Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Musashi: The Journey of A Warrior & The Book of Five Rings (17)

10 Mei 2016   22:40 Diperbarui: 2 Juni 2016   20:36 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Jadi ini yang namanya jitte

Bennosuke tersenyum sambil memandangi senjata dalam genggamannya itu. Ayah begitu mahir menggunakan benda ini.

Walaupun jitte tersebut tidak lebih panjang dari bokken miliknya, namun senjata itu terlihat begitu besar di tangan Bennosuke. Genggaman tangan Bennosuke sebenarnya berukuran lebih besar dan kokoh dibandingkan dengan anak-anak seusianya, tetapi ketika ia menggenggam sepasang jitte itu di kedua tangannya, ia semakin terlihat kecil sedangkan senjata itu menjadi terlihat jauh lebih besar dari ukuran sebenarnya.

Berbeda dengan bokken yang dibuatnya sendiri dengan menyesuaikan ukurannya – proporsional dengan tinggi tubuh dan panjang lengannya, jitte itu berukuran normal layaknya senjata untuk orang dewasa.

Bennosuke mengayunkan sepasang senjata itu seolah-olah sedang memotong jalur ayunan pedang lawannya.

Ugh! Berat juga! Jika hanya dipegang-pegang saja dan digerakkan sebentar – diayun ke kiri dan ke kanan, senjata itu tidak terasa berat. Tetapi jika digunakan untuk berlatih selama beberapa menit barulah terasa betapa sulit mengayunkan jitte itu dan berat senjata itu juga membuat lengan Bennosuke terasa pegal.

Jitte digunakan untuk menangkis sekaligus menahan dan menjepit mata pedang lawan. Dengan satu gerakan memuntir yang kuat dan cepat, pedang lawan dapat terlepas dari genggamannya. Tentu saja gerakan memuntir tersebut harus sedemikian cepat dan kuat hingga lawan tidak sempat menahannya. Puntiran itu akan menyebabkan kedua lengan lawan yang memegang pedang itu terpelintir – ikut terbawa gerakan tangan yang memuntir tersebut dan terpaksa melepaskan pedangnya. Jika pedang tetap dipertahankan, besar kemungkinan tangan lawan tersebut akan cedera – terkilir atau bahkan mungkin patah di bagian pergelangan atau sikunya.

Pendekar pedang yang berpengalaman memiliki genggaman tangan yang kuat sehingga pedang yang dipegang dengan dua tangannya itu seolah-olah sudah menyatu menjadi bagian tubuhnya. Pedang yang digenggam dengan kuat seperti itu tentu sangat sulit digoyahkan apalagi dibuat terlepas dari tangan yang memegangnya. Tindakan merebut pedang tersebut dengan jitte sepertinya merupakan hal yang mustahil. Diperlukan satu teknik khusus ketika berhadapan dengan lawan seperti itu. Teknik yang disebut tipu muslihat.

Ketika kekuatan lawan tidak bisa ditaklukkan dengan kekuatan kita – yang berarti kedua pihak memiliki kekuatan seimbang atau sama-sama kuat, pihak yang memiliki taktik yang lebih unggullah yang akan memenangkan pertarungan.

Sambil terus menggerakkan jitte di kedua tangannya, Bennosuke mencoba mengingat-ingat pertarungan yang dilakukan oleh ayahnya – menggunakan jitte untuk merebut pedang lawan.

Munisai sangat menguasai teknik merebut pedang lawan dengan jitte – ia biasanya berhasil memuntir dan menarik pedang lawan, setelah sebelumnya menjepit pedang lawan dengan jitte tersebut dan membuat lawannya menyerang ke arah yang ‘salah’ – yang mengakibatkannya berada dalam posisi kuda-kuda yang tidak seimbang karena terlalu memaksakan ayunan pedang ke posisi yang tanpa disadarinya ‘diarahkan’ oleh Munisai. Dengan cara itu genggaman pedang lawan menjadi lemah karena pergelangan tangannya sudah dalam keadaan terpelintir dan jika ia tetap memaksa mempertahankan pedangnya, kemungkinan besar ia akan jatuh terbawa gerakan tubuhnyayang berada dalam posisi yang ‘tidak pas’ dengan kuda-kudanya itu. Suatu keadaan yang bisa dikatakan jauh lebih baik daripada mengalami patah persendian pergelangan tangan atau siku.

Bagaimana jika Munisai berhadapan dengan lawan yang memiliki genggaman tangan yang kuat sehingga pedang yang berada dalam genggamannya itu menjadi terlalu kokoh dan tidak mungkin digoyahkan – apalagi dialihkan ke arah yang sesuai keinginan Munisai?

Saat seperti itulah merupakan waktu yang tepat untuk menggunakan teknik khusus yang disebut tipu muslihat itu.

Saat jitte di tangan kananmu telah berhasil menjepit pedang lawan, gunakan jitte di tangan kirimu untuk mengacaukan perhatian lawan. Seranglah lawan – arahkan jitte-mu ke wajahnya. Lawan akan memilih untuk menghindari serangan jitte yang kedua itu dan menyebabkannya lengah – lupa mempertahankan kekuatan genggaman pada pedangnya. Genggamannya mengendur dan pedang pun akan terampas dari tangannya.

Bennosuke terus berlatih – menggenggam sepasang jitte di kedua tangannya dan menggerak-gerakkannya seperti menghadapi lawan yang menggunakan pedang.

Ah, gerakanku masih terlalu kaku.

Walaupun ia memahami prinsip-prinsip dasar bertarung menggunakan jitte – hasil pengamatannya terhadap pertarungan-pertarungan Munisai, ia belum cukup terlatih menggunakan senjata itu. Ia menyadari gerakannya masih kurang luwes dan kekuatan tangannya belum mencukupi. Hal itu akan menyebabkan lawan mudah mematahkan serangannya.

Ia lalu meletakkan jitte itu kembali pada tempatnya. Kedua lengannya terasa pegal dan keringat bercucuran di keningnya. Namun demikian ia merasa puas. Setidaknya ia sudah mencoba dan merasakan ‘menyerang’ lawan dengan jitte.

Jika pedang lawan berhasil kurebut atau kujatuhkan, habislah dia. Mereka yang terlalu mengandalkan pedang biasanya kemampuan menggunakan senjata lain, seperti tombak atau panah, tidak sebaik kemampuan mereka menggunakan pedang – alih-alih kemampuan bertarung dengan tangan kosong atau tanpa senjata.

Memang ada beberapa master pedang yang juga mampu menggunakan senjata lain sehebat kemampuan mereka menggunakan pedang, seperti Nobutsuna. Nobutsuna diketahui sangat ahli menggunakan tombak dan kemampuannya itu diakui sebagai yang terbaik di wilayah Kozuke – provinsi tempat Nobutsuna mengabdi sebagai seorang jenderal.

Munisai juga tidak terlalu mengandalkan pedang ketika bertarung. Selain itu ia sangat mahir bertarung dengan tangan kosong – tanpa senjata. Ia mampu dengan cepat menangkap tangan lawan yang bersenjata, membekapnya, untuk kemudian membantingnya.

Apalagi jika ia berhadapan dengan lawan yang tidak bersenjata sama sekali. Pertarungan akan menjadi mudah dan berlangsung singkat.

Sebenarnya setiap pendekar pedang pasti membawa dua bilah pedang, pedang panjang dan pedang pendek sehingga jika pedang panjang mereka terlepas dari genggaman atau patah, mereka bisa langsung menggunakan pedang pendek mereka untuk menyerang lawan.

Tetapi bagi Munisai seberapa banyak pun lawan membawa pedang, hal itu bukan masalah baginya. Yang terpenting adalah kecepatan, kekuatan, keakuratan, dan ketepatan waktu. Sekali pun seseorang menggunakan senapan, ia akan kehilangan nyawanya jika senjata itu belum sempat meletus sedangkan pedang lawan sudah mendarat di lehernya.

Umumnya lawan yang kehilangan pedang panjangnya membutuhkan waktu beberapa detik untuk mencabut pedang pendek mereka. Beberapa detik sudah cukup bagi Munisai untuk menempelkan kedua jitte-nya di leher lawannya itu.

Jika bukan dalam rangka perbandingan teknik, Munisai tentu sudah melontarkan jitte tersebut hingga menembus leher penantangnya ataupun menggunakannya untuk memotong tangan lawan yang berusaha mencabut pedang pendeknya.

Itulah yang katakan Munisai kepada para penantangnya. Hal itu juga yang menyebabkan mereka menjadi semakin respek kepada Munisai. Munisai mendeskripsikan pertarungan mereka secara objektif dan terperinci tanpa bermaksud menyombongkan keunggulannya. Ia juga menunjukkan saat-saat di mana ia memiliki kesempatan untuk ‘menghabisi’ para penantangnya itu dan bagaimana mereka seharusnya mengantisipasi hal itu.

Mereka mengakui kebenaran dalam kata-kata Munisai – walaupun kebenaran itu pahit, tidak mengenakkan dan jelas sekali menunjukkan kelemahan mereka. Mereka menyadari apa yang dikatakan Munisai telah membuka mata mereka.

Bennosuke ada di sana waktu itu – ketika Munisai menggambarkan kembali pertarungannya menggunakan jitte melawan para penantang yang bersenjatakan pedang.

Itulah pertarungan sesungguhnya. Tidak ada aturan dan tidak boleh ada kelengahan. Kelengahan adalah kelemahan. Paman Dorin pun mengatakan hal yang sama: orang yang lengah bagaikan orang yang sudah mati.

Karena itulah seorang master pedang bukan hanya dituntut untuk menguasai teknik berpedang dengan sempurna dan kemampuan mengendalikan dirinya, tetapi juga harus senantiasa waspada. Hal remeh sekecil apa pun, seperti ikatan pada sandal jerami yang terlalu kendur atau terlalu ketat; jari-jari tangan yang tidak menggenggam gagang pedang dengan kokoh – terus-menerus bergerak untuk memantapkan genggaman; atau – hal yang paling membahayakan seperti konsentrasi yang terpecah ketika tiba-tiba pikiran tidak lagi terfokus pada pertarungan; bisa berakibat fatal dan bahkan menyebabkan kematian.

Bennosuke juga bukan tipe petarung yang selalu mengikuti aturan atau mengandalkan strategi tertentu. Ia fleksibel dan lebih menyukai mengantisipasi serangan lawan dalam arti menyesuaikan diri dengan apa yang dilakukan lawannya – membuat mereka merasa tidak nyaman bertarung dengannya, sekaligus mengganggu konsentrasi mereka, sehingga mereka lebih mudah ia kalahkan. Hal inilah yang kelak membuatnya dikenal sebagai pendekar pedang dengan jurus yang terkesan tanpa aturan – tidak menganut aliran atau gaya pedang tertentu. Suatu persepsi yang keliru dari orang yang tidak mengenalnya dengan baik.

Setelah mencoba sepasang jitte itu, Bennosuke kemudian beralih ke senjata yang lain. Mencoba, menurut pendapat Bennosuke, berarti mengamati, memerhatikan bentuk dan merasakan berat senjata itu dengan tangannya, lalu menggunakannya – dengan perlahan-lahan dan berhati-hati, serta membayangkan lawan yang menggunakan senjata itu menghadapinya.

Bennosuke berdiri di hadapan rak perlengkapan senjata. Ia berjalan menuju tempat senjata-senjata berukuran panjang yang ditata dengan cara diberdirikan – masing-masing ditempatkan dalam posisi tegak.

Sekarang toya.

Bennosuke meraih senjata berupa tongkat panjang itu. Selain digunakan untuk menghantam kepala dan tubuh lawan, toya juga bisa digunakan untuk menyerang bagian kaki lawan tersebut, bukan hanya memukulnya tetapi juga menyapunya hingga membuat lawan kehilangan keseimbangan lalu terjatuh.

Seperti halnya tombak, toya merupakan senjata yang diminati oleh Bennosuke. Bukan untuk digunakan dalam pertarungan, tetapi untuk dipelajari kemampuan menyerang ataupun kemampuan bertahannya sehingga ia bisa mengantisipasi senjata tersebut manakala digunakan oleh lawan untuk menghadapinya.

Begitulah yang dilakukan Bennosuke di dojo ini. Hampir setiap hari ia menghabiskan waktu di sana – setiap kali ada kesempatan, ketika tempat ini tidak digunakan untuk latihan pedang murid-murid ayahnya.

Bennosuke mengamati berbagai macam senjata yang ada di sana dan mencobanya. Ia sudah cukup mahir mengenali suatu senjata sehingga ia bisa memperkirakan dari berat senjata yang ada dalam genggamannya, berapa kecepatan maksimum senjata itu dapat ia gerakkan dan bagaimana mengarahkannya, sehingga serangan yang ia lakukan dengan senjata itu tidak akan menyebabkannya terjatuh ataupun menyebabkan senjata itu lepas dari genggamannya. Ia cukup berhati-hati dan menyadari betapa berbahayanya sebuah senjata jika digunakan dengan sembrono.

Waktuku tidak banyak lagi. Begitu yang selalu dipikirkannya. Ia berusaha memfokuskan pikirannya pada hal-hal yang betul-betul perlu dikerjakannya saat ini.

Aku tidak tahu apakah aku bisa mendapatkan kesempatan berlatih dengan berbagai macam senjata seperti ini lagi nanti.

Bennosuke pernah beberapa kali mengunjungi kuil Sorein – tempat Dorin menetap, namun ia tidak pernah melihat satu pun senjata di kuil tersebut. Jika pun ada benda yang bisa digunakan sebagai senjata, benda itu sebenarnya merupakan alat pertukangan atau alat untuk berkebun seperti sabit untuk memotong rumput, golok untuk memotong kayu, kapak, dan sebagainya.

Oleh karena itu, ia bermaksud mencoba sebanyak dan sebisa mungkin semua senjata yang tersimpan di dojo ini sebelum ia akhirnya pergi dari rumah ini untuk kemudian tinggal di kuil tersebut.

Ketika Bennosuke sedang mencoba toya tersebut, ia teringat apa yang pernah dikatakan ayahnya – yang menurutnya sama dengan apa yang ia pikirkan saat ini.

“Memahami bagaimana suatu senjata digunakan akan memudahkan kita mempertahankan diri jika diserang oleh lawan yang menggunakan senjata tersebut,” demikian yang pernah dikatakan oleh Munisai. Hal ini menunjukkan bahwa Munisai bukan saja piawai menggunakan suatu jenis senjata – katakanlah jitte, tetapi ia juga mampu dengan mudah mengalahkan lawan yang bersenjatakan jitte – terlepas dari macam senjata yang saat itu digunakan Munisai, apakah ia menggunakan pedang, toya, atau bahkan jitte juga.

Bisa dikatakan sebenarnya Munisai tidak pernah mempermasalahkan senjata apa yang digunakannya untuk bertarung. Bahkan bertarung dengan tangan kosong menghadapi lawan yang bersenjata pun ia berani. Bertarung harus bergantung pada kemampuan diri sendiri bukan pada senjata yang digunakan. Efektivitas suatu senjata ditentukan oleh orang yang menggunakannya, bukan sebaliknya, senjata tidak menentukan kemampuan bertarung seseorang.

“Seseorang harus bergantung kepada dirinya sendirinya dan bukan kepada hal lain,” kata Dorin beberapa waktu yang lalu. Awalnya Bennosuke berpikir bahwa Dorin sedang membicarakan teknik pedang karena apa yang dikatakannya mirip dengan prinsip Munisai: seseorang tidak boleh bergantung pada senjatanya.

Bennosuke seratus persen setuju dengan apa yang dikatakan kedua orang itu sampai akhirnya ia menyadari bahwa yang dikatakan Dorin adalah salah satu prinsip dalam Zen.

Di luar pelajaran sejarah dan seni berperang, Paman tidak akan pernah membahas tentang teknik berpedang atau apa pun yang berhubungan dengan hal itu, selain Zen.

Walaupun demikian, Dorin selalu mengaitkan aplikasi dari Zen dalam kehidupan sehari-hari dan tentunya secara tidak langsung juga termasuk pedang dan pertarungan – tergantung bagaimana seseorang memahaminya.

Ia menekankan pentingnya menguasai diri karena musuh terbesar adalah diri sendiri. Jika seseorang belum mampu menguasai dirinya, ia akan terlena dan kelengahan tersebut, walaupun hanya sesaat, akan dimanfaatkan oleh musuh untuk mengalahkannya.

Bennosuke menimang-nimang toya itu dengan kedua tangannya. Walaupun sepintas terlihat berat dan kokoh, toya ini ternyata cukup nyaman digenggam dan diayunkan ke segala arah.

“Bennosuke!” terdengar suara seseorang memanggilnya.

Ayah? Bennosuke terkejut. Dari intonasi suaranya, Bennosuke bisa mengetahui, Munisai tampaknya sedang tidak dalam suasana hati yang gembira.

Apakah Ayah marah karena saat ini aku sedang berada di dalam dojo dan bermain-main dengan senjata-senjata yang ada di sini?

Walaupun tujuan keberadaannya di tempat ini adalah untuk mencoba berbagai jenis senjata yang ada, Bennosuke masih menganggap apa yang dilakukannya belum bisa dikatakan sebagai suatu aktivitas yang serius seperti berlatih menggunakan senjata-senjata itu. Ia malu mengakuinya karena kemampuannya menggunakan senjata-senjata ini masih jauh dari memadai. Ia yakin Munisai beranggapan ia sedang bermain-main dengan senjata-senjata yang ada di sana.

Bennosuke membalikkan badan menghadap Munisai yang berdiri di hadapannya. Jarak di antara mereka berdua cukup jauh sekitar tiga puluh langkah.

“Ya, Ayah,” jawabnya. Ia menengadahkan wajahnya memandang ayahnya lalu bergerak menghampiri Munisai.

Munisai mengangkat tangannya sebagai tanda agar Bennosuke diam di tempat – tidak perlu mendekat ke arahnya.

Munisai menatap tajam anak itu dan melihat kondisinya. Ia telah cukup lama mengamati Bennosuke sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mendatanginya.

Saat ini Munisai seperti sedang menunggu sesuatu. Ia memerhatikan Bennosuke yang saat itu sedang memegang sebatang toya. Matanya memandang lurus ke arah Bennosuke seolah-olah sedang menduga-duga bagaimana reaksi anak itu jika ia mendadak diserang oleh seseorang saat ini.

“Awas, Bennosuke!” teriak Munisai tiba-tiba sambil mengangkat tangannya ke arah bocah itu. Munisai melontarkan sesuatu ke arah Bennosuke.

Bennosuke terkejut mendengar teriakan Munisai namun ia mampu merespons dengan cepat. Matanya menangkap sesuatu yang berkilat menerjang ke arahnya dengan cepat – hanya sesaat sebelum benda itu mengenai tubuhnya – atau perkiraan terburuk, kepalanya.

“PRAK!”

Secara refleks Bennosuke menggunakan toya yang dipegangnya itu untuk memukul benda itu. Tampak sesuatu terpental terkena hantaman toyanya. Walaupun Bennosuke tidak bisa melihat dengan pasti benda yang dilontarkan ayahnya, ia tahu benda itu terbuat dari logam dan bentuknya pipih. Ia bisa merasakan berat benda itu saat bersentuhan dengan toyanya.

“Sekali lagi!” teriak Munisai tiba-tiba. Dan tanpa memberikan kesempatan bagi Bennosuke untuk bersiaga, satu benda yang sama seperti sebelumnya kembali melayang dengan cepat menuju ke arah bocah itu. Kali ini Bennosuke tidak menggunakan toya itu untuk menangkis – karena ia memang belum mahir menggunakannya sedangkan arah serangan Munisai itu begitu dekat dengan kepalanya sementara toya itu berada dalam posisi yang tidak memungkinkan untuk digerakkan ke arah tersebut.

Bennosuke segera memiringkan kepalanya ke sisi kanannya untuk menghindari serangan itu.

Serangan yang kedua itu pun luput, sama seperti yang pertama.

Bennosuke langsung bersiap diri untuk menghadapi serangan berikutnya. Ia membetulkan posisi toya itu. Toya itu kini dipegang dengan kedua tangannya dengan salah satu ujungnya mengarah ke Munisai.

Munisai hanya memandang tajam putranya itu. Lalu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ia beranjak meninggalkan tempat itu. Tidak ada serangan yang ketiga.

Ayah … apa maksudnya? Bennosuke menoleh ke belakang melihat ke arah benda itu mendarat – lantai dojo.

Belati? Bennosuke terkesiap melihat dua bilah senjata tajam itu tergeletak di lantai dojo. Tiba-tiba saja ia merasakan hawa dingin pada tengkuknya. Ia tahu Munisai sangat ahli menggunakan belati. Ayahnya itu mampu membidik sebuah apel di atas pohon dan menjatuhkannya dengan sebilah belati yang dilontarkan dengan tepat memotong tangkai buah itu.

Ayah ingin membunuhku? Tetapi … mengapa?

Tidak mungkin! Akal sehatnya membantah. Namun demikian ia tetap tidak berhasil menemukan jawaban atas apa yang barusan dilakukan Munisai terhadapnya.

Yang tidak disadari Bennosuke saat itu adalah Munisai sebenarnya tidak mengerahkan seluruh kemampuannya ketika melontarkan belati ke arahnya. Kecepatan dan arah belati itu masih dalam batas-batas kemampuan Bennosuke untuk menangkis atau mengelakkannya. Sekalipun Bennosuke terlambat mengantisipasi serangan itu, belati-belati itu tidak akan melukainya – arahnya sengaja dibuat melebar sekitar ½ sun (sekitar 1,7 sentimeter) dari posisi diam Bennosuke. Jika ia berdiam diri dan tidak bergerak sedikitpun, ia tidak akan terluka sama sekali.

Tetapi saat ini bocah itu belum mampu menyadari adanya selisih jarak yang sedemikian tipis itu sehingga ia tidak memahami maksud Munisai yang sebenarnya – menguji sudah seberapa jauh kemampuan teknik berpedangnya meningkat. Kemampuan teknik berpedang tersebut tentu termasuk kemampuan menangkis serangan dan mengelakkan serangan seperti yang barusan diperagakan oleh Bennosuke tanpa bocah itu menyadarinya.

Bennosuke merasa tubuhnya lemas. Ia menjatuhkan dirinya ke lantai dojo. Kedua tangannya menopang badannya sementara lututnya menyentuh lantai – posisi tubuhnya saat itu seperti posisi tubuh seorang murid ayahnya yang sedang membersihkan lantai dojo.

Walaupun demikian, pikirannya yang terlatih segera saja mampu memperoleh sesuatu dari kejadian ini. Apa pun yang terjadi pada diri kita, kita harus mampu memetik pelajaran dari hal tersebut – termasuk dari lawan kita sekalipun!

Dan pelajaran yang didapatkan Bennosuke kali ini adalah …

Belati! Aku harus berlatih menggunakan belati. Bukan cuma untuk pertarungan jarak dekat tetapi juga untuk melumpuhkan lawan dari jarak jauh.

Munisai telah sering kali menunjukkan betapa efektifnya belati itu untuk melumpuhkan sasaran dari jarak jauh. Salah satu keuntungan melumpuhkan lawan dari jarak jauh ialah mengurangi kemampuan serangnya, terlebih jika menghadapi lawan yang berkelompok – berjumlah lebih dari dua orang. Selama ini Bennosuke belum menyadari keunggulan belati sebagai senjata yang mampu melumpuhkan lawan dari jarak jauh.

Dan dalam pertarungan yang sebenarnya, tidak ada jaminan kalau aku akan selalu bertarung satu lawan satu – terlebih jika lawan yang kuhadapi datang berkelompok. Dengan belati, aku mampu melumpuhkan beberapa orang dari mereka sebelum mereka mendekat ke arahku.

Dibandingkan panah dan senapan, belati relatif lebih mudah digunakan – walaupun efektivitasnya untuk melumpuhkan lawan, terutama dalam hal jangkauan, masih kalah dengan dua senjata tersebut.

Satu hal lagi! Bennosuke mengatupkan rahangnya kuat-kuat dan menggemeretakkan giginya. Aku harus mampu mengatasi perasaan ini! Perasaan ketakutan yang amat sangat – seolah-olah kematian sudah menjemputnya. Ia memang sempat menghindari terjangan belati yang kedua, tetapi itu pun ia lakukan pada saat-saat terakhir ketika kedua tangannya berada dalam posisi yang salah sehingga toya yang seharusnya bisa ia gunakan untuk menangkis serangan itu menjadi tidak berguna.

Di dalam pertarungan, tak sedikit pun aku boleh membiarkan diriku lengah dan tidak mampu mengatasi serangan lawan.Bennosuke berikrar pada diri sendiri.

Ia tidak menyadari Munisai saat itu masih memerhatikannya dari balik pintu dojo. Ia tersenyum melihat Bennosuke yang sedang termenung itu dan tampak dalam keadaan lemas belum mampu menggerakkan tubuhnya untuk bangkit berdiri.

Dengan berdiam diri pun kamu tidak akan apa-apa. Kamu akan tetap selamat, Bennosuke. Hanya saja kamu belum mampu melihat penyimpangan arah belati itu. Penyimpangan sebesar ½ sun itu.

Munisai beranjak pergi meninggalkan dojo. Ia tahu apa yang ada dalam benak Bennosuke saat itu.

Anak ini akan bangkit dan menjadi kuat. Apa yang baru saja dialaminya akan menjadi tantangan baginya untuk terus meningkatkan kemampuannya.

Bersambung

Bagian (20), (19), (18), (17), (16), (15), (14), (13), (12), (11) dan sebelumnya

#‎Tantangan100HariMenulisNovel

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun