Tahulah aku, pilihan berada di dalam gerbong harus digugurkan. Ada di dalam hanya akan berguna bila ada kemungkinan KRL itu diberangkatkan. Jika tidak..
Kuambil keputusan.
" Buka pintunya.. " segera kuserukan kata- kata itu.
Suara jerit tangis yang menyakitkan telinga dan membuatku kesal masih terdengar, tapi kuabaikan semua itu.
Kuberikan kode pada beberapa orang yang berdiri dekat dengan pintu dan jendela pembatas ke ruang masinis. "Minta mereka buka pintunya ! " seruku lagi.
Kutahan air mataku.
Tidak, pikirku. Tidak boleh menangis saat ini.
Dan itu sulit sekali. Sebab aku bukan menahan air mata sebab ngeri dengan situasi yang kuhadapi.
Aku memang ngeri, tapi kengerian itu tetap bisa kuatasi dengan berpikir logis. Namun bagaimana cara menahan air mata mengalir ketika aku tiba- tiba teringat pada almarhum Bapak?
Bapakku, selalu memperhatikan hal- hal yang terkait dengan keselamatan.
Aku ingat sekali kejadian saat central lock untuk pintu mobil mulai diperkenalkan, serta munculnya remote control yang bisa membuka kunci pintu mobil dengan menekan tombol saja. Ketika kami yang lain menyambutnya sebagai keajaiban yang perlu dikagumi, Bapak tak tampak terlalu terkesan.