Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Mental Juara itu Lebih Penting Daripada Sekadar Menjadi Juara

24 Juli 2016   13:10 Diperbarui: 24 Juli 2016   22:20 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentang lomba-lomba itu…

SUATU hari beberapa waktu yang lalu, si sulung anakku berkata, “ Bu, aku ikut lomba di Singapore. Bawa desain aku  dan teman sekelompok, mewakili perguruan tinggi dari Indonesia. “

Lalu percakapan berlanjut. Aku menanyakan lebih banyak tentang detail lombanya, dan juga “ Siapa aja nanti lawannya ? “

“ Ada dari perguruan tinggi banyak negara, bu, “ cah ayu anakku menjawab. “ Jerman, Australia, Filipina, India, Singapore, lupa sisanya.. Ada sekitar 10 negara yang diundang ke lomba di Singapore itu. “

Dan begitulah, beberapa saat setelah percakapan itu, di suatu subuh kami mengantarkan si sulung itu ke bandara. Dia akan berangkat bersama teman- teman sekelompoknya, membawa rancangan mereka untuk dilombakan di Singapore.

Kami orang tuanya, tak mengeluarkan biaya untuk lomba ini. Biaya pesawat ditanggung oleh perguruan tinggi dimana cah ayu bersekolah, akomodasi di Singapore ditanggung oleh perguruan tinggi penyelenggara lomba tersebut.

***

Beberapa bulan sebelum itu, aku sedang di kantor ketika aku menerima sebuah pesan di telepon genggamku. Dari cah ayu, si sulung itu juga.

" Bu, " begitu isi pesannya. " Alhamdulillah, makalahku diterima. Buat konferensi yang di Taiwan itu. "

Oh. Aku senang sekali.

Beberapa hari kemudian, di akhir minggu, ketika aku menengok anakku ke kota tempatnya kuliah, yang berlainan dengan kota dimana rumah kami berada kami mengobrolkan tentang konferensi itu, dan, aku tercengang

" Lho, topiknya koq...  " kataku, " Nduk, bukan konferensi dengan topik engineering, ternyata?

" Iya bu, bukan," jawab anakku.

Aku menilik lagi detail konferensi itu. Itu konferensi dengan topik sosial dan politik. Agak diluar dugaanku. Sebab anakku itu mahasiswa fakultas teknik. Tadinya kupikir konferensi itu topiknya berhubungan dengan hal yang dia pelajari di kampus.

" Lha kau nulis apa kemarin, isi makalahmu itu? "

" Tentang Demokrasi di Asia, " jawabnya.

Aku geleng- geleng kepala, " Hah? Koq bisa? "  kataku.

Anakku tertawa- tawa, " Aku sebetulnya juga heran koq bu, makalahku diterima,  " komentarnya ringan.

Ha ha.

Aku takjub, betul.

Konferensi itu konferensi internasional. Untuk bisa mengikuti konferensi yang akomodasinya juga ditanggung oleh penyelenggara itu, seseorang harus mengirimkan makalah untuk dipresentasikan disana. Panitia lalu menyeleksi makalah tersebut. Peserta konferensi adalah mahasiswa tanpa batasan jenjang. Baik S1 atau S2 akan diperlakukan dan dinilai dengan cara yang sama.

Aku penasaran. Kucari data nama- nama orang yang makalahnya diterima dari internet. Dan..

Wah.

Dari semua nama yang kumasukkan, kudapati bahwa latar belakang pendidikan orang- orang tersebut memang sesuai dengan topik konferensinya.

Kuberikan perhatian ekstra pada peserta konferensi dari Indonesia. Lagi - lagi aku tercengang.

Ini bukan ecek- ecek levelnya ! Ini bukan mahasiswa S1 dan S2 kelas teri.

" Nduk, " kataku pada putriku, " Si A itu ternyata juara nasional lomba menulis essay topik sosial politik, si B itu praktisi dalam bidang anu dan anu, si C pernah menang kompetisi ini dan itu..."

Putriku tenang- tenang saja mendengarkan semua data yang kuberikan padanya.

" Oh ya? " katanya.

" Iya. Dan.. rata- rata mereka kakak angkatanmu. Bisa jadi kau nanti paling muda, dan.. jangan- jangan kau satu- satunya mahasiswa teknik di konferensi itu. "

Putriku senyum- senyum saja.

Prediksiku tentang dia satu- satunya mahasiswa teknik dan termuda di konferensi itu hal itu benar adanya. Tapi sempat kuhubungi dia beberapa hari setelah dia mengikuti konferensi berbentuk winter camp itu, " Eh, gimana, bisa ngikutin nggak topiknya? "

" Bisa, bu, " katanya, " Walau lumayan berat juga mencernanya, tapi bisa.. "

Aku lega mendengarnya. Juga senang.

Dari jawabannya, kusadari cah ayu putri sulungku yang mungil ini sudah tumbuh menjadi seseorang yang tangguh, yang siap menghadapi tantangan dan menemukan hal- hal baru dengan tenang.

Kemampuan yang aku yakin, dalam jangka panjang akan sangat membantu dalam hidupnya kelak.

***

Dua kisah yang kuceritakan di atas itu sebagian dari kompetisi internasional yang pernah diikuti putriku. Ada banyak lagi yang lain. Kompetisi untuk mengikuti International Youth Leadership, pertukaran mahasiswa internasional, atau mengikuti kompetisi menulis yang diselenggarakan oleh lembaga- lembaga internasional, dan sebagainya.

Dan apakah semua yang dia capai sekarang itu merupakan buah dari banyak lomba yang diikutinya sejak usia belia?

Jawabannya adalah: tidak.

Bahwa dia bisa dan suka menulis, memang sudah tampak sejak dia masih di Sekolah Dasar.

Tapi dia tak pernah mengikuti lomba, sebab dia tak mau. Ketika kudorong dia untuk mempublikasikan tulisannya di majalah anak- anak, dia juga menolak.

Tak kudesak dia. Itu tulisan dia, dialah yang lebih berhak memutuskan apa yang ingin dia lakukan dengan tulisan- tulisan tersebut.

Anakku ini, juga cemerlang dalam hal akademik.

Saat dia masih kelas 4 SD, oleh sekolahnya dia diminta bergabung untuk mengikuti pelatihan olimpiade Ilmu Pengetahuan Alam bersama murid- murid kelas 5 SD, para kakak kelasnya. Anakku ini bahkan maju sampai tahap yang cukup jauh. Ketika para kakak kelasnya sudah banyak berguguran, anakku masih maju sampai beberapa tahap berikutnya.

Namun justru setelah itu dia malah mengatakan pada kami, aku dan ayahnya, "Kalau aku nggak mau ikut olimpiade- olimpiadean lagi, boleh kan ? "

" Boleh aja, " jawab kami, " Kalau nggak mau, nggak apa- apa. "

Dia teguh pendirian mengenai hal itu. Prestasi akademiknya terus cemerlang saat dia duduk di bangku SMP dan SMA, tapi tak pernah mau ikut lomba atau olimpiade.

Kami biarkan saja dia begitu.

Begitulah.

Sampai ketika dia kelas 3 SMA, dia diminta sekolahnya untuk mengikuti lomba karya tulis mewakili sekolah untuk suatu kompetisi antar murid SMA se-Jabodetabek yang diselenggarakan oleh salah satu kementrian.

" Terus, mau ikut? " tanyaku.

" Iya deh bu, " katanya, " Mau. "

Ya sudah.

Dia lalu menyertakan karya tulisnya dalam lomba itu, dan.. vini vidi vici. Dia meraih juara ketiga dalam kompetisi menulis itu. Dia diantar oleh para guru dan teman- teman sekolahnya untuk menghadiri penyerahan penghargaan oleh Ibu Menteri ketika itu.

Di kelas 3 SMA itu pula, suatu hari dia pulang ke rumah dengan berita bahwa dia diminta mewakili sekolah untuk lomba murid teladan tingkat SMA.

Pertanyaan kami seperti biasa adalah, " Kau mau ? "

Iya, dia mau, katanya.

Baiklah. Jika dia sendiri mau, kami dukung dia dan membantu menyiapkan apa yang diperlukannya untuk mengikuti lomba tersebut.

***

Tahun berlalu.

Dia diterima di fakultas Teknik di sebuah Perguruan Tinggi Negeri.

Dan saat itulah, sejak tingkat- tingkat awal dia menjadi mahasiswa, putriku ini justru getol sekali mendaftarkan diri dalam banyak lomba dan kompetisi. Bukan hanya tingkat nasional tapi juga internasional.

Kemampuan menulis serta akademik dan wawasan yang dia miliki diolahnya sedemikian rupa sehingga karya tulisnya mampu membawa dia mengikuti beberapa konferensi, pertukaran mahasiswa, winter camp dan beragam hal lain yang serupa.

Kami gembira, selain atas apa yang diraihnya,  juga sebab kami lihat putri kami sama sekali tak terbeban. Dia melakukan semua itu atas keinginannya sendiri dengan senang hati. Juga, saat mengikuti lomba dan kompetisi itu, dia juga siap menang dan siap kalah.

Kekalahan tak membuatnya down dan putus asa. Kemenangan juga tak membuatnya mabuk kepayang.

***

Membesarkan anak, memang jalan panjang.

Apa yang terlihat pada putri kami sekarang adalah cara yang kami pilih untuk menyusuri jalan panjang itu. Sejak anak- anak kecil, kami tak pernah berminat menjadi orang tua yang mencetak anak menjadi ijuara instan. Kami tak ingin ambisi mencetak anak menjadi juara sedini mungkin justru membuat anak tertekan, atau bahkan depresi.

Membangun kekuatan internal pada anak- anak, membuat mereka menyadari apa yang mereka inginkan, ingin dicapai dan menjalani prosesnya dengan senang dan bahagia juga sangat penting daripada sekedar segera menjadi juara.

Untuk apa jadi juara jika dia bahkan tak bahagia?

Seperti banyak orang tua lain, tentu saja kami juga menginginkan anak- anak kami berprestasi. Tapi kami percaya proses belajar itu serupa marathon dan bukan sprint. Maka kami tak memacu anak untuk berlari (terlalu) kencang di usia belia, terutama jika itu tak sesuai dengan kemauan atau kemampuannya. Tapi kami terus melatih mereka untuk tumbuh kuat, agar mereka terus bisa menempuh jalan panjang serupa marathon dengan gembira dan suka cita, dan pada suatu titik akan juga meraih prestasi yang membanggakan, saat mereka sendiri sudah siap untuk itu..

p.s. link terkait: http://www.kompasiana.com/rumahkayu/proses-belajar-anak-itu-seperti-lari-marathon-bukan-sprint_578cb18efe22bdaa0b44fbc4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun