Tak ada jawaban. Sayup-sayup terdengar suara iklan televisi di ruang tengah. Setelah salam Satya yang ketiga, munculah Nia, adik Rani.
"Waalaikumsalam, oh Mas Satya.., tumben! Monggo duduk Mas, tunggu sebentar ya, aku panggil Mbak Rani."
Tak beberapa lama Rani muncul dengan senyum mengembang. Menyambut Satya ramah dan meluncur kalimat-kalimat yang khas, energik. Keduanya terlibat asik bercerita, hingga tak sadar Ayah Rani telah hadir di antara mereka.
"Rani, sudah selesaikah tugasmu membantu ibu?", tanya ayah Rani dengan nada sedikit tinggi. Sejenak  suasana menjadi hening.
"Sudah, Yah!" jawab Rani singkat.
Kehadiran ayah Rani membuat Satya merasa tidak enak. Banyak kesimpulan yang memenuhi benak Satya. Ingin Satya menyapa Ayah Rani. Sekedar bersapa saja. Alhamdulillah kalau bisa berakrab ria. Namun Ayah Rani, pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten itu menunjukkan sikap yang kurang ramah terhadap Satya. Karena ayah Rani tahu bahwa Satya berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja.
Sepulangnya Satya, Rani berdebat serius dengan Ayahnya terkait hubungannya dengan Satya.
"Ayah sudah bilang, bahwa kamu harus menyelesaikan kuliah di IPDN dulu. Kelak itu akan menjadi bekal bagimu untuk hidup berkecukupan. Setidaknya empat setengah tahun kuliahmu akan selesai. Ikatan dinas itu telah memberi jaminan buatmu, Ran."
"Ya, Yah." Jawab Rani singkat
"Bertemanlah dengan orang yang tepat,..!'
"Maksud Ayah?" potong Rani