Ia masih mengusap kulit yang gatal karena gigitan nyamuk dan juga sengatan semut yang merambat di tubuhnya. Ia berusaha lembut. Selembut sentuhan ibu. Tapi lama-lama tak tahan juga. "Plak." Ia pukul kulit tangannya yang baru saja dihisap darahnya oleh seekor nyamuk. “Kampret!”
Seekor kucing hitam pun sempat pula menabraknya beberapa saat kemudian. Ia terperanjat. “Sontoloyo! Kadal bunting!”
Ia misuh-misuh. Sudah tahu kucing, tapi masih dibilang kadal. Kucing pun kaget dibuatnya. Tak mengira, sesosok manusia berdiam di rerimbunan. Dari kejauhan, binatang itu berhenti dari larinya dan membalikan badan. Menyorotkan sinarnya ke arah lelaki yang baru ditabraknya.
“Meooooong,” lirih suara itu. Mungkin maksudnya minta maaf. "Tidak sengaja"
Sepertinya Sinarjo mulai tak tahan. Ada saja yang menguji kesabarannya. Termasuk kebelet kencingnya yang tak karuan ditahannya, yang menggoda dirinya untuk pulang saja. Sejenak ia berpikir, lebih baik batal demi nasib.
Tapi ia urungkan niat itu seketika.
Sesosok bayangan tampak begerak pelan. Melewati pintu depan rumah, yang terbuat dari anyaman bambu berpulaskan warna putih batu gamping.
“Kreket, kreket.”
Suara derit pintu itu membuat Sinarjo teralihkan dari penderitaannya dalam persembunyian. Dilihatnya sesosok perempuan berjalan ke luar rumah, ke halaman yang berbatu kerikil.
“Oh, akhirnya Tumini keluar juga” Berguman Sinarjo dalam hati
Kapan lagi kalau bukan sekarang, pikirnya. Ia harus mewujudkan rencananya. Memeluk Tumini. Iya, memeluk Tumini, untuk sebuah kejutan.