Padahal, dalam keadaan darurat, bisa jadi keselamatan kami tergantung pada apakah pintu itu dibuka atau tidak.
Suara derap kaki dan teriakan "Keluar..keluar.." makin jelas terdengar.
Kutahan air mataku dengan susah payah. Bapak baru saja berpulang beberapa bulan sebelumnya dan hingga saat itu (bahkan hingga kini), aku selalu seperti tak punya kendali terhadap katup air mataku jika mulai teringat pada Bapak. Ingatan pada Bapak selalu otomatis membuat air mata mengalir.
Tenggorokanku mulai sakit.
"Buka pintunya..minta masinis buka pintunya.." seruku, seraya memaksa otak mengambil alih kendali.
Permintaanku segera disambut beberapa orang ibu yang menggedor pintu ke ruang masinis dan menyampaikan kalimat serupa, " Buka pintunyaaaa.. "
Kuamati pintu- pintu gerbong kereta, sambil memvisualisasikan kondisi peron dan dimana letak pintu keluar stasiun. Kurancang kemana langkah akan kuayunkan sambil terus berusaha agar air mata tak mengalir.
Kalau Bapak masih ada, dan tahu bahwa aku terjebak di dalam gerbong seperti itu dengan ketergantungan pada masinis untuk membuka pintu, entah apa yang akan dikatakannya..
***
Sedetik..
Dua detik..