***
Membatasi uang saku memang kebijakan yang kami – aku dan suamiku – terapkan pada anak- anak kami, si sulung dan adik- adiknya. Tapi sungguh, tentu saja kami tak memaksudkan itu untuk membuat anak- anak kelaparan.
Saat mereka di Sekolah Dasar, snack dan makan siang mereka kami bawakan dari rumah. Hanya saja sebab ketika itu putriku baru masuk SMP dan mulanya dia tidak sekolah sampai sore, sebelumnya dia tak membawa bekal nasi ke sekolahnya. Sementara, ya itu, uang sakunya yang terbatas tak akan memungkinkan baginya untuk membeli makan siang di luar.
Haduh.
Aku lega tapi sejak waktu itu merubah sedikit kebijakan tentang uang saku.
Untuk sehari- hari, putri kami itu tetap diberi uang saku terbatas semata untuk transport saja. Tapi kemudian kuselipkan sejumlah uang ekstra di dompetnya dengan pesan: boleh digunakan jika sangat perlu. Kalau masih bisa diatur, bawa bekal dari rumah. Namun jika terpaksa mendadak pulang sore tapi tak punya bekal, uang itu boleh dipakai untuk makan.
At least, aku memastikan bahwa tak akan lagi ada insiden kemungkinan anakku kelaparan. He he.
Ah, begitulah.
Itu cerita saat dia kelas satu SMP, di usia sebelas tahun. Kini, sepuluh tahun kemudian, saat dia sudah berusia dua puluh satu, sudah lulus sidang akhir perguruan tinggi, bisa memenangkan beasiswa yang prestisius untuk kuliah di benua lain, koq ya di hari- hari pertamanya dia tinggal di asrama di negeri yang jauh itu, pertanyaan kami orang tua dan neneknya tak jauh- jauh juga dari: dia sudah makan, belum?
Aih.
By the way, beberapa jam setelah aku dan ayahnya mempercakapkan soal makanan itu, kami menerima pesan lagi dari cah ayu ini. Dia baru bangun, katanya. Dan, tak usah khawatir, kemarin dia sempat membeli snack, pagi ini sudah akan dapat sarapan dari asrama. Juga.. dia rupanya malah sudah pula berkenalan dengan beberapa mahasiswa Indonesia yang kuliah di sana, lalu hari ini berencana bersama- sama pergi ke Sunday Market serta mampir ke supermarket sehingga dia akan bisa membeli kebutuhannya.