Sementara itu, masinis di KRL Commuter Line yang baru tiba menjadi sasaran kepanikan penumpang.
Aku masuk ke gerbong paling depan. Gerbong yang seharusnya merupakan gerbong khusus perempuan namun saat itu ada beberapa lelaki di dalamnya. Dan tak ada satupun yang terpikir untuk mempertanyakan kenapa para lelaki tersebut ada di situ, tentu saja.
Lalu gedoran-gedoran dari dalam gerbong ke pintu dan jendela pembatas ruang masinis mulai terjadi.
Para penumpang yang ketakutan berteriak- teriak. " Pak..jalan paaakkkkk..cepat jalankan keretanyaaa.. "
Kalimat serupa itu terus terdengar bersahut-sahutan. Mulai dari nada meminta, marah, hingga putus asa, sebab KRL itu tak bergerak maju seincipun.
Aku menahan diri.
Sebenarnya, kuingin sekali juga ikut memaksa masinis menggerakkan maju KRL yang kutumpangi itu. Tapi aku tahu, itu tindakan yang tak benar dan bisa berbahaya. Masinis selayaknya hanya menjalankan kereta atas perintah PPKA -- Petugas Perjalanan Kereta Api -- bukan para penumpang yang panik dan histeris. Sebab kalau dia maju tanpa perintah PPKA, jika ternyata ada jalur rel menyilang dimana ada kereta dari arah berlawanan datang, akibatnya malah bisa fatal.
Suara gedoran dari luar gerbong makin gencar. Teriakan- teriakan agar pintu gerbong dibuka terdengar jelas. Kupahami, para penumpang KRL Ekonomi yang gagal berangkat pasti tak rela jika KRL Commuter Line itu berangkat lebih dulu meninggalkan mereka dalam kelelahan dan ketidak pastian.
Aku sungguh tak tahu, mana yang lebih baik, ada di dalam gerbong yang dengan pintu tertutup tanpa bisa melakukan apa-apa, atau meminta masinis membuka pintu sehingga ada peluang lari keluar, walau..
Dengan ngeri aku melihat begitu banyak lelaki memukuli badan gerbong di luar.
Sementara itu, di dekatku ada perempuan muda yang histeris. Menangis menjerit- jerit dalam pelukan seorang lelaki. Mungkin pacarnya. Berjarak semeter dari pasangan itu, ada juga perempuan sebayanya yang tak kalah histeris, menangis dengan suara yang sama keras, juga dalam pelukan seorang lelaki.