbang ke sana ke mari, sesekali mencari tempat hinggap. Ya, berpuluh-puluh kunang. Mereka yang memberi keindahan bagi suasana malam dusun itu. Lampu senthir berbahan bakar minyak tanah menjadi penerang setiap rumah. Hanya itu yang ada. Sesekali, jika mereka keluar rumah, hanya membawa obor bambu. Itu pun jika punya. Penggantinya hanya obor blarak, daun kelapa kering, yang cepat habis di tengah jalan. Atau pun, jika terpaksa, berjalan dalam kegelapan. Alam sudah melatihnya.
Sinarjo, pemuda dusun itu mengendap-endap. Bergerak dari arah belakang rumah penduduk. Berkerudung sarung memenuhi leher hingga atas mata kaki, setelah tahu, jamaah isya di surau sudah pulang ke rumah. Malam itu, ia mewujudkan rencananya. Menemui kembang hatinya, si gadis idaman: Tumini. Anak perempuan Mbok Sumirah, janda satu anak.
Lelaki ini hafal benar, Tumini kerap keluar menyendiri. Duduk menggelar tikar pandan di halaman rumahnya. Bertemankan sebuah radio transistor dua band, menyimak siaran RRI Regional. Hanya itu, hiburan malam bagi orang desa.
Sinarjo masih membatu dan membisu. Langit enggan menabur banyak bintang. Angin lamat-lamat menebar hawa dingin malam. Lelaki itu, keberadaannya di samping rumah Tumini, di samping tanaman pagar rumah yang setinggi dada anak belasan tahun. Matanya terpaku, terarah ke halaman rumah yang sangat sederhana itu.
“Oh, lama benar. Tumini, oh Tumini. Nyamuk di sini sudah kurang ajar”