Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ini Nyata, Bukan Semata Mimpi Buruk: Ketika Letusan Senjata Memicu Kerusuhan di Stasiun Kereta

14 April 2013   09:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:13 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keping kenangan dari malam yang mencekam itu...

KINI kusadari, situasi saat ada kerusuhan memang sama sekali bukan situasi yang mudah dihadapi.

Ketika terjebak dalam sebuah gerbong kereta di stasiun Depok Lama yang kuceritakan sebelumnya, kurasakan benar hal itu.

Gerbong dimana aku berada itu gerbong dalam sebuah rangkaian KRL 'Commuter Line' yang memang aku tunggu, rangkaian yang dapat membawaku ke stasiun yang terdekat dari rumah. Dalam situasi normal, saat rangkaian itu tiba dan penumpang selesai turun dan naik, KRL akan segera diberangkatkan kembali.

Tidak saat itu.

Ada KRL Ekonomi yang batal berangkat di jalur sebelah. Ada suara tembakan yang masih membekas di telinga. Ada banyak teriakan marah dan orang-orang yang kacau dan lalu lalang.

Lalu suara ledakan lagi, yang membuat banyak orang menjerit. Aku melihat potongan kertas berhamburan.

Hmm.. petasan?

Ada yang menyalakan petasan untuk makin memanaskan suasana saat situasi chaos setelah seorang petugas dari Brimob memicu kerusuhan dengan menembakkan pelatuk senjata ketika suasana sudah panas dan siap meledak karena perselisihan petugas dengan para penumpang KRL Ekonomi itu, rupanya?

Tembakan petugas tersebut bak aba- aba untuk memulai kerusuhan malam  itu. Ledakan petasannya, bagaikan pekik peperangan balasan atas pelatuk senjata yang ditarik petugas keamanan di stasiun..

***

Sementara itu, masinis di KRL Commuter Line yang baru tiba menjadi sasaran kepanikan penumpang.

Aku masuk ke gerbong paling depan. Gerbong yang seharusnya merupakan gerbong khusus perempuan namun saat itu ada beberapa lelaki di dalamnya. Dan tak ada satupun yang terpikir untuk mempertanyakan kenapa para lelaki tersebut ada di situ, tentu saja.

Lalu gedoran-gedoran dari dalam gerbong ke pintu dan jendela pembatas ruang masinis mulai terjadi.

Para penumpang yang ketakutan berteriak- teriak. " Pak..jalan paaakkkkk..cepat jalankan keretanyaaa.. "

Kalimat serupa itu terus terdengar bersahut-sahutan. Mulai dari nada meminta, marah, hingga putus asa, sebab KRL itu tak bergerak maju seincipun.

Aku menahan diri.

Sebenarnya, kuingin sekali juga ikut memaksa masinis menggerakkan maju KRL yang kutumpangi itu. Tapi aku tahu, itu tindakan yang tak benar dan bisa berbahaya. Masinis selayaknya hanya menjalankan kereta atas perintah PPKA -- Petugas Perjalanan Kereta Api -- bukan para penumpang yang panik dan histeris. Sebab kalau dia maju tanpa perintah PPKA, jika ternyata ada jalur rel menyilang dimana ada kereta dari arah berlawanan datang, akibatnya malah bisa fatal.

Suara gedoran dari luar gerbong makin gencar. Teriakan- teriakan agar pintu gerbong dibuka terdengar jelas. Kupahami, para penumpang KRL Ekonomi yang gagal berangkat pasti tak rela jika KRL Commuter Line itu berangkat lebih dulu meninggalkan mereka dalam kelelahan dan ketidak pastian.

Aku sungguh tak tahu, mana yang lebih baik, ada di dalam gerbong yang dengan pintu tertutup tanpa bisa melakukan apa-apa, atau meminta masinis membuka pintu sehingga ada peluang lari keluar, walau..

Dengan ngeri aku melihat begitu banyak lelaki memukuli badan gerbong di luar.

Sementara itu, di dekatku ada perempuan muda yang histeris. Menangis menjerit- jerit dalam pelukan seorang lelaki. Mungkin pacarnya. Berjarak semeter dari pasangan itu, ada juga perempuan sebayanya yang tak kalah histeris, menangis dengan suara yang sama keras, juga dalam pelukan seorang lelaki.

Entah kenapa, reaksi spontan dalam hatiku adalah marah pada kedua perempuan itu.

Genit, teriak hatiku geram. Bukannya mikir, malah nangis- nangis seperti itu. Memangnya keadaan akan membaik kalau mereka bersikap begitu?

Aku setengah mati harus menahan agar apa yang ada dalam hati dan benakku yang menganggap mereka genit itu tidak tercetus keluar. Situasi sudah demikian kacau, tak perlu lagi aku mengatakan apapun yang dapat menimbulkan pertengkaran. Walau telingaku sakit dan sejujurnya darahku mendidih melihat kedua perempuan muda itu.

Useless, gerutu hatiku. Kenapa sih mereka tidak membantu memikirkan jalan keluar dengan tenang, malah menjerit- jerit menambah tak enak suasana?

Gerutuan itu, tentu juga tak kukeluarkan...

***

[caption id="attachment_247860" align="aligncenter" width="344" caption="Gambar: www.thefunnyblog.org"][/caption]

Kuamati pintu- pintu kereta, tanpa juga dapat memutuskan apakah akan kuminta masinis menekan tombol atau menggerakkan tuas pembuka pintu atau barangkali lebih baik diam saja disitu?

Keduanya mengandung resiko. Keluar menembus barisan orang yang sedang mengamuk, siapa yang dapat menjamin kita tak jadi korban salah sasaran? Tapi tetap tinggal di dalam gerbong, pasif tak melakukan apa- apa.. duh, siapa yang tahu, apa yang akan mereka lakukan terhadap rangkaian kereta dimana aku terjebak di dalamnya itu?

Lalu..

Dari gerbong sebelah terdengar suara langkah keras dan cepat. Kulihat beberapa lelaki berlarian ke arah kami dan berteriak: " Keluar..keluaaarrrrr.. " -- disambung beberapa kalimat yang tak lagi dapat kuingat persisnya tapi kupahami bahwa mereka penumpang KRL Ekonomi yang menghendaki agar KRL Commuter Line itu tetap ditahan disitu, tak boleh berangkat.

Tahulah aku, pilihan berada di dalam gerbong harus digugurkan. Ada di dalam hanya akan berguna bila ada kemungkinan KRL itu diberangkatkan. Jika tidak..

Kuambil keputusan.

" Buka pintunya.. " segera kuserukan kata- kata itu.

Suara jerit tangis yang menyakitkan telinga dan membuatku kesal masih terdengar, tapi kuabaikan semua itu.

Kuberikan kode pada beberapa orang yang berdiri dekat dengan pintu dan jendela pembatas ke ruang masinis. "Minta mereka buka pintunya ! " seruku lagi.

Kutahan air mataku.

Tidak, pikirku. Tidak boleh menangis saat ini.

Dan itu sulit sekali. Sebab aku bukan menahan air mata sebab ngeri dengan situasi yang kuhadapi.

Aku memang ngeri, tapi kengerian itu tetap bisa kuatasi dengan berpikir logis. Namun bagaimana cara menahan air mata mengalir ketika aku tiba- tiba teringat pada almarhum Bapak?

Bapakku, selalu memperhatikan hal- hal yang terkait dengan keselamatan.

Aku ingat sekali kejadian saat central lock untuk pintu mobil mulai diperkenalkan, serta munculnya remote control yang bisa membuka kunci pintu mobil dengan menekan tombol saja. Ketika kami yang lain menyambutnya sebagai keajaiban yang perlu dikagumi, Bapak tak tampak terlalu terkesan.

Bapak malah bertanya, " Itu pintunya masing- masing tetap bisa dibuka sendiri tanpa harus dibuka dari remote control atau tombol sentral di sisi supir itu kan? "

Saat dijawab "ya", sebelum kami pahami kemana arah pertanyaannya, Bapak sudah mengajuka pertanyaan lain lagi, "Kunci pintunya itu, tetap bisa dibuka secara manual kan, tidak hanya bisa dibuka dengan tombol- tombol otomatis? "

Aku kenal sekali Bapak. Wawasannya luas dan pemikirannya jauh ke depan. Dan Bapak tak pernah menolak kemajuan serta inovasi baru. Maka, jika Bapak sampai mempertanyakan hal- hal itu, pasti ada alasan besar yang mendasarinya.

Dan memang ada.

Setelah itu Bapak menjelaskan bahwa central lock hanya dapat diterima sebagai inovasi yang memudahkan jika tak mengorbankan pertimbangan keselamatan.

Kunci- kunci pintu mobil harus tetap dapat dibuka masing- masing, serta bisa dibuka dengan cara manual dengan menarik kait kunci.

" Dalam keadaan darurat, " kata Bapak ketika itu, " Bisa jadi tombol otomatis tak berfungsi. Atau orang yang memiliki kendali terhadap tombol otomatis itu tidak bisa menekan tombol tersebut. Maka, keselamatan semua orang di dalam mobil akan tergantung pada apakah kunci pintu mobil bisa dibuka sendiri oleh masing- masing orang untuk setiap pintunya dengan cara manual.. "

Ah Bapak, pikirku. Lihat ini aku sekarang, terjebak dalam gerbong tertutup. Ada delapan gerbong dalam rangkaian kereta itu, yang pintunya dirancang untuk dibuka dengan entah bentuknya tombol atau tuas yang ada di ruang masinis.

Dan aku tak tahu bagaimana membuka pintu dengan cara manual..

Aku tahu bahwa ada satu alat di bagian samping atau di bawah tempat duduk yang dapat digunakan untuk membuka pintu. Tapi sedikit dari kami para penumpang yang tahu dimana letak persisnya dan bagaimana menggunakannya sebab tak pernah ada penerangan resmi diberikan pada kami. Bahkan pengetahuan itupun kudapatkan tak sengaja ketika beberapa orang yang merasa gerbong terlalu penuh pernah memaksa membuka pintu dengan cara itu agar udara dari luar masuk dan mereka bisa bergelantungan di pintu.

Bukan sesuatu yang ingin kulakukan, jelas, bergelantungan di pintu seperti itu. Dan membuatku merasa sangat bodoh sebab tak pernah kuamati benar bagaimana cara membuat pintu terbuka tanpa harus menunggu masinis melakukannya.

Padahal, dalam keadaan darurat, bisa jadi keselamatan kami tergantung pada apakah pintu itu dibuka atau tidak.

Suara derap kaki dan teriakan "Keluar..keluar.." makin jelas terdengar.

Kutahan air mataku dengan susah payah. Bapak baru saja berpulang beberapa bulan sebelumnya dan hingga saat itu (bahkan hingga kini), aku selalu seperti tak punya kendali terhadap katup air mataku jika mulai teringat pada Bapak. Ingatan pada Bapak selalu otomatis membuat air mata mengalir.

Tenggorokanku mulai sakit.

"Buka pintunya..minta masinis buka pintunya.." seruku, seraya memaksa otak mengambil alih kendali.

Permintaanku segera disambut beberapa orang ibu yang menggedor pintu ke ruang masinis dan menyampaikan kalimat serupa, " Buka pintunyaaaa.. "

Kuamati pintu- pintu gerbong kereta, sambil memvisualisasikan kondisi peron dan dimana letak pintu keluar stasiun. Kurancang kemana langkah akan kuayunkan sambil terus berusaha agar air mata tak mengalir.

Kalau Bapak masih ada, dan tahu bahwa aku terjebak di dalam gerbong seperti itu dengan ketergantungan pada masinis untuk membuka pintu, entah apa yang akan dikatakannya..

***

Sedetik..

Dua detik..

Tiga..

Permintaan untuk membuka pintu itu akhirnya ditangkap oleh masinis.

Suara mendesis mulai terdengar. Pintu gerbong terbuka. Kusapu cepat setiap pintu dengan pandangku, mencoba berhitung, pintu mana yang tak terhalang orang- orang yang marah dan berteriak di luar gerbong tersebut.

Pintu membuka.

Kuambil keputusan segera, kupilih sebuah pintu, melompat keluar gerbong dan berlari menembus beragam orang, teriakan, jerit tangis dan ledakan lagi.

Sudah tak lagi aku mampu membedakan apa itu, tembakan senjatakah, petasan, atau suara plastik yang digembungkan dan dipecahkan?

Air mataku tak jadi mengalir. Kutahu pasti, kubutuhkan pikiran jernih saat itu. Juga mata yang awas untuk menembus kerusuhan. Air mata hanya akan mengacaukan logika, dan mengaburkan pandang. Maka air mata harus bisa mengalah untuk tidak hadir dalam saat- saat seperti itu..

p.s. Artikel sebelumnya - Saat Mimpi Indah Berubah Menjadi Mimpi Buruk: Terjebak Kerusuhan di Stasiun Kereta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun