Dan…
Pada suatu siang di masa awal sekolahnya di SMP, ada pesan masuk ke telepon genggamku dari si sulung.
“ Ibu, “ katanya, “ Hari ini aku ada tambahan di sekolah, jadi pulangnya jam 3 ya.. “
Dia pamit pulang lebih sore dari biasanya. Hari- hari sebelumnya, dia pulang jam 12 siang.
“ Iya, “ jawabku. Lalu tiba- tiba teringat sesuatu: eh, apa.. dia pulang jam 3 sore? Lalu makannya bagaimana? Dia kan.. tidak punya uang untuk jajan !
Waduh, masa’ dia harus kelaparan hari itu?
Kecemasanku itu ditambah lagi dengan rasa bersalah sebab ketika pesan darinya masuk itu, aku sendiri sedang mengikuti sebuah sesi training yang diselenggarakan kantorku, di hotel bintang lima, dengan jadwal makan siang di restoran mahal.
Ya ampun, pikirku, aku makan makanan mewah begitu sementara putriku mungkin kelaparan?
Dengan kerongkongan yang tiba- tiba terasa sakit dan tercekat, kukirimkan pesan padanya, “ Tapi gimana makan siangnya? Kan nggak bawa uang tadi.. “
Dan oh.. terimakasih pada kemandirian yang rupanya telah terbentuk pada bocah sebelas tahun itu. Jawaban yang kuterima dari putriku sungguh melegakan, “Ada koq bu. Aku tadi bawa bekal nasi dan telur ceplok dari rumah. Soalnya sudah dibilang mungkin ada tambahan, tapi belum pasti, makanya aku tadi pagi belum pamit sama ibu mau pulang telat. “
Kususut air mata di sudut mataku. Ah, Alhamdulillah.. pikirku. Dia tak harus kelaparan.