Sebenarnya setiap pendekar pedang pasti membawa dua bilah pedang, pedang panjang dan pedang pendek sehingga jika pedang panjang mereka terlepas dari genggaman atau patah, mereka bisa langsung menggunakan pedang pendek mereka untuk menyerang lawan.
Tetapi bagi Munisai seberapa banyak pun lawan membawa pedang, hal itu bukan masalah baginya. Yang terpenting adalah kecepatan, kekuatan, keakuratan, dan ketepatan waktu. Sekali pun seseorang menggunakan senapan, ia akan kehilangan nyawanya jika senjata itu belum sempat meletus sedangkan pedang lawan sudah mendarat di lehernya.
Umumnya lawan yang kehilangan pedang panjangnya membutuhkan waktu beberapa detik untuk mencabut pedang pendek mereka. Beberapa detik sudah cukup bagi Munisai untuk menempelkan kedua jitte-nya di leher lawannya itu.
Jika bukan dalam rangka perbandingan teknik, Munisai tentu sudah melontarkan jitte tersebut hingga menembus leher penantangnya ataupun menggunakannya untuk memotong tangan lawan yang berusaha mencabut pedang pendeknya.
Itulah yang katakan Munisai kepada para penantangnya. Hal itu juga yang menyebabkan mereka menjadi semakin respek kepada Munisai. Munisai mendeskripsikan pertarungan mereka secara objektif dan terperinci tanpa bermaksud menyombongkan keunggulannya. Ia juga menunjukkan saat-saat di mana ia memiliki kesempatan untuk ‘menghabisi’ para penantangnya itu dan bagaimana mereka seharusnya mengantisipasi hal itu.
Mereka mengakui kebenaran dalam kata-kata Munisai – walaupun kebenaran itu pahit, tidak mengenakkan dan jelas sekali menunjukkan kelemahan mereka. Mereka menyadari apa yang dikatakan Munisai telah membuka mata mereka.
Bennosuke ada di sana waktu itu – ketika Munisai menggambarkan kembali pertarungannya menggunakan jitte melawan para penantang yang bersenjatakan pedang.
Itulah pertarungan sesungguhnya. Tidak ada aturan dan tidak boleh ada kelengahan. Kelengahan adalah kelemahan. Paman Dorin pun mengatakan hal yang sama: orang yang lengah bagaikan orang yang sudah mati.
Karena itulah seorang master pedang bukan hanya dituntut untuk menguasai teknik berpedang dengan sempurna dan kemampuan mengendalikan dirinya, tetapi juga harus senantiasa waspada. Hal remeh sekecil apa pun, seperti ikatan pada sandal jerami yang terlalu kendur atau terlalu ketat; jari-jari tangan yang tidak menggenggam gagang pedang dengan kokoh – terus-menerus bergerak untuk memantapkan genggaman; atau – hal yang paling membahayakan seperti konsentrasi yang terpecah ketika tiba-tiba pikiran tidak lagi terfokus pada pertarungan; bisa berakibat fatal dan bahkan menyebabkan kematian.
Bennosuke juga bukan tipe petarung yang selalu mengikuti aturan atau mengandalkan strategi tertentu. Ia fleksibel dan lebih menyukai mengantisipasi serangan lawan dalam arti menyesuaikan diri dengan apa yang dilakukan lawannya – membuat mereka merasa tidak nyaman bertarung dengannya, sekaligus mengganggu konsentrasi mereka, sehingga mereka lebih mudah ia kalahkan. Hal inilah yang kelak membuatnya dikenal sebagai pendekar pedang dengan jurus yang terkesan tanpa aturan – tidak menganut aliran atau gaya pedang tertentu. Suatu persepsi yang keliru dari orang yang tidak mengenalnya dengan baik.
Setelah mencoba sepasang jitte itu, Bennosuke kemudian beralih ke senjata yang lain. Mencoba, menurut pendapat Bennosuke, berarti mengamati, memerhatikan bentuk dan merasakan berat senjata itu dengan tangannya, lalu menggunakannya – dengan perlahan-lahan dan berhati-hati, serta membayangkan lawan yang menggunakan senjata itu menghadapinya.