.
Penderitaan Coonty belum lagi usai. Totok kini mencengkeram gaun Coonty, menarik wajah Coonty ke dekat wajahnya. Kebetulan raketnya ini punya fitur lampu senter di dasarnya. Dinyalakan, dan Totok menyorotkannya langsung ke leher Coonty karena ingin tahu macam apa rupa asli pengganggunya ini. Percayalah, bagi hantu, segala macam sinar juga berefek menyakitkan.
“Siapa elu? Tinggal di mana? Sebetulnya situ mau apa?!”
“Ampun, Oom, jangan apa-apain saya...,” jawab Coonty dengan jeri.
“Jawab pertanyaannya!”
“Saya Coonty, Oom. Tinggal di pohon nangka itu. Saya enggak mau apa-apa, Oom.”
“Oke! Sekarang dengar! Daerah sini masuk otoritas gue. Termasuk pohon nangka ini, paham?! Dasar tukang sabot. Pokoknya jangan jualan obat di sini. Nah, sekarang gue tanya, elu bersedia kalau gue suruh pindah wilayah, kan?”
“T-tapi....”
“Kagak ada alasan. Dari roman-roman muka elu, sepertinya elu bukan orang yang bisa dipercaya. Hm, sekarang gini saja. Angkat sumpah.”
“M-m-m-maksudnya, Oom?”
“Ulangi kata-kata ini: Demi Tuhan, saya rela masuk neraka kalau tidak pindah dari sini. Cepat!”