Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Lelaki di Persembunyian

14 Oktober 2015   02:26 Diperbarui: 14 Oktober 2015   10:49 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Syahdan.

Perempuan yang didekapnya pada malam itu langsung menjerit. Meronta. Sinarjo kebingungan. Pemuda yang sebentar lagi genap seperempat abad itu sesaat gagap tingkah. Ia tengok kanan dan kiri. Secepatnya ia pergi berlalu, sebelum teriakan minta tolong perempuan tadi, menarik orang banyak mengarah ke dirinya, di situ.

Ia segera berlari. Bersembunyi pada semak-semak pinggir kali kecil tak jauh dari tempat tadi. Sarung yang ia bawa dijadikan pelindung dirinya. Lebih pasti, agar tidak ketahuan.

***
Gelap. Suasana dusun memang sangat sunyi menjelang maghrib datang. Sudah menjadi kebiasaan umum, semua warga, utamanya anak-anak, harus masuk rumah pada garis perubahan waktu petang menuju malam.

“Sudah sandekala. Masuk!”

Ketika kalimat itu terlontar dari orang tua, anak-anak dusun itu sudah maksud. Mereka harus manjing, masuk rumah. Banyak cerita seram yang tersebar dari generasi ke generasi bila masih berkeliaran di luar rumah saat-saat seperti itu. Saat senjakala. Sebut saja: digondhol wewe gombel, dibrakot cepet, diculik demit. Ah, entah apa lagi.

Dan, suara jangkrik pun berderik bersautan mencubit-cubit gendang telinga memasuki malam. Orong-orong pun bersuara, tak mau dikerdilkan bangsa jangkrik.  Puluhan kunang berkelip terbang ke sana ke mari, sesekali mencari tempat hinggap. Ya, berpuluh-puluh kunang. Mereka yang memberi keindahan bagi suasana malam dusun itu. Lampu senthir berbahan bakar minyak tanah menjadi penerang setiap rumah. Hanya itu yang ada. Sesekali, jika mereka keluar rumah, hanya membawa obor bambu. Itu pun jika punya. Penggantinya hanya obor blarak, daun kelapa kering, yang cepat habis di tengah jalan. Atau pun, jika terpaksa, berjalan dalam kegelapan. Alam sudah melatihnya.

Sinarjo, pemuda dusun itu mengendap-endap. Bergerak dari arah belakang rumah penduduk. Berkerudung sarung memenuhi leher hingga atas mata kaki, setelah tahu, jamaah isya di surau sudah pulang ke rumah. Malam itu, ia mewujudkan rencananya. Menemui kembang hatinya, si gadis idaman: Tumini. Anak perempuan Mbok Sumirah, janda satu anak.

Lelaki ini hafal benar, Tumini kerap keluar menyendiri. Duduk menggelar tikar pandan di halaman rumahnya. Bertemankan sebuah radio transistor dua band, menyimak siaran RRI Regional. Hanya itu, hiburan malam bagi orang desa.

Sinarjo masih membatu dan membisu. Langit enggan menabur banyak bintang. Angin lamat-lamat menebar hawa dingin malam. Lelaki itu, keberadaannya di samping rumah Tumini, di samping tanaman pagar rumah yang setinggi dada anak belasan tahun. Matanya terpaku, terarah ke halaman rumah yang sangat sederhana itu.

“Oh, lama benar. Tumini, oh Tumini. Nyamuk di sini sudah kurang ajar”

Ia masih mengusap kulit yang gatal karena gigitan nyamuk dan juga sengatan semut yang merambat di tubuhnya. Ia berusaha lembut. Selembut sentuhan ibu. Tapi lama-lama tak tahan juga. "Plak." Ia pukul kulit tangannya yang baru saja dihisap darahnya oleh seekor nyamuk. “Kampret!”

Seekor kucing hitam pun sempat pula menabraknya beberapa saat kemudian. Ia terperanjat. “Sontoloyo! Kadal bunting!”

Ia misuh-misuh. Sudah tahu kucing, tapi masih dibilang kadal. Kucing pun kaget dibuatnya. Tak mengira, sesosok manusia berdiam di rerimbunan. Dari kejauhan, binatang itu berhenti dari larinya dan membalikan badan. Menyorotkan sinarnya ke arah lelaki yang baru ditabraknya.

“Meooooong,” lirih suara itu.  Mungkin maksudnya minta maaf. "Tidak sengaja"

Sepertinya Sinarjo mulai tak tahan. Ada saja yang menguji kesabarannya. Termasuk kebelet kencingnya yang tak karuan ditahannya, yang menggoda dirinya untuk pulang saja. Sejenak ia berpikir, lebih baik batal demi nasib.

Tapi ia urungkan niat itu seketika.

Sesosok bayangan tampak begerak pelan. Melewati pintu depan rumah, yang terbuat dari anyaman bambu berpulaskan warna putih batu gamping.

“Kreket, kreket.”

Suara derit pintu itu membuat Sinarjo teralihkan dari penderitaannya dalam persembunyian. Dilihatnya sesosok perempuan berjalan ke luar rumah, ke halaman yang berbatu kerikil.

“Oh, akhirnya Tumini keluar juga” Berguman Sinarjo dalam hati

Kapan lagi kalau bukan sekarang, pikirnya. Ia harus mewujudkan rencananya. Memeluk Tumini. Iya, memeluk Tumini, untuk sebuah kejutan.

“Tum, aku pengin banget peluk kamu,” kata Sinarjo, suatu ketika di pinggir kali saat senja masih perawan menebar rona merahnya.

Tumini tersipu. “Wih, Kang Sinarjo. Malu ah”

“Ayolah Tum”
“Emoh…..”
“Tum….”
“Emoh……

Tumini lantas menjauh dari rayuan Sinarjo. Berlari kecil di atas bebatuan tepian kali.

“Peluk saja batu besar itu,” ia sedikit berteriak sambil menoleh ke belakang, menunjuk batu besar yang baru dilewatinya. “ Pasti anget!”

Itu cara dia menolak permintaan nakal perjaka yang tengah kasmaran. Sayang, Tumini lengah.

"Auh!" Ia terantuk batu dan tubuhnya tengkurep mendekap bumi. 

Sinarjo malah tersenyum. “Oh, Tumini, andaikan saja kamu mau………..

Tampaknya, Sinarjo mulai ancang-ancang keluar dari persembunyian. Dibenahi sarungnya, dilingkarkan pada perut. Ujung sisi sarung disatukan ke depan dalam sebuah ikatan.

Perempuan yang tengah diincar bujangan ini mulai bergerak menjauh dari pintu rumah. Aman, pikir Sinarjo. “Satu, dua, tiga” Ia mengitung dalam benaknya.

Secepat itu, ia memburu dari belakang. Hanya hitungan tak sampai satu menit. Tanpa permisi dan ba bi bu, ia dekap erat-erat. Perempuan itu sesak nafas dan meronta. Suaranya seketika keras keluar.

“Tolong!”

***
Kini nafas Sinarjo tersengal-sengal. Tenggorokannya jadi kering. Ia himpun air liur dan kemudian menelannya. Matanya berkunang-kunang. Kepalanya pening, karena menabrak batang pohon saat berlari tunggang langgang menyelamatkan diri. “Oh, nasib.”

Dalam persembunyian di tepi kali belakang rumah penduduk, ia baru menyadari kesalahannya. Perempuan tadi bukan Tumini. Tapi Mbok Sumirah: ibunya. Alias, bakal calon mertuanya.

Dua perempuan itu, ibu dan anak memilki besaran dan tinggi tubuh yang sama. Hampir sama. Seperti kembar. Maka, dalam gelap, keduanya sulit dibedakan.(*)

 

 

_________Oenthoek Cacing-BumiCahyana, 6 Oktober 2015

 

ilustrasi: brotoatmojo.wordpress.com

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun