Â
Di sebuah rumah yang sepi seorang ibu bertanya pada anaknya.
"Apakah yang kau inginkan dalam hidupmu anakku ?" Tanya Dewi Arimbi kepada putranya yang gantheng dan perkasa.Â
Sebuah jawaban yang membuat hati Arimbi ingin menangis, ialah: "Aku tidak menginginkan apa-apa ibu. Aku hanya ingin menemani ibu selamanya, yang hidup dalam kesenyapan karena terlalu sedikitnya cinta kasih dari ayahku".
Arimbi terhenyak mendengar jawaban itu. Untuk sesaat wanita separuh baya itu tidak mampu berkata-kata.
Seperti tersayat-sayat hatinya, perih dan sangat pedih mendengar jawaban yang tidak diduga sama sekali.Â
Akhirnya Arimbi hanya diam sembari memandang anaknya yang tumbuh sebagai pria yang luar biasa itu.
Tapi bukanlah soal kesunyian hidup yang disebut putranya yang membuat Arimbi meneteskan air mata.
Bukan pula tentang kesepian yang setiap siang dan malam mewarnai jalan hidupnya. Sebab aku sudah menyadari bahwa kesunyian adalah takdirku, pikirnya.
Aku tahu benar bahwa saat aku memilih mencitai Bima, aku harus menerima dengan ikhlas jika kelak suamiku adalah antara ada dan tidak ada bagiku.Â
Aku tidak berharap banyak terhadap pria tinggi besar yang sakti luar biasa itu. Bagiku cukup satu hal ialah putraku dan masa depannya.
Arimbi memang memiliki harapan besar terhadap Gatotkaca dan itu adalah hal yang sangat wajar, karena anak itu adalah satu-satunya.Â
Karena Gatotkaca adalah jagonya para dewa sehingga kesaktiannya hampir menyamai ayahnya, dan juga karena sang ibu adalah pewaris sebuah kerajaan besar, yaitu Pringgondani.Â
Arimbi sering memimpikan Kerajaan Pringgondani kelak akan menjadi negeri yang adidaya di bawah kepemimpinan putranya. Negeri yang kuat, kaya dan makmur dengan rajanya yang sakti mandraguna.
Kalau begitu, mengapa Arimbi perlu bertanya kepada anaknya tentang "ingin jadi apa"?
Bukankah sudah pasti Raden Gatotkaca terjamin masa depannya? Bukankah tidak mungkin pria muda di depannya ini akan menjadi gelandangan yang terlantar di pinggir jalan?
Ya, tentu tidak mungkin seperti itu. Gatotkaca memiliki segalanya, mulai dari harta, status sosial, kesaktian, dan darah biru.
Lantas, mengapa harus ditanyakan masa depannya? Arimbi terlalu mengada-ada mungkin.. Tapi ternyata bukan begitu.
Sebenarnya pertanyaan tadi lebih merupakan luapan kebahagiaan seorang ibu, yakni tentang masa depan anaknya yang sudah pasti akan gemilang.
Di sini sang ibu hanya ingin sedikit jawaban, ya sedikit saja tapi tegas, "aku ingin menjadi seorang raja besar, ibu!"
Betapa bangganya wanita yang sehari-hari tidak banyak berbicara itu, andaikan buah hatinya mengungkapkan perasaan seperti itu.Â
Alangkah senang dan bahagianya aku jika putraku satu-satunya ini menjawab sambil berdiri dan mengepalkan tangan.
Optimis untuk kelak akan menjadi pemimpin yang gagah dan bijaksana. Pemimpin yang disegani oleh lawan dan dihormati oleh kawan.
Tetapi jawaban Gatotkaca ternyata bukan itu. Anak muda yang gagah ini hanya menjawab dengan lesu, seakan sangat prihatin tentang nasib ibunya.
"Oh Tuhan, mengapa jawaban itu yang Kau pilihkan untuk anakku
Mengapa Gatotkacaku yang sakti ini menjawab hanya ingin menemani aku?"
Mata Arimbi lantas berkaca-kaca. Ia sangat khawatir, jangan-jangan ini merupakan gambaran nyata dari masa depan anaknya yang suram meskipun bergelimang harta. Â Â
"Jangan begitu anakku, ibu tidak mengapa menjadi wanita yang lemah tak berdaya asal kau tidak mengalaminya. Asal kau akan menjadi seorang raja besar yang menjadi harapan semua orang."
Raja yang pintar dan bijaksana yang diharapkan oleh semua rakyatnya, tidak membedakan ini teman itu lawan.Â
Seorang pemimpin yang tidak sekedar pandai bermain sandiwara, membuat pencintraan dan menerima laporan-laporan saja.Â
Melainkan ratu binatara yang sanggup hadir pada rakyat untuk menawarkan solusi tentang permasalahan mereka.
"Jangan hiraukan ibumu yang sudah ikhlas menerima kenyataan ini, ngger."Â
Istri Bima ini lantas mendekati anaknya, memeluk dan menangis sesenggukan.Â
Ditatapnya wajah Gatutkaca dengan matanya yang masih lembab.Â
"Oh anakku, bukan di rumah ibu yang sepi ini tempatmu. Kau tidak ditakdirkan untuk hidup berselimut kesunyian, kau adalah calon pemimpin besar yang sudah lama ditunggu-tunggu."
Bukankah kau sudah ditempa para dewa, bukan sekedar untuk menjadi sakti mandraguna tapi juga untuk menjadi raja besar dan bijaksana?Â
Dan, satu lagi yang paling penting anakku, bahwa untukmu yang sangat ibu kasihi, telah ibu sediakan kerajaan besar, tempat di mana kau harus duduk bersinggasana".
Begitulah pada akhirnya seperti diceritakan dalam pewayangan, Gatotkaca benar-benar diwisuda menjadi seorang raja di Pringgondani, tempat di mana para leluhurnya dulu juga memerintah.
Kakeknya yaitu Prabu Trembaka, seorang raja digdaya yang akhirnya mati oleh ayah bapaknya.
Uwaknya yaitu Prabu Arimba yang sangat pilih tanding dan akhirnyapun juga gugur oleh bapaknya.
Maka Gatotkaca pun terpaksa menuruti keinginan ibunya, yaitu menjadi seorang raja di sebuah negara.
Namun anehnya, justru bukan perannya sebagai seorang raja yang membuat ksatria muda ini terkenal namanya.Â
Jarang sekali dalam kisah pewayangan maupun pedalangan ada adegan dimana Raden Gatutkaca yang bergelar Prabu Kacanegara ini duduk di singgasana, memimpin suatu pertemuan agung di keratonnya sendiri.
Kecuali jika judul atau lakonnya memang harus bersinggungan betul dengan kerajaan Pringgondani.Â
Misalnya "Brojodenta gugur" atau "Gatotkaca winisuda". Itu artinya para pujangga tidak merasa penting untuk sering-sering mengangkat Pringgondani dalam lelakon wayang.
Gatotkaca justru populer karena kesaktiannya dan terkenal sebagai ksatria muda yang  tak tertandingi.
Siapa yang tidak kenal dengan "otot kawat balung wesi", satu-satunya yang memiliki "kotang ontokusuma", serta mampu bersemayam di atas mega laksana seekor garuda.Â
Tentu masih banyak juga aji-aji kesaktian yang dimilikinya, misalnya ajian brajamusti. Mengapa begitu?
Mengapa Gatotkaca justru lebih senang meninggalkan negerinya untuk menerima tugas-tugas dari para uwaknya ?Â
Mengapa anak muda ini seperti tidak menyadari akan tugas dan kewajibannya sebagai seorang raja ?Â
Bahkan nampak seperti orang tidak percaya diri saat berada di antara kawulanya sendiri.
Memang benar bahwa Sang Gatutkaca seorang pria sakti tak tertandingi, soal perang dialah jagonya, soal adu kesaktian jarang ada yang mengalahkannya.
Akan tetapi kembali pada soal kepemimpinan atau manejemen negara, itulah masalah besar baginya.
Keunggulan pemuda yang bernama Gatotkaca itu terletak pada kekuatan dirinya, tetapi jika menyangkut hubungan sosial apalagi menjadi pemimpin, pemuda ini seperti tidak ada apa-apanya.Â
Gatotkaca bagaikan terhipnotis oleh nasib yang dialami ibunya. Gatotkaca seperti trauma akan kehidupan Dewi Arimbi yang sengsara, yang hidup dalam lamunan meskipun dia jelas-jelas wanita yang bersuami.
KEHIDUPAN NYATA
Menjadi pertanyaannya sekarang, apakah kisah Gatotkaca itu terjadi pula dalam kehidupan nyata
Jawabannya tentu : "yes, it's a condition on our life". Bahkan banyak di antaranya yang lebih tragis dari nasib yang dialami ksatria pringgondani itu.
Kalau begitu alangkah malangnya masa depan bangsa ini jika sebagian dari generasi mudanya mengalami kondisi yang sama dengan tokoh pewayangan di atas.Â
Harus ada pihak-pihak yang merasa terpanggil untuk mencari solusi bersama, mereka bisa tokoh agama, tokoh masyarakat, pendidik, Â kaum intelektual serta yang lain.
Dalam konteks pendidikan problema ini jelas merupakan tugas para pendidik untuk mengawal siswa-siswi yang seolah-olah terlalu asyik dalam kesendiriannya itu.Â
Anak-anak yang seperti menyusuri lorong kesunyian, bergaul dengan halusinasi dan bercengkrama dengan dunia khayal.Â
Jangan biarkan anak didik kita yang nampaknya tersenyum tapi sebenarnya ia tak bahagia.Â
Mereka yang tertawa di tengah penderitaannya. Sebagai guru harus jeli mengamati hal itu.
Memang benar sebagaimana teori Konvergensi yang dikemukakan oleh William Stern, seorang psikolog Jerman  (1871-1938), yang menyatakan bahwa kebenaran terletak di tengah-tengah.Â
Artinya bahwa setiap  perkembangan manusia adalah hasil perpaduan antara faktor heriditas (pembawaan) dan faktor lingkungan.
Dengan kata lain bahwa kemajuan seorang anak merupakan kombinasi antara bakat dan pengalaman.Â
Lantas, di mana letak kekurangan Gatotkaca sehingga ia tampil sebagai figur yang "multi face" itu
Seorang yang di dalam dirinya terdapat kekuatan hebat namun juga sekaligus kelemahan kronis.
Jika kita menelusuri masa kecil anak muda yang semula bernama "raden tetuka" ini nampak bahwa ia mengalami banyak hal yang kurang wajar.Â
Saat berusia satu tahun tali pusarnya belum bisa dipotong dengan senjata ataupun pusaka apapun.
Satu-satunya yang mampu memagas tali pusar itu adalah sarung senjata kuntowijaya milik para dewa yang sebenarnya hak pamannya Arjuna.
Tapi Hyang Naroda terlanjur mmberikan kepada Raden Karno yang wajahnya mirip sekali dengan Arjuna. Â
Itupun sarung senjata yang konon terbuat dari kayu mustaka itu tiba-tiba tersedot oleh perut si jabang bayi.
Berlanjut pada masa kecil Gatotkaca yang sempat diasuh dan dilatih untuk menjadi jagonya para Dewa yaitu bertarung melawan para raksasa yang akan menghancurkan kahayangan Suralaya.Â
Agar cepat tumbuh besar dan menjadi seorang yang sakti luar biasa anak muda ini harus dimandikan di kawah candradimuka dulu.
Berbagai macam senjata sakti dan ampuh sengaja dilebur di air kawah tersebut, agar semua itu mampu menjadikan Gatotkaca berotot kawat dan bertulang besi.
Dari sini nampak sekali bahwa ksatria muda ini oleh para dewa hanya digladi untuk menjadi orang profesional di satu bidang saja (kedigdayaan).
Bukan seorang manajer atau pengelola suatu organisasi atau negara.
Sialnya lagi, saat kembali berkumpul dengan keluarganya, dia mendapatkan kenyataan tentang penderitaan ibunya yang lebih sering hidup dalam kesendirian.
Wajar jika pemuda Gatotkaca bagaikan tenggelam dalam kondisi sunyi dan tidak banyak bergaul dengan sesamanya.
Secara psikologis semua itu seperti memaksa si anak menjadi seorang yang pendiam meskipun secara mandiri memiliki banyak kelebihan.
Semua itu harus menjadi cermin bagi kaum pendidik karena pada hakekatnya guru adalah pengukir kepribadian, pembentuk budi pekerti, atau bahkan ada yang menyebutnya sebagai arsitek jiwa.Â
Guru harus senantiasa menyadari bahwa sebagai makhluk sosial, manusia (para siswa) memiliki dua hasrat.
Dua hasrat itu mulai berkembang sejak ia dilahirkan dan penting bagi perkembanghan kehidupan berikutnya, yakni:Â
(1) Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain (gregrarionees) danÂ
(2) Keinginan untuk menjadi satu dengan alam sekitarnya.
Pada kenginan pertama inilah yang melahirkan kebutuhan tentang interaksi social, yaitu kebutuhan untuk berkomunikasi dengan orang lain.Â
Di sini tidaklah semata-mata terjadi pertukaran pengalaman, melainkan mereka juga mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat dari pertukaran pengalaman itu.
Pada usia anak-anak seringkali hal itu tidak disadari oleh mereka sendiri, maka gurulah yang harus mengarahkan serta menciptakan situasi yang sebanyak mungkin terciptanya interaksi di antara teman-temannya.
Saling tukar menukar pengalaman tersebut di dalam kehidupan kelompok mempunyai pengaruh yang amat besar di dalam pembentukan kepribadian orang-orang yang bersangkutan. Â
Karena seyogyanya kemampuan siswa pada ranah sosial ini hendaknya juga menjadi salah satu pusat perhatian guru.
Tugas-tugas dalam bentuk kelompok perlu sering diberikan kepada para siswa di sekolah maupun di rumah.
Dengan demikian mereka juga akan berbagi tugas dengan sendirinya dalam intern kelompoknya masing-masing.Â
Di situlah esensi tugas kelompok oleh guru, yaitu agar dalam diri siswa terbangun rasa tanggung jawab, baik tanggung jawab secara pribadi atau mandiri maupun tanggung jawab dalam kedudukannya sebagai anggota kelompok. Demikian semoga bermanfaat. ***
Oleh: Rus Rusman
Penulis adalah Praktisi Pendidikan di Kabupaten Tuban
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H