“Tolong!”
***
Kini nafas Sinarjo tersengal-sengal. Tenggorokannya jadi kering. Ia himpun air liur dan kemudian menelannya. Matanya berkunang-kunang. Kepalanya pening, karena menabrak batang pohon saat berlari tunggang langgang menyelamatkan diri. “Oh, nasib.”
Dalam persembunyian di tepi kali belakang rumah penduduk, ia baru menyadari kesalahannya. Perempuan tadi bukan Tumini. Tapi Mbok Sumirah: ibunya. Alias, bakal calon mertuanya.
Dua perempuan itu, ibu dan anak memilki besaran dan tinggi tubuh yang sama. Hampir sama. Seperti kembar. Maka, dalam gelap, keduanya sulit dibedakan.(*)
_________Oenthoek Cacing-BumiCahyana, 6 Oktober 2015
ilustrasi: brotoatmojo.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H