Bennosuke segera memiringkan kepalanya ke sisi kanannya untuk menghindari serangan itu.
Serangan yang kedua itu pun luput, sama seperti yang pertama.
Bennosuke langsung bersiap diri untuk menghadapi serangan berikutnya. Ia membetulkan posisi toya itu. Toya itu kini dipegang dengan kedua tangannya dengan salah satu ujungnya mengarah ke Munisai.
Munisai hanya memandang tajam putranya itu. Lalu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ia beranjak meninggalkan tempat itu. Tidak ada serangan yang ketiga.
Ayah … apa maksudnya? Bennosuke menoleh ke belakang melihat ke arah benda itu mendarat – lantai dojo.
Belati? Bennosuke terkesiap melihat dua bilah senjata tajam itu tergeletak di lantai dojo. Tiba-tiba saja ia merasakan hawa dingin pada tengkuknya. Ia tahu Munisai sangat ahli menggunakan belati. Ayahnya itu mampu membidik sebuah apel di atas pohon dan menjatuhkannya dengan sebilah belati yang dilontarkan dengan tepat memotong tangkai buah itu.
Ayah ingin membunuhku? Tetapi … mengapa?
Tidak mungkin! Akal sehatnya membantah. Namun demikian ia tetap tidak berhasil menemukan jawaban atas apa yang barusan dilakukan Munisai terhadapnya.
Yang tidak disadari Bennosuke saat itu adalah Munisai sebenarnya tidak mengerahkan seluruh kemampuannya ketika melontarkan belati ke arahnya. Kecepatan dan arah belati itu masih dalam batas-batas kemampuan Bennosuke untuk menangkis atau mengelakkannya. Sekalipun Bennosuke terlambat mengantisipasi serangan itu, belati-belati itu tidak akan melukainya – arahnya sengaja dibuat melebar sekitar ½ sun (sekitar 1,7 sentimeter) dari posisi diam Bennosuke. Jika ia berdiam diri dan tidak bergerak sedikitpun, ia tidak akan terluka sama sekali.
Tetapi saat ini bocah itu belum mampu menyadari adanya selisih jarak yang sedemikian tipis itu sehingga ia tidak memahami maksud Munisai yang sebenarnya – menguji sudah seberapa jauh kemampuan teknik berpedangnya meningkat. Kemampuan teknik berpedang tersebut tentu termasuk kemampuan menangkis serangan dan mengelakkan serangan seperti yang barusan diperagakan oleh Bennosuke tanpa bocah itu menyadarinya.
Bennosuke merasa tubuhnya lemas. Ia menjatuhkan dirinya ke lantai dojo. Kedua tangannya menopang badannya sementara lututnya menyentuh lantai – posisi tubuhnya saat itu seperti posisi tubuh seorang murid ayahnya yang sedang membersihkan lantai dojo.