Ditatapnya wajah Gatutkaca dengan matanya yang masih lembab.Â
"Oh anakku, bukan di rumah ibu yang sepi ini tempatmu. Kau tidak ditakdirkan untuk hidup berselimut kesunyian, kau adalah calon pemimpin besar yang sudah lama ditunggu-tunggu."
Bukankah kau sudah ditempa para dewa, bukan sekedar untuk menjadi sakti mandraguna tapi juga untuk menjadi raja besar dan bijaksana?Â
Dan, satu lagi yang paling penting anakku, bahwa untukmu yang sangat ibu kasihi, telah ibu sediakan kerajaan besar, tempat di mana kau harus duduk bersinggasana".
Begitulah pada akhirnya seperti diceritakan dalam pewayangan, Gatotkaca benar-benar diwisuda menjadi seorang raja di Pringgondani, tempat di mana para leluhurnya dulu juga memerintah.
Kakeknya yaitu Prabu Trembaka, seorang raja digdaya yang akhirnya mati oleh ayah bapaknya.
Uwaknya yaitu Prabu Arimba yang sangat pilih tanding dan akhirnyapun juga gugur oleh bapaknya.
Maka Gatotkaca pun terpaksa menuruti keinginan ibunya, yaitu menjadi seorang raja di sebuah negara.
Namun anehnya, justru bukan perannya sebagai seorang raja yang membuat ksatria muda ini terkenal namanya.Â
Jarang sekali dalam kisah pewayangan maupun pedalangan ada adegan dimana Raden Gatutkaca yang bergelar Prabu Kacanegara ini duduk di singgasana, memimpin suatu pertemuan agung di keratonnya sendiri.
Kecuali jika judul atau lakonnya memang harus bersinggungan betul dengan kerajaan Pringgondani.Â