Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Bersedia Menjadi Istri Kedua? (A True Story)

26 Oktober 2014   23:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:39 1769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14143154011324757481

" Mbak, dia itu istri kedua... "

EH?! Waduh. Sebuah kalimat yang mampir di telingaku membuatku terpaksa merekonstruksi semua pembicaraan aku dengan si pemberi informasi dan orang yang dimaksudkan sebagai istri kedua itu sebelumnya.

Percakapan itu percakapan umum saja, sebetulnya.

Suatu hari dalam perjalanan hajiku yang lalu, tanpa sengaja aku terlibat dalam suatu percakapan yang mulanya dilakukan oleh dua orang yang duduk di dekatku. Yang satu, seorang gadis berusia tiga puluhan dengan seorang perempuan yang juga cukup muda, seorang ibu yang sudah memiliki anak.

Dari percakapan yang kudengar itu, kutahu bahwa sang ibu muda itu berangkat dengan beberapa anggota keluarga besarnya, tidak sendirian, tapi tanpa suaminya.. " Abi-nya kan jaga anak- anak, " begitu keterangan yang diberikan tentang sang suami.

Aku mendengarkan saja percakapan yang terjadi.

Itu sungguh percakapan yang 'sangat biasa'. Mulanya kudengar tentang nasihat dari si ibu muda itu pada teman bicaranya yang masih lajang tentang bagaimana upaya agar segera bisa mendapat jodoh. Termasuk tawarannya untuk memperkenalkan gadis lajang itu pada para kenalannya. Termasuk, pada akhirnya, membagi cerita bagaimana dulu dia bertemu dengan suaminya.

Aku tidak terlibat aktif. Aku hanya mendengarkan saja percakapan itu sampai suatu titik dimana aku mulai terusik dan ingin bertanya.

Sang ibu muda menceritakan tentang kriteria suami idaman yang konon pada akhirnya didapatkannya.

Dan apa kriteria itu?

" Yang pertama, punya mobil, " katanya.

Wah !

Kuperhatikan si empunya cerita. Dia cantik. Tak tampak make up terpulas di wajahnya dan memang tak perlu sebab dia cantik. Dia santun, aku tak melihat kegenitan. Tapi...

Kriteria pertama suami idaman-nya adalah... punya mobil ?

Duh.

Punya mobil itu jauh dari hal esensial, menurut opiniku. Jadi merupakan kejutan bahwa ada yang menaruh itu bahkan sebagai syarat pertama suami idaman.

Apalagi ketika kudengar syarat kedua dan ketiganya yang juga menurutku juga jauh dari esensial ( rambut keriting, dan suku tertentu yang berbeda dengan suku seorang lelaki dari masa lalu yang pernah menyakitinya ). Tapi dari tiga kriteria tidak mendasar yang disebutkannya itu, kriteria pertama, yang utama, yang ditaruh sebagai prioritas, yang paling mengusikku.

" Kenapa punya mobil itu yang jadi kriteria pertama? " tanyaku, sungguh tak bisa menahan diri.

" Soalnya saya bosan naik angkot. Sebelum nikah, di rumah tidak ada mobil. Yang ada motor. Jadi sekali- sekali, kalau pergi, naik motor. Seringnya, ya naik angkot. "

Dia membahas juga tentang kriteria kedua dan ketiga dengan justifikasi yang pada akhirnya ya sudah, kutelan saja. Aku tak ingin membahas, sebab tahu bahwa pembahasan itu tak akan berujung, tak pula akan menghasilkan sesuatu.

Dangkal bagiku, penting baginya. Dan pikirku, toh dia mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa mengganggu orang lain, kenapa mesti diributkan? Jika dia bahagia dengan pemikiran macam itu, ya sudah, biar saja.

Aku tak lagi mendengarkan atau terlibat dalam pembicaraan, sementara dia terus bercakap- cakap dengan si gadis yang menjadi teman bicaranya, aku melakukan hal yang lain.

Sampai...

Beberapa saat kemudian, gadis itu yang mengatakan padaku, " Mbak, dia itu, istri kedua... "

[caption id="attachment_349912" align="aligncenter" width="414" caption="Gambar: smh.com.au "][/caption]

What?!

Mau tak mau, aku nyengir lebar. Sebab sempat tahu bahwa sang ibu muda itu menawarkan untuk mengenalkan gadis tersebut pada beberapa kenalannya, " Terus kamu tadi jadi mau kasih data- data pribadi buat dikenal- kenalin? " tanyaku jahil.

" Nggak jadi, mbak, " jawab si gadis. " Serem, ah. "

Aku tertawa, memahami apa yang dimaksud dengan "serem ah" itu.

Nah tapi, jika bagi sang gadis informasi bahwa ibu muda yang bercakap- cakap dengannya itu merupakan istri kedua melenyapkan keinginannya untuk terus mengobrol dengannya, bagiku itu malah menggelitik. Aku yang tadinya sudah berhenti ikut mengobrol malah berniat ingin mengobrol lagi kapan- kapan.

Sebab, dengan segera beberapa pertanyaan muncul di kepalaku.

" Dia bilang nggak, gimana reaksi istri pertamanya? " tanyaku.

" Katanya sih, mengijinkan, " itu jawaban yang kuterima.

" Gimana dia tahu bahwa istri itu benar mengijinkan? Itu ijin di mulut aja atau benar- benar ikhlas? "

Gadis itu tertawa, tak bisa menjawab. Dia tidak memiliki informasi itu.

" Terus, tadi ditanya nggak, gimana dia bisa tahu bahwa suaminya bersikap adil pada istri pertama dan kedua? "

Yang kutanya menggeleng. Tidak ada percakapan tentang itu terjadi.

" Besok- besok, kalau ngobrol lagi, tanya ya, " kataku. " Tanyakan dua pertanyaan itu, gimana dia bisa tahu bahwa istri pertama benar ikhlas dan tanyakan bagaimana dia tahu bahwa suaminya bersikap adil. "

***

Bukan menyengaja, tapi tak terhindarkan, percakapan itu terus berputar- putar di kepalaku.

Suaminya ustad, kata ibu itu. Dan mereka dulu bertemu ketika suatu kali si lelaki sedang berada di sekitar tempat sang perempuan yang kemudian diperistrinya itu bekerja. Lelaki itu melihatnya, lalu mendekati untuk bertanya ini dan itu yang belakangan ternyata diketahui merupakan dalihnya untuk berkenalan.

Mendengar cerita itu, kupahami bahwa lelaki itu mendekat karena ketertarikan fisik. Mudah dipahami, perempuan itu memang cantik. Syah- syah saja, memang. Ada lelaki melihat perempuan cantik, mendekat, berkenalan, lalu menikah -- tidak ada yang salah kan?

Benar, tidak ada yang salah. Jika itu terjadi pada dua orang yang sama- sama lajang.

Menjadi salah di mataku setelah tahu keseluruhan ceritanya, yakni bahwa si lelaki itu ternyata sudah berkeluarga. Ada istri. Ada anak- anaknya. Lalu, kenapa dia mendekati lagi perempuan lain?

Ah ya sudahlah, pikirku, malas berkomentar atau berpikir lebih jauh. Ustad juga manusia, buktinya cari istri kedua saja ukurannya fisik.

***

Aku jadi teringat kegemparan beberapa tahun yang lalu, saat seorang ustad kondang yang sering membicarakan tentang keluarga bahagia dan menjadikan keluarganya sebagai contoh, lalu menikah lagi.

Aku ingat, aku nyengir juga saat itu ketika tahu profil istri keduanya.

Mantan model, begitu yang kubaca dari berita- berita.

Mantan model ?

Tak usah banyak bertanya.

Itu sudah jauh dari faham dan contoh poligami yang diijikan, menurutku. Itu judulnya, semata nafsu.

Dan aku menjadi prihatin melihat bagaimana beban dan tekanan terjadi pada istri pertamanya yang kurang saleh apa, kurang ibadah bagaimana, kurang dalam bagaimana pula pengetahuan agamanya. Walau berusaha disembunyikan, jelas tampak jiwa yang tertekan dan bergejolak. Perceraian yang kemudian terjadi, walau kemudian menikah kembali, sudah jelas menunjukkan kegalauan tak terperi.

Tak perlu banyak tanya. Bisa kubayangkan betapa nyerinya hati.

Menurutku, walau pelakunya orang- orang yang berbeda, apa yang terjadi pada istri pertama dari lelaki yang istri keduanya kebetulan kutemui itu tak akan jauh berbeda.

***

Sekian minggu setelah perjalanan haji itu usai.

Kisah tentang istri kedua yang kutemui dalam perjalanan hajiku ini belum terlupakan olehku.

Sayang sekali, setelah itu tak pernah ada kesempatan untuk mengobrol lagi sehingga pertanyaan lebih dalam tentang ijin dan adil tak pernah sempat ditanyakan. Padahal aku sungguh ingin tahu jawabnya.

Sampai belum lama ini seseorang tanpa kutanyakan memberitahuku, siapa nama suami ibu muda istri kedua itu.

Oh. Ya ampun.

Reaksiku? Nyengir lagi.

Duh, kalau saja aku tahu sejak awal... tak perlu aku berminggu- minggu ingin tahu soal apakah benar istri pertamanya ikhlas, dan apakah suaminya benar bersikap adil. Tak perlu juga aku heran soal kriteria 'punya mobil' yang sejak awal kupikir dangkal itu.

Kalau suaminya yang itu....

Tak perlu repot- repot, mbah google akan menjawab. Ada banyak cerita lama yang mengisahkan bagaimana istri pertama lelaki yang menjadi suaminya itu bahkan sempat pergi dari rumah ketika poligami itu terjadi.

Pergi dari rumah, itu jelas bukan gesture yang bisa diterjemahkan sebagai "istri pertama menyetujui", kan? Padahal sang istri kedua menyatakan, istri pertama setuju.

Bagiku, jika pertanyaan mendasarnya saja sudah dijawab dengan tidak jujur, tak perlu lagi ditanya, apakah suaminya bisa bersikap adil. Tak perlu juga dipikirkan lagi kenapa sang lelaki memilih istri semata karena kecantikan fisik, dan kenapa sang istri juga memilih suami semata karena materi.

Apalagi setelah kutahu siapa suaminya, aku tahu bahwa bukan cuma mobil yang dimiliki sang suami. Suami yang oleh istrinya selalu digambarkan sebagai 'ustad' itu pejabat dan memiliki banyak harta yang pasti lebih dari sekedar mobil.

Bagiku, apa yang kulihat, cukup untuk menjawab semua pertanyaan. Membuat hatiku lega, sebab itu bisa membantuku membuat kesimpulan tentang pertanyaan yang berputar- putar di kepala. Memperkuat dan membuat aku makin yakin bahwa pendapat dan prinsip tentang poligami yang selama ini kuanut ternyata benar.

Membuatku yang tadinya juga memang sudah mempertanyakan, makin terbebas dari pengaruh kampanye "istri yang saleh akan mengijinkan suami menikah lagi", dan juga meyakini bahwa ada yang direduksi dari konteks setutuhnya tentang pintu surga khusus bagi istri yang ikhlas suami menikah lagi.

Jika masih ada yang mengatakan bahwa pemikiranku tidak benar? Sederhana. Aku akan menjawab bahwa orang diminta berfikir. Ketika dia berpikir dan memutuskan, jikapun pikirannya salah, dia mendapat satu pahala. Jika benar, dua pahala.

Urusan pahala, memang urusan Yang di Atas. Tapi aku jelas sudah berpikir dan mengambil kesimpulan. Kesimpulanku tak berubah: kampanye itu mereduksi faham, dan mengerdilkan logika serta perasaan perempuan. Maka, janganlah mau percaya begitu saja...


p.s. Tulisan terkait : Jodoh dan Poligami


http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/10/25/jodoh-dan-poligami-687450.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun