“Gusti, ini betul-betul jadi clash of civilization,” batin si burung hantu dengan gusar. “Semoga si Huntington itu tak pernah lewat jalanan kampung ini selamanya agar ia tak punya bahan bikin narasi tak bermutu lainnya,” pikirnya lagi.
.
Coonty makin merasa jumawa. Tujuan jangka pendeknya, yaitu memperangker pohon nangka agar manusia tak berani mengutak-atiknya, sepertinya mulai menuai hasil. Anak-anak kecil mulai didengarnya berbisik-bisik jika memintas, dengan langgam resah dan ketakutan. Burung hantu dan ular hijau yang ogah menyapa disangkanya segan. Padahal empet.
Coonty cenderung bahagia. Rasa sakit hati yang dialaminya akibat dikatai babi dan ronthe tak berapa besar dibanding kebanggaannya mempertakuti manusia. Manusia mah sejak dulu mulutnya rombeng, tapi nyalinya karatan, gumamnya. Ia mulai mengidap gejala awal schadenfreude. Namun pada suatu malam, egosentrisme yang sedang dinikmatinya itu runtuh berantakan gara-gara ulah seorang tukang obat bernama Totok Cibarengkok.
.
Malam itu hujan lebat. Totok Cibarengkok menepikan mobilnya di pinggir jalan, tepat di bawah naungan pohon nangka. Ia barusan pulang dari tempat praktik dokter untuk menawarkan paket liburan ke Haiti seminggu penuh jika sang dokter sukses melariskan antibiotik semikarsinogenik produksi perusahaan tempat Totok bekerja. Jip dinas cap Suzuku Katanya berwarna hitam yang dikendarainya memang beratap bocor tak karuan sehingga menimbulkan efek air terjun artifisial di dalam kabin. Selain itu, Totok juga malas cepat-cepat pulang demi menghindari sekuel perang dengan istrinya. Pagi tadi sang istri memarahinya habis-habisan. Kini Totok hendak mengulur-ulur waktu. Makin larut ia pulang, makin mungkin kekesalan istrinya mereda. Ini merupakan kecerdasan strategi timing seorang spekulan.
Coonty, sepulang jalan-jalan dari perempatan untuk beli pulsa, sangat terkesima mendapati ada orang yang berani-beraninya parkir di depan rumahnya. Ia langsung emosi. Jika emosi, ia punya mekanisme warning alamiah dengan menebar wewangian tajam ke udara. Totok mengendusnya. Bingung, dari mana bau itu berasal. Diciumnya sepatunya, bukan. Laci kompartemen, bukan. Ini kok mirip aroma salep perontok bulu kaki, ya — batinnya.
Baru saja berpikir, Coonty tahu-tahu telah berdiri dan menempelkan wajahnya ke kaca jendela di sisi kemudi. Meringis horor dengan rambut panjang berkelebat ditiup angin. Tetapi sedetik kemudian Coonty terjengkang ke belakang karena Mr. Cibarengkok rupanya membuka pintu mobilnya dengan gerakan menghentak sangat keras.
“Mau apa lu?!” bentak Totok.
“Hihihihi. Aku mau kasih info bahwa aku ini...arwah orang mati karena pengguguran kandungan, Mas. Hihihihi,” ucap Coonty sembari bangkit dari keterjengkangan. Suaranya bergema sangat menyeramkan.
“Kalau begitu kamu tidak punya urusan sama saya. Saya sudah lama vasektomi. Sana pulang!”