Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sudah Makan Belum? (Cerita tentang Kecemasan Orangtua pada Anaknya)

4 September 2016   17:20 Diperbarui: 4 September 2016   21:53 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“ Dia masih jet lag, ya? Eh, dia punya persediaan makanan, nggak? Jangan- jangan terbangun malam- malam lalu kelaparan tapi nggak ada makanan..“

AKU terpana.

Percakapan itu terjadi pagi- pagi, antara aku dan suamiku. Mempercakapkan cah ayu, si sulung yang baru saja berangkat untuk kuliah di benua lain.

Dia sudah mendarat dengan selamat. Kami sudah mendapat kabar bahwa dia sudah pula tiba di asrama universitasnya. Alhamdulillah.

Tapi begitulah. Orang tua memang selalu memiliki alasan untuk mencemaskan anak- anaknya, he he he.

Termasuk orang tua semacam suamiku yang sebetulnya biasanya tenang dan sangat logis.

Pagi- pagi begitu kami bangun tidur disini, rupanya si sulunglah yang muncul dalam pikirannya.

Ugh. Aku serasa tertohok. Di tengah kehebohan mempersiapkan ini dan itu untuk keberangkatannya, ada satu yang luput dari perhatianku, yakni persediaan makanan untuk jam- jam pertama setibanya dia di asrama.

Kulirik jam. lalu aku berkata, “ Aduh, beneran deh, lupa betul, nggak kepikir soal bekal makanan itu. Eh, tapi dia punya rendang matang sih, dikasih temannya kemarin.. “

Aku teringat bahwa at the last minute, cah ayu putri sulung kami itu memasukkan  ke koper satu pak rendang matang yang dengan sengaja dikirimkan melalui kurir oleh seorang sahabat, teman kuliahnya. Untuk bekal, katanya

“ Lha tapi masa’ sih dia makan rendang doang, “ kata ayahnya.

Si sulung kami bawakan rice cooker di dalam kopernya. Tapi tak ada beras. Dan dia pastilah belum sempat berbelanja.

Hmmm.. Aku agak kehilangan kata- kata.

“ Duuhh, lupa pula nggak dipesan setelah mendarat beli makanan dulu di airport ya, “ komentarku.

“ Oh, saya sudah bilang, sih, “ jawab suamiku, “  Tapi nggak tau, dia sempat nggak beli… “

Aku agak lega mendengar sang ayah rupanya sudah berpesan padanya.

Semoga dia menuruti pesan itu,pikirku.

Dan..

Baru saja beberapa menit setelah aku dan suamiku mempercakapkan soal makanan si sulung itu, ibuku, nenek si sulung mengirimkan pesan pendek ke telepon genggamku, menanyakan apakah sudah ada kabar lagi dari si sulung, serta.. apakah dia sudah dapat makanan di asrama.

Ha ha.

Cah ayu putriku itu, selulus SMA selama kuliah S1-nya di tanah air memang tinggal dengan neneknya, ibuku, sebab dia kuliah di kota yang berbeda dengan tempat kami orang tuanya tinggal, tapi di kota yang sama dengan letak rumah orang tuaku.

Maka, tak heran jika ibuku juga ikut sibuk memikirkan urusan makan putriku. Ibuku bahkan memberikan suaranya saat putriku hendak mencari tempat tinggal.

Rencana awal, saat kuliah di luar negeri itu, untuk menghemat, putriku akan memasak sendiri. Tapi ibuku cemas akan hal itu, katanya, selama kuliah di tanah air saja putriku itu sibuk sekali belajar siang malam, lalu nanti di luar negeri itu, apa iya dia sempat memasak? Jangan- jangan sama sibuknya, lalu tak sempat atau malas memasak, dan makannya jadi tidak teratur.

“ Nanti kalau dia sakit bagaimana? “ kata ibuku.

Aku memahami mengapa ibuku cemas begitu. Sebab ada kenalan keluarga kami yang dulu juga mendapatkan beasiswa ke luar negeri, lalu sebab makan tak teratur menjadi sakit dan bahkan kemudian tak berhasil menyelesaikan kuliahnya karena itu.

Maka demi ketenangan hati sang nenek, pencarian asrama meluas dari hanya kamar saja menjadi asrama yang juga menyediakan makanan.

Alhamdulillah, ternyata ada asrama di dalam kampusnya yang menyediakan layanan itu. Putriku mendaftar untuk mendapatkan kamar dan dua kali makan sehari. Pada hari Senin sampai Jumat, dia mendapat makan pagi dan malam, sementara di akhir minggu dia mendapat makan pagi dan siang.

Ibuku lega. Aku, sejujurnya juga lega. Aku sebetulnya yakin, putriku akan bisa menyesuaikan diri dengan baik. Jika harus, dia akan bisa mengatasi jadwalnya dan memasak sendiri untuk tiga kali makan. Tapi ketika ada opsi dia mendapat dua kali makan dengan harga yang masih terjangkau dengan uang saku dari beasiswanya di asrama, aku sungguh merasa itu pilihan yang lebih baik baginya.

***

Urusan tentang makanan ini mengingatkanku pada suatu hari, duluuuu.. bertahun- tahun yang lalu.

Saat itu si sulung baru saja masuk SMP.

Uang sakunya juga terbatas. Memang sengaja kami batasi, tepatnya.

Uang yang kami berikan padanya untuk uang saku hanya sebatas cukup untuk biaya transport naik kendaraan umum pergi dan pulang sekolah.

Dan…

Pada suatu siang di masa awal sekolahnya di SMP, ada pesan masuk ke telepon genggamku dari si sulung.

“ Ibu, “ katanya, “ Hari ini aku ada tambahan di sekolah, jadi pulangnya jam 3 ya.. “

Dia pamit pulang lebih sore dari biasanya. Hari- hari sebelumnya, dia pulang jam 12 siang.

“ Iya, “ jawabku. Lalu tiba- tiba teringat sesuatu: eh, apa.. dia pulang jam 3 sore? Lalu makannya bagaimana? Dia kan.. tidak punya uang untuk jajan !

Waduh, masa’ dia harus kelaparan hari itu?

Kecemasanku itu ditambah lagi dengan rasa bersalah sebab ketika pesan darinya masuk itu, aku sendiri sedang mengikuti sebuah sesi training yang diselenggarakan kantorku, di hotel bintang lima, dengan jadwal makan siang di restoran mahal.

Ya ampun, pikirku, aku makan makanan mewah begitu sementara putriku mungkin kelaparan?

Dengan kerongkongan yang tiba- tiba terasa sakit dan tercekat, kukirimkan pesan padanya, “ Tapi gimana makan siangnya? Kan nggak bawa uang tadi.. “

Dan oh.. terimakasih pada kemandirian yang rupanya telah terbentuk pada bocah sebelas tahun itu. Jawaban yang kuterima dari putriku sungguh melegakan, “Ada koq bu. Aku tadi bawa bekal nasi dan telur ceplok dari rumah. Soalnya sudah dibilang mungkin ada tambahan, tapi belum pasti, makanya aku tadi pagi belum pamit sama ibu mau pulang telat. “

Kususut air mata di sudut mataku. Ah, Alhamdulillah.. pikirku. Dia tak harus kelaparan.

***

Membatasi uang saku memang kebijakan yang kami – aku dan suamiku – terapkan pada anak- anak kami, si sulung dan adik- adiknya. Tapi sungguh, tentu saja kami tak memaksudkan itu untuk membuat anak- anak kelaparan.

Saat mereka di Sekolah Dasar, snack dan makan siang mereka kami bawakan dari rumah. Hanya saja sebab ketika itu putriku baru masuk SMP dan mulanya dia tidak sekolah sampai sore, sebelumnya dia tak membawa bekal nasi ke sekolahnya. Sementara, ya itu, uang sakunya yang terbatas tak akan memungkinkan baginya untuk membeli makan siang di luar.

Haduh.

Aku lega tapi sejak waktu itu merubah sedikit kebijakan tentang uang saku.

Untuk sehari- hari, putri kami itu tetap diberi uang saku terbatas semata untuk transport saja. Tapi kemudian kuselipkan sejumlah uang ekstra di dompetnya dengan pesan: boleh digunakan jika sangat perlu. Kalau masih bisa diatur, bawa bekal dari rumah. Namun jika terpaksa mendadak pulang sore tapi tak punya bekal, uang itu boleh dipakai untuk makan.

At least, aku memastikan bahwa tak akan lagi ada insiden kemungkinan anakku kelaparan. He he.

Ah, begitulah.

Itu cerita saat dia kelas satu SMP, di usia sebelas tahun. Kini, sepuluh tahun kemudian, saat dia sudah berusia dua puluh satu, sudah lulus sidang akhir perguruan tinggi, bisa memenangkan beasiswa yang prestisius untuk kuliah di benua lain, koq ya di hari- hari pertamanya dia tinggal di asrama di negeri yang jauh itu, pertanyaan kami orang tua dan neneknya tak jauh- jauh juga dari: dia sudah makan, belum?

Aih.

By the way, beberapa jam setelah aku dan ayahnya mempercakapkan soal makanan itu, kami menerima pesan lagi dari cah ayu ini. Dia baru bangun, katanya. Dan, tak usah khawatir, kemarin dia sempat membeli snack, pagi ini sudah akan dapat sarapan dari asrama. Juga.. dia rupanya malah sudah pula berkenalan dengan beberapa mahasiswa Indonesia yang kuliah di sana, lalu hari ini berencana bersama- sama pergi ke Sunday Market serta mampir ke supermarket sehingga dia akan bisa membeli kebutuhannya.

Alhamdulillah. Paling sedikit, satu jenis kecemasan boleh dicoret di hati kami. 

Duh, tentang kecemasan mengenai anak- anak ini, aku jadi ingat almarhum Bapakku dulu  menjawab protesku ketika remaja, kenapa Bapak sering mencemaskan aku padahal aku (merasa) bisa mengurus diriku sendiri, Bapakku mengatakan begini, “ Nanti D, cobalah rasakan sendiri kalau D sudah punya anak, baru saat itu D akan mengerti.. “

Ah, almarhum Bapakku benar, rupanya ya? Orang tua memang selalu punya alasan untuk mencemaskan anak- anaknya. Ha ha. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun