Bagiku, jika pertanyaan mendasarnya saja sudah dijawab dengan tidak jujur, tak perlu lagi ditanya, apakah suaminya bisa bersikap adil. Tak perlu juga dipikirkan lagi kenapa sang lelaki memilih istri semata karena kecantikan fisik, dan kenapa sang istri juga memilih suami semata karena materi.
Apalagi setelah kutahu siapa suaminya, aku tahu bahwa bukan cuma mobil yang dimiliki sang suami. Suami yang oleh istrinya selalu digambarkan sebagai 'ustad' itu pejabat dan memiliki banyak harta yang pasti lebih dari sekedar mobil.
Bagiku, apa yang kulihat, cukup untuk menjawab semua pertanyaan. Membuat hatiku lega, sebab itu bisa membantuku membuat kesimpulan tentang pertanyaan yang berputar- putar di kepala. Memperkuat dan membuat aku makin yakin bahwa pendapat dan prinsip tentang poligami yang selama ini kuanut ternyata benar.
Membuatku yang tadinya juga memang sudah mempertanyakan, makin terbebas dari pengaruh kampanye "istri yang saleh akan mengijinkan suami menikah lagi", dan juga meyakini bahwa ada yang direduksi dari konteks setutuhnya tentang pintu surga khusus bagi istri yang ikhlas suami menikah lagi.
Jika masih ada yang mengatakan bahwa pemikiranku tidak benar? Sederhana. Aku akan menjawab bahwa orang diminta berfikir. Ketika dia berpikir dan memutuskan, jikapun pikirannya salah, dia mendapat satu pahala. Jika benar, dua pahala.
Urusan pahala, memang urusan Yang di Atas. Tapi aku jelas sudah berpikir dan mengambil kesimpulan. Kesimpulanku tak berubah: kampanye itu mereduksi faham, dan mengerdilkan logika serta perasaan perempuan. Maka, janganlah mau percaya begitu saja...
p.s. Tulisan terkait : Jodoh dan Poligami
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/10/25/jodoh-dan-poligami-687450.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H