Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Humor

Balada Kunti

19 Desember 2010   08:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:36 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-Untuk Widyo Purnomo-

[caption id="attachment_80685" align="aligncenter" width="240" caption="- dok. pribadi -"][/caption]

.

"Betapa celaka belaka manusia-manusia ini," kata seekor hantu perempuan penghuni pohon nangka pada suatu magrib di tepi jalan desa menuju Sentul City. "Mereka sama sekali tak mengindahkan eksistensiku dan pohon nangka ini demi keserakahannya. Makhluk tak tahu diri. Sudah bisa pergi ke bulan, bisa kirim wahana ke planet-planet jauh, mengapa aku digusah-gusah juga dari rumahku yang nyaman ini? Sontoloyo."

Ia berkata-kata sendirian seperti hantu pengidap kompleks kejiwaan. Seekor burung hantu yang hinggap di dahan sama dengan kuntilanak itu hanya menggerutu, merasa terganggu. “Kuku...kuku...kukuuuu kuku kukuuu...,” suaranya merdu. Sedang seekor ular pucuk yang menghuni puncak tajuk menggumam pelan saja, “Ribut melulu, sih. 'Ncuk.”

(jebul ulane iku arek Suroboyo, Cak...1)

.

Memang sudah beberapa hari ini Coonty Klitorawaty, nama lengkap hantu bertubuh mungil tersebut, merepet saja kerjanya. Menggerundel tanpa henti karena pohon nangka yang menjadi habitat beragam makhluk itu hendak ditebang demi pelebaran jalan. Adapun kabar itu datang beberapa pekan belakangan dari para mandor dan buruh proyek pembangunan gorong-gorong yang kerap mengaso di bawah pohon.

Katenye si Boss, kite bakal dikasi gawean baru, nebang po'on nangke ini buat ngecor jalanan bulan depan — kata John.

Inggih, Mas, tapi saya ndak ikut soale anak saya mau khitan lagi di Sragen. Yang kemarin gagal. Jadi saya mesthi mudik — timpal Paul.

Ringo heran betul: Bah. Buzzyet. Manalah bizza orang zzunat zzampai berzzeri. Zzunat cuma zzekali, Mazz! Zzableng kau, ah....

Ya masseeh ngilmiah dong, Nggo. Payyah sampeyan. Boon-toot cicak kan beessa toom-booh joog-ga kalau poot-toos , tak iye? – balas George.

.

Coonty sangat terganggu obrolan para pekerja itu. Padahal informasi ini belum tentu valid. Nah, sejak hari itulah ia gemar ngomel, overacting. Ia agaknya tak memiliki kepasrahan seperti makhluk-makhluk penghuni pohon nangka lainnya. Burung hantu telah menyerahkan dirinya kepada undian nasib dari Alam. Kalau ditebang pun toh aku bisa pindah sarang ke Gunung Pancar, pikirnya, dan malah enak bisa saban hari nonton para ABG pacaran dengan militan. Ular pucuk hijau juga santai-santai saja. Dia bisa migrasi ke semak mana pun di kawasan tersebut. Aku mensyukuri apa yang ada saja, toh rezeki tak lari ke mana, kata ular yang saleh ini. Hanya Coonty yang tak terima.

Ia mulai menganggap semua orang yang melintasi jalanan itu sebagai seteru. Pokoknya manusia selamanya jahat. Ke-laut-aja praduga tak bersalah, batinnya. Maka ia menyusun strategi psywar kepada umat manusia.

.

Subuh-subuh, seorang loper koran yang lewat jalan itu dicegatnya. Coonty berdiri di tengah jalan, mematung bagai aparat razia dan menyeringai dengan mimik sangat mengerikan. Senyumnya lebar, dari kuping ke kuping. “Selamat pagi, Pahlawan Informasi. Hihihihihi.”

Si loper koran tersirap darahnya dan berseru kencang sekali. “Babiii! Ada setaaan!!” Lalu ia berbalik arah dan kabur dengan kecepatan melebihi diare. Coonty tersinggung sekali diumpat begitu. Ingin rasanya menendang bokong, namun si loper itu raib tak kembali-kembali lagi. Sampai-sampai koran hari itu tak diantarnya ke pelanggan, dan Sentul City menderita malinformasi. Si loper gemetaran di rumahnya untuk 2 X 24 jam. Emaknya tak henti-henti membacakan Ayat Kursi.

.

Esoknya giliran seorang guru karate tak berdosa yang dikerjainya. Malam hari pukul 22.00, sepulang dari sasana, ia mengendarai mobilnya pelan-pelan di jalanan itu. Tiba-tiba saja di luar kaca depan tampak sepasang kaki kurus menjuntai. Coonty bertengger di atas kabin dan menggoyang-goyangkan kakinya dengan gerakan pedal tukang jahit. Si guru karate mengira seorang anak kecil iseng memanjat dan menumpang mobilnya sejak dari sasana tadi. Ia pun menghentikan laju kendaraannya dan keluar, hendak menurunkan si anak nakal.

Namun betapa terkejutnya sang guru karate ketika dilihatnya sosok bergaun putih yang nangkring di kap mobilnya ini punya wajah rata. Tanpa hidung, tanpa mata, hanya seringai dari kuping ke kuping. Muka Coonty putih polos seperti dinding gardu ronda. Coonty yang sedang bermimikri jadi labur tembok itu bersuara dengan syahdu, “Mas, hihihihi...latih saya dong...saya masih sabuk hijau lho, hihihihihi...” Rupanya si ular hijau itu tengah ia pekerjakan sebagai aksesori.

Sontak guru karate itu meraung membahana, “Aramaaak, kuntiranak ronthe buruk siaraaan! Banzaaai!!” Ia ambil jurus kaki seribu dengan kecepatan mach 2, meninggalkan begitu saja mobilnya dengan pintu menganga. Esok paginya para penduduk menemukan sedan tersebut mengonggok tanpa roda. Spion, setir, dashboard, sabuk dan kursinya juga telah lenyap terpulung orang. Menjelang ludes seperti Papua dirampok Amerika.

“Gusti, ini betul-betul jadi clash of civilization,” batin si burung hantu dengan gusar. “Semoga si Huntington itu tak pernah lewat jalanan kampung ini selamanya agar ia tak punya bahan bikin narasi tak bermutu lainnya,” pikirnya lagi.

.

Coonty makin merasa jumawa. Tujuan jangka pendeknya, yaitu memperangker pohon nangka agar manusia tak berani mengutak-atiknya, sepertinya mulai menuai hasil. Anak-anak kecil mulai didengarnya berbisik-bisik jika memintas, dengan langgam resah dan ketakutan. Burung hantu dan ular hijau yang ogah menyapa disangkanya segan. Padahal empet.

Coonty cenderung bahagia. Rasa sakit hati yang dialaminya akibat dikatai babi dan ronthe tak berapa besar dibanding kebanggaannya mempertakuti manusia. Manusia mah sejak dulu mulutnya rombeng, tapi nyalinya karatan, gumamnya. Ia mulai mengidap gejala awal schadenfreude. Namun pada suatu malam, egosentrisme yang sedang dinikmatinya itu runtuh berantakan gara-gara ulah seorang tukang obat bernama Totok Cibarengkok.

.

Malam itu hujan lebat. Totok Cibarengkok menepikan mobilnya di pinggir jalan, tepat di bawah naungan pohon nangka. Ia barusan pulang dari tempat praktik dokter untuk menawarkan paket liburan ke Haiti seminggu penuh jika sang dokter sukses melariskan antibiotik semikarsinogenik produksi perusahaan tempat Totok bekerja. Jip dinas cap Suzuku Katanya berwarna hitam yang dikendarainya memang beratap bocor tak karuan sehingga menimbulkan efek air terjun artifisial di dalam kabin. Selain itu, Totok juga malas cepat-cepat pulang demi menghindari sekuel perang dengan istrinya. Pagi tadi sang istri memarahinya habis-habisan. Kini Totok hendak mengulur-ulur waktu. Makin larut ia pulang, makin mungkin kekesalan istrinya mereda. Ini merupakan kecerdasan strategi timing seorang spekulan.

Coonty, sepulang jalan-jalan dari perempatan untuk beli pulsa, sangat terkesima mendapati ada orang yang berani-beraninya parkir di depan rumahnya. Ia langsung emosi. Jika emosi, ia punya mekanisme warning alamiah dengan menebar wewangian tajam ke udara. Totok mengendusnya. Bingung, dari mana bau itu berasal. Diciumnya sepatunya, bukan. Laci kompartemen, bukan. Ini kok mirip aroma salep perontok bulu kaki, ya — batinnya.

Baru saja berpikir, Coonty tahu-tahu telah berdiri dan menempelkan wajahnya ke kaca jendela di sisi kemudi. Meringis horor dengan rambut panjang berkelebat ditiup angin. Tetapi sedetik kemudian Coonty terjengkang ke belakang karena Mr. Cibarengkok rupanya membuka pintu mobilnya dengan gerakan menghentak sangat keras.

“Mau apa lu?!” bentak Totok.

“Hihihihi. Aku mau kasih info bahwa aku ini...arwah orang mati karena pengguguran kandungan, Mas. Hihihihi,” ucap Coonty sembari bangkit dari keterjengkangan. Suaranya bergema sangat menyeramkan.

“Kalau begitu kamu tidak punya urusan sama saya. Saya sudah lama vasektomi. Sana pulang!”

Coonty pun tertawa lagi, “Hahahahaha.” Tapi kali ini tawa salah tingkah. Ia mengapungkan badannya di udara, terbang, menggeram. Lalu darah menetes-netes dari bawah gaunnya. Berharap aksi tersebut menimbulkan impresi tersendiri bagi pemirsanya. Eh, tahunya si Totok justru memerhatikan dengan keheranan.

“Apa-apaan sih? Mau minta Pampers gratisan dari gue? Mau Albothyl obat kutil?”

Si Coonty terdiam.

“Aha, gue 'ngerti sekarang. Lu pasti agen PT Honyara Pharmacy, kan? Mau 'nakut-nakuti gue, kan? Ngaku! Hei, bilang sama bos ente, area ini punya ane. Awas lu ya kalau berani-berani 'masok barang kemari. Gue cekek, tahu rasa.”

.

Coonty sungguh tak percaya pada situasi yang dihadapinya. Ia cemas, perutnya mulas. Sebetulnya rasa takut mulai terbit di hatinya. Seumur hidupnya Coonty tak pernah dihina setelak ini oleh bedebah yang bahkan tak takut sama sekali oleh kehadirannya. Gengsinya tercolek. Wong aku ini hantu yang aktivitasnya nirlaba, kok. Aku tak terima dibilang pedagang, apalagi dituduh jadi mafia yang bikin harga obat dan jasa medis jadi enggak terjangkau orang banyak!

(ini hantu apaan sih, kok ngomongnya kaya pengurus YLKI...)

Coonty mengubah ujudnya jadi lebih garang. Badannya digembungkan. Lalu ia terbang menukik ke arah Totok yang masih mendekam santai ber-syubidubidam di dalam mobil sambil menyetel lagu Julius Sitanggang. Coonty teringat motto sepakbola all-out bahwa menyerang adalah pertahanan terkuat. Daripada kena cekik, mending cekik duluan. Rasakan ini, manusia sialaaan!!

.

Apa dinyana? Totok dengan segera membuka jendela lantas menghunuskan raket nyamuk ke depan wajahnya. Muka Coonty hard landing tepat di raket itu. Rasa sakit menyeruak di sekujur badan. Memang demikian, Saudara-saudari. Makhluk halus selalu tak tahan dengan medan listrik. Pasalnya mereka memang ngeri setengah modar kepada neraka. Listrik itu adalah komponen utama atmosfer-neraka. Neraka itu api. Api itu panas. Panas itu Kiki Amalia. Jadi setan takut Kiki Amalia, dong? Halah....

Tapi ini serius. Mobil sebutut apa pun, yang kabinnya bolong sana-sini dan kacanya tak dapat dirapatkan sampai interiornya disarangi nyamuk saban pagi, selalu punya hikmah di baliknya.

.

Penderitaan Coonty belum lagi usai. Totok kini mencengkeram gaun Coonty, menarik wajah Coonty ke dekat wajahnya. Kebetulan raketnya ini punya fitur lampu senter di dasarnya. Dinyalakan, dan Totok menyorotkannya langsung ke leher Coonty karena ingin tahu macam apa rupa asli pengganggunya ini. Percayalah, bagi hantu, segala macam sinar juga berefek menyakitkan.

“Siapa elu? Tinggal di mana? Sebetulnya situ mau apa?!”

“Ampun, Oom, jangan apa-apain saya...,” jawab Coonty dengan jeri.

“Jawab pertanyaannya!”

“Saya Coonty, Oom. Tinggal di pohon nangka itu. Saya enggak mau apa-apa, Oom.”

“Oke! Sekarang dengar! Daerah sini masuk otoritas gue. Termasuk pohon nangka ini, paham?! Dasar tukang sabot. Pokoknya jangan jualan obat di sini. Nah, sekarang gue tanya, elu bersedia kalau gue suruh pindah wilayah, kan?”

“T-tapi....”

“Kagak ada alasan. Dari roman-roman muka elu, sepertinya elu bukan orang yang bisa dipercaya. Hm, sekarang gini saja. Angkat sumpah.”

“M-m-m-maksudnya, Oom?”

“Ulangi kata-kata ini: Demi Tuhan, saya rela masuk neraka kalau tidak pindah dari sini. Cepat!”

“S-saya p-pindah d-dari sini...kalau enggak...saya masuk neraka...d-demi tuhan.... 'Udah, Oom. Please jangan siksa saya....”

“Anak pintar. Sekarang...pergilah! Sejauh mungkin dari sini!”

Coonty pun berlalu. Namun, seperti belum puas, Totok terlebih dahulu menyenter-nyenterkan cahaya raketnya ke atas-bawah tubuh Coonty, hendak memeriksa sosok aneh yang sanggup melawan gravitasi ini. Tentu Coonty kegelian sampai bergoyang patah-patah dengan sangat agresif. Melihat tarian Coonty, si burung hantu di atas dahan sana menangkup-nangkupkan sayapnya seperti jemari yang sedang memenceti joystick Playstation-3. L1, R2, X, bundar, R1, segitiga+L2, kotak...sampai game over.

.

Totok Cibarengkok pulang ke rumahnya. Murka istrinya sayangnya belum reda. Dia pun disemprot lagi, dan ketakutan karenanya. Ya, bisa dikatakan bahwa porsi rasa takut Totok Cibarengkok telah seluruhnya ia tujukan kepada sang istri, sampai ia tak punya sisa stok ketakutan lagi untuk hantu seseram Coonty.

Sementara Coonty yang terusir dan patah hati kini merantau ke pohon randu di kelurahan sebelah. Ia tak akan bisa mudik kembali ke pohon nangkanya karena ia takut neraka. Padahal kabar pelebaran jalan itu kebenarannya tak terbukti sama sekali karena dulu kepala proyeknya cuma berniat mengiming-imingi anak buah agar rajin bekerja. Dan pada malam celaka itu juga Coonty akhirnya menulis status di akun FB-nya dengan bunyi liris:

t3mAnz, kAluW m4u 9odAin ooM-OoM, liHat-l1hat dulu zApa 1Str1nyA, yach.

Hiks....

T_T

.

Tuhan Maha-pembela akan selalu besertanya. Amen.

.

***

.

1 Ternyata ularnya itu anak Surabaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun