“Ah, Bennosuke, tidak berlatih pedang hari ini?” tanya Dorin. Bocah yang sedang sibuk memahat sebatang ranting itu menengok ke arah orang yang memanggilnya itu, lalu menggelengkan kepalanya.
Tumben.
Selama beberapa hari, Dorin memerhatikan bocah itu tekun berlatih dengan bokken-nya, tetapi hari ini Bennosuke tampaknya tidak berniat melakukan latihan yang menjadi kerutinannya itu.
“Kenapa?” tanya Dorin lagi sambil ikutan duduk di samping Bennosuke. Mereka berdua duduk di batu-batu berbentuk pipih yang banyak terdapat di pekarangan rumah Munisai.
“Ini,” Bennosuke memperlihatkan telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu tampak dipenuhi bilur hingga ke jari-jemarinya.
“Aku terlalu banyak berlatih mengayunkan pedang,” katanya. “Padahal belum sampai sejuta kali.”
Bennosuke tersenyum dan mentertawakan dirinya sendiri. Dia tentu ingat apa yang dikatakan Dorin, sejuta kali itu hanyalah perumpamaan. Suatu pengandaian mengenai kekuatan tekad untuk mencapai kesempurnaan, di dalam mengerjakan sesuatu hal – apa pun itu, perlu latihan yang keras, dijalankan semaksimal dan sesering mungkin.
Anak ini terlalu banyak berlatih.
“Kalau sudah lecet-lecet begini, kamu tentunya sudah tidak bisa lagi memegang bokken-mu dengan benar.” Dorin turut merasa prihatin. Pastinya telapak tangan anak ini terasa sakit sekali.
“Bisa, kok,” dengan tangan kirinya Bennosuke mengangkat ranting yang sedang dipahatnya itu tinggi-tinggi – bagaikan mengangkat sebilah pedang.
“Eh?” Dorin terkejut. “Memangnya tanganmu tidak sakit?”