Mohon tunggu...
Ruki Setya
Ruki Setya Mohon Tunggu... Guru - momong anak-anak

menghabiskan waktu bersama anak-anak di kampung dengan bermain bola dan menulis untuk berbagi pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gejolak Dua Hati di Ujung Kemarau

6 Desember 2023   11:29 Diperbarui: 6 Desember 2023   11:44 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hampir tiga pekan berlalu, Satya belum menjumpai sosok lincah, centil dan kemayu. Hari-harinya serasa hampa tanpa canda dan tawa Rani, kekasih yang selalu ia rindukan.  Libur sekolah yang panjang ternyata menjadi siksaan bagi Satya. Bagaimana tidak, libur sekolah memaksa Satya harus berpisah dengan Rani, meski hanya sementara waktu. Karena jarak rumah Rani dengan Satya  cukup jauh, bertemu langsung itu tak mungkin. Komunikasi lewat social media pun tak mampu mengobati dahaga rindunya. Bahkan nyaris lost contac. Tak pernah ada notifikasi pesan Rani baik di WhatsApp maupun platform yang lainnya.

Satya dan Rani satu SMA favorit di kabupaten. Bahkan satu kelas. Banyaknya kegiatan sekolah baik ekstra maupun intra membuat Satya dan Rani selalu bertemu dan komunikasi secara intens. Kini masa sekolahnya tinggal menunggu hasil kelulusan.   Rani saat ini telah diterima di IPDN lewat jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) sehingga ia tinggal menunggu dimulainya perkuliahan yang berlokasi di Jatinangor. Beberapa bulan kedepan. Segala sesuatu terkait perkuliahan telah dipersiapkan oleh orangtuanya.

Pertemuan Satya dengan Rani terakhir saat Rani hendak meninggalkan kos untuk kembali menjalani harinya bersama keluarganya di desa. Kembalinya  Rani ke rumah tersebab tidak ada lagi kegiatan sekolah yang harus diikuti.

Malam itu, diteras rumah kos Rani, bincang keduanya begitu hangat, dengan cemilan seadanya.

"Rani, masa SMA kita sebentar lagi akan berakhir. Kamu akan melanjutkan kuliah. Sementara aku hanya sampai SMA saja. Terpaksa.  Aku harus bekerja  membantu beban orang tuaku", kata Satya membuka percakapan.

"Apakah itu menjadi masalah, Satya?"

"Mm.., aku rasa iya."

Rani tidak segera merespon ucapan Satya. Ia hanya memainkan sedotan air minum di gelas yang airnya baru beberapa teguk ia minum. Angin malam menerpa hijabnya hingga menutup sebagian wajahnya yang putih itu. Seolah tahu dan membantu menutup rona merah wajah Rani. Karena saat itu Satya sedang memandangi wajah Rani, menanti respon Rani atas kalimat yang baru saja ia lontarkan.

"Aku besok pulang, Sat"

"Lho..!"

"Di kos ngapain, kan sudah tidak ada kegiatan sekolah"

"Tak bisakah tambah satu hari lagi di sini!" pinta Satya dengan iba.

"Sebenarnya  aku ingin berlama-lama di sini. Tapi.., Ayahku meminta untuk pulang. Besok pagi Ayah menjemputku. Sekalian Ayah ada rapat dinas di Kabupaten." suara berat Rani tersamarkan oleh deru kendaraan yang lewat. Berat meninggalkan Satya. Begitupun Satya. Getar-getar asmara antara keduanya memang telah terjalin dengan baik.

Malam semakin beranjak. Angin malam membawa hawa dingin terasa pada pori-pori kulit mereka. Jam dinding di ruang tamu kos Rani menunjuk 22.18 wib.

"Aku pulang dulu, jaga diri baik-baik ya, Ran!"

"See you again..!"

  ***

 

Minggu pagi yang cerah, Satya menyiapkan motor kesayangannya. Motor matic lawas pabrikan Jepang yang selalu setia membawa Satya kemanapun pergi. Kebetulan minggu itu semua pekerjaan telah diselesaikan dengan baik. Satya berencana menyambangi Rani yang beberapa pekan tak ada kabar beritanya. Selain itu dia ingin dekat dengan keluarga Rani. Satya berusaha untuk mengenal keluarga Rani agar terjalin silaturahmi yang baik.

On the way Satya ke rumah Rani. Satu jam perjalanan sampailah ia di rumah Rani.

Halaman rumah Rani luas dengan taman yang tertata rapi. Bangunan rumahnya bagus dengan gaya arsitektur lama. Situasi rumah tampak lengang. Satya agak ragu ketika kakinya hampir beberapa langkah memasuki teras rumah Rani.

"Assalamualaikum..!"

Tak ada jawaban. Sayup-sayup terdengar suara iklan televisi di ruang tengah. Setelah salam Satya yang ketiga, munculah Nia, adik Rani.

"Waalaikumsalam, oh Mas Satya.., tumben! Monggo duduk Mas, tunggu sebentar ya, aku panggil Mbak Rani."

Tak beberapa lama Rani muncul dengan senyum mengembang. Menyambut Satya ramah dan meluncur kalimat-kalimat yang khas, energik. Keduanya terlibat asik bercerita, hingga tak sadar Ayah Rani telah hadir di antara mereka.

"Rani, sudah selesaikah tugasmu membantu ibu?", tanya ayah Rani dengan nada sedikit tinggi. Sejenak  suasana menjadi hening.

"Sudah, Yah!" jawab Rani singkat.

Kehadiran ayah Rani membuat Satya merasa tidak enak. Banyak kesimpulan yang memenuhi benak Satya. Ingin Satya menyapa Ayah Rani. Sekedar bersapa saja. Alhamdulillah kalau bisa berakrab ria. Namun Ayah Rani, pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten itu menunjukkan sikap yang kurang ramah terhadap Satya. Karena ayah Rani tahu bahwa Satya berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja.

Sepulangnya Satya, Rani berdebat serius dengan Ayahnya terkait hubungannya dengan Satya.

"Ayah sudah bilang, bahwa kamu harus menyelesaikan kuliah di IPDN dulu. Kelak itu akan menjadi bekal bagimu untuk hidup berkecukupan. Setidaknya empat setengah tahun kuliahmu akan selesai. Ikatan dinas itu telah memberi jaminan buatmu, Ran."

"Ya, Yah." Jawab Rani singkat

"Bertemanlah dengan orang yang tepat,..!'

"Maksud Ayah?" potong Rani

"Seharusnya kamu paham posisi keluarga kita, Ran".

"Bukankah berteman itu bisa dengan siapa saja, Ayah." sergap Rani.

"Ayah sayang kamu, Nak. Ayah kawatir pertemananmu dengan Satya bisa mengganggu perjalanan kuliahmu nantinya." sanggah ayah Rani tak mau kalah.

Tiba-tiba suara ibu Rani dari ruang tengah memaksa debat antara ayah dan anak itu terpotong.

"Ran..,antar kuenya ke Budhe Tatik, cepetan!" perintah ibu Rani.

"Ya, Bu...",  jawab Rani

Kesempatan bagi Rani untuk menghindari debat yang menurutnya akan semakin panjang tak berkesudahan. Sebab Rani paham betul sikap ayahnya yang teguh dalam pendirian. Meluncurlah Rani dengan lekas menjalankan perintah ibunya dan sekaligus menghindari debat dengan ayahnya. 

Riak-riak kecil debat antara Rani dengan Ayahnya semakin menggores di hati Rani. Saat malam tiba, di ruang keluarga, ketika semua anggota keluaraga berkumpul;  Ayah, Ibu, Rani dan Nia, sedang rilex menikmati keasikannya masing-masing, tiba-tiba Ayah Rani sengaja melontarkan sebuah kalimat yang membuat semua yang mendengar tertegun.

"Bu.., aku kemarin di kecamatan ketemu dengan Sekwilcam, Dik Hartoyo, masih muda dan ganteng pula. Kelihatanya serasi deh kalau bersanding dengan Rani. Kalau ada waktu dia akan silahturahmi ke rumah kita, Bu".

Ibu Rani, Nia dan Rani saling berpandangan. Sedetik kemudian Rani beranjak dari duduknya. Masuk ke kamarnya. Kunci pintu kamarnya dengan rapat.

"Pak..!", bisik Ibu Rani kepada ayahnya sambil mendekat, "jangan terlalu memaksa, Pak. Ini jaman sudah jauh berbeda. Bukan lagi di jaman Siti Nurbaya. Apa salahnya si memberi kebebasan anak-anak. Yang penting dia tahu etika dan norma agama". Ibu Rani mencoba menetralisir suasana.

"Bu.., tidakkah senang bila melihat anak-anak kita bahagia?"

"aku senang,Pak, tapi..."

"sudahlah, Bu.., aku sayang anak-anak, aku hanya ingin anak kita bahagia."

Malam bergulir pelan hingga rasa kantuk telah menyerang kedua insan yang melahirkan Rani. Keduanya tak mampu menahan kelopak mata yang semakin lama semakin berat, mengatup.

***

Berita ayah Rani yang akan menjodohkan  Rani dengan PNS di kantor kecamatan itu terdengar sampai ke Satya. Satya mendapat pesan singkat dari adik Rani, Nia, bahwa kakaknya akan dijodohkan dengan seseorang.  Dengan sadar dan mawas diri, Satya berusaha menemui Rani. Dan Satya datang ke rumah Rani beberapa hari kemudian.

Jarak tempuh ke rumah Rani sebenarnya tidak terlalu jauh. Satya telah menambah kecepatan laju sepeda motornya. Namun itu rasanya belum membantu agar segera sampai di rumah Rani. Perjalanan itu dirasa lama banget. Di kelokan yang tajam hampir saja ia tergelincir karena kurang fokus pada jalan yang pandangan terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Apalagi pikiran dan hati Satya campur aduk. Apa yang ia rencanakan telah tersusun dalam niatnya untuk menyatakan sesuatu kepada Rani dan Ayahnya.

Sesampai di rumah Rani, binar mata Satya ceria melihat Rani nampak asik bersama teman-teman sebaya sedang bercengkrama di depan rumahnya. Itu artinya rencana yang ia susun untuk menyatakan sesuatu kepada Rani akan terealisasi dengan segera.

Di ufuk barat matahari malu-malu menampilkan warnanya yang tak utuh. Warna jingga yang dominan sebagai isyarat akan segera menuju ke peraduan.

"Satya..! kenapa tidak memberi kabar dulu?", teriak Rani.

Semua teman-teman Rani menoleh ke arah  Satya.

"Tak sengaja aku tadi lewat, sekalian mampir." kata Satya bohong dengan senyum menyeringai.

"Ayo, di dalam saja!" ajak Rani membawa Satya masuk ke dalam ruang tamu. Satya mengikuti langkah Rani tanpa protes.

"Haus kan.., sebentar ya, kuambilkan minum."

"Ran.., gak usah repot. Aku cuma sebentar kok," cegah Satya. Namun Rani tetap tak pedulikan suara Satya.

Tak beberapa lama Rani keluar dengan dua gelas es teh manis dan beberapa makanan kecil dalam toples kaca.

"Ran.., bahagianya aku, detik ini aku bisa melihat manis senyummu" puji Satya kepada Rani.

"Hmm.., mulai ngegombalnya, kumat." canda Rani.

"Ayahmu ada di rumah, Ran?"

"Ada. Memang ada perlu apa?"

"Aku mau matur terkait dengan hubungan kita."

Rani memandangi Satya heran. Dan detak jantung Rani seketika tak beraturan. Berdebar kencang. Pikirannya berkecamuk.

"Tolong aku ingin ketemu ayahmu, Ran!" pinta Satya menghiba.

"Serius?"

"Iya!"

"Untuk apa menemui Ayah?"

"Nanti kamu akan tahu."

"Tunggu sebentar, ya!"  - Rani masuk ke dalam mencari ayahnya.-

Riangnya anak-anak bermain di halaman depan rumah Rani tak seirama hati Satya. Memang diwaktu sore hari halaman rumah Rani sering menjadi arena bermain anak-anak dari tetangga kanan kiri. Halaman yang luas dan bersih menjadi daya tarik anak-anak. Dan keluarga Rani sangat welcome terhadap anak-anak tetangga. Hati Satya terasa berdebar. Hingga duduk di kursi sofa pun terasa ada duri dipantatnya.

Selangkah kemudian aroma khas parfum tercium berbarengan hadirnya Ayah Rani dari dalam ruang tengah. Bergegas Satya berdiri untuk memberi salam dan menjabat tangan kepada sosok yang mungkin kelak menjadi bapak mertuanya. Semilir angin dingin sempat terasa pada tengkuk Satya.

"Assalamualaikum, Bapak." sapa Satya

"Waalaikumsalam.., ada yang serius, Nak? Tumben sore-sore main, duduklah!"

"Ya, Pak. Kebetulan tadi lewat, sekalian mampir. Begini bapak.., " lanjut Satya dengan sedikit terbata. "saya mohon maaf atas kelancangan ini. Saya hanya bermaksud menyampaikan keinginan saya terkait pertemanan saya dengan Rani. Sekali lagi mohon maaf bilamana saya terlalu merisaukan bapak dan ibu. Saya tidak bermaksud merusak masa depan Rani. Demi kebahagiaan Rani bersama keluarga, maka hari ini saya menyatakan untuk mundur dari pertemanan dengan Rani, Bapak."

"Bertemanlah, Nak! Namun hubungan kalian tak lebih dari sekedar teman." kata Ayah Rani tegas

Mendengar pernyataan Satya yang baru saja lepas, Rani yang duduk di samping ayahnya tak mampu menahan isak tangisnya. Tubuh Rani bergunjang. Bahkan histeris.

"Tidak, Satya...!! Aku ingin bersamamu!" teriak Rani. Suara Rani kencang memenuhi ruang tamu berukuran 6 kali 4 meter itu. Nia dan Ibu Rani tergopoh dari dalam rumah untuk andil menenangkan Rani. Nia dan Ibunya membawa Rani ke dalam ruang tengah.

"Ran..!" bisik lembut ibunya, kemudian :"Jalani saja apa yang sedang terjadi. Ini semua karena sudah kehendak dan rencana baik Allah. Ingat Qur'an surat Al-A'la ayat awal; Segala ketentuan yang terjadi di dunia ini merupakan rencana Allah Swt. Tidak ada yang bisa mengubahnya, kecuali hanya Dia..." Nasehat ibu Rani yang fasih hafalan Al Qur'an.

"Tapi kenapa harus secepat ini, Ibu.  Aku tetap ingin berteman dengan Satya. Dialah yang selalu memberi semangat untuk terus mencapai cita-citaku."

"Ya.., ya, Ran. Bersabarlah sayang. Kalau sudah jodoh tidak akan kemana-mana, Nak!"

Rani memeluk erat ibunya dan tetap terisak. Air matanya telah membasahi baju ibunya.

Sementara di ruang tamu Satya telah menyelesaikan bincang penting dengan Ayah Rani.

"Jadi, saya lebih senang bila Rani bahagia seperti yang Bapak harapkan." tegas Satya kepada Ayah Rani.

"Semoga Allah memberi kelapangan untukmu, Nak!"

"mohon pamit, Bapak. Assalmualaikum..."

"Waalaikumsalam."

Deru motor matic Satya meninggalkan halaman rumah Rani. Laju motornya tak sekencang saat keberangkatannya. Pendar silau lampu-lampu kendaraan memaksa untuk berkendara dengan pelan. Langit malam begitu kelam. Tak ada sebuah bintang yang nampak. seolah mencerminkan perasaan Satya yang terasa begitu berat. Sebagai seorang laki-laki, Satya berusaha tampil tegar. Meskipun pristiwa yang terjadi di rumah Rani tadi baik-baik saja.

Kenangan-kenangan indah bersamanya merebak di pikiran seperti peta luka yang terbuka, mengingatkannya pada setiap senyuman, tawa, dan canda yang pernah dibagi bersama Rani. Keputusan telah bulat. Kini Satya harus melupakan segalanya. Demi kebahagiaan Rani. Cinta tak harus memiliki.

***

Hari itu, matahari telah menyebar hangatnya di langit biru, mencerahkan suasana alam desa. Satya melangkah dengan mantap menuju rumahnya setelah dari pagi hingga hampir waktu dluhur bekerja di sawah. Sisa-sisa keringatnya tercetak pada kaos oblong yang dipakai, masih nampak basah. Bulir-bulir keringat pada lapisan kulitnya telah kering menguap terbawa angin di sepanjang jalan. Ketika akan masuk di halaman rumahnya, ia tersentak kaget. Di situ sudah ada sepeda motor terparkir yang ia kenal dan hafal betul. Merk motor pabrikan Jepang terbaru, plat nopol 1449, helm coklat ber-SNI. Ini sepeda motor Rani. Satya memarkir motornya sejajar pada sisi kiri motor tersebut. Rani ataukah..?

Satya tegak dan diam. Ia menarik nafas dalam-dalam.  Ingin memompakan udara dari paru-paru ke segenap otot-otot  kakinya agar mampu berdiri. Kedua matanya menyipit dan menerawang penuh tanda tanya. Ia melepas topi lusuh dan bau keringat. Ia melangkah menuju pintu rumahnya. Tiba-tiba dari dalam rumah  Rani menghambur keluar. Wajahnya penuh dengan ekspresi kecemasan dan kegelisahan.

"Satya!"

"Rani!?"

"Maaf, Satya, aku mengganggumu."

"Ada apa? Kenapa terlihat begitu khawatir? Duduklah Rani. Tenangkan dirimu dulu."

"Aku tidak tahu, Satya. Mungkin Ayah pikir itu adalah hal terbaik untukku, tapi aku tidak mau. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dirimu."

"Rani, aku juga tidak mau kehilanganmu. Tapi, aku ikhlas apa yang telah diputuskan oleh ayahmu."

"Tidak, Satya. Tidak semudah itu. Karena aku yang menjalani. Bukan ayahku."

Satya menggenggam tangan Rani, "apa yang aku bicarakan dengan ayahmu kemarin sudah jelas bahwa semua demi kebahagiaan dirimu, Rani!"

"Aku semakin tak tahan menghadapi sikap ayahku. Berada di rumah bagaikan terbakar api neraka. Ayah terlalu memaksaku." tangis Rani meledak.

"Jaga ucapanmu, Ran! Ayahmu bermaksud baik." Suara Satya tenang berusaha meredam emosi Rani.

"Saat ini aku hanya ingin lari dari rumah. Bawalah aku pergi, Sat!" (air mata Rani banjir membasahi dua kelopak matanya, terisak dengan tubuh bergetar).

"Tidak Rani. Jangan bertindak bodoh.  Itu akan membuat masalah kita menjadi rumit. Pulanglah, Ran! Kau adalah harapan orang tuamu. Masa depan kita masih panjang untuk kita jalani. Berusahalah untuk selalu berpikir jernih. Aku percaya kau mampu melakukannya. Kalau memang kita jodoh, suatu saat Tuhan akan mempertemukan kita dengan banyak jalan."

Sikap Satya yang dewasa mampu memberi ketenangan Rani. Bahwa cinta tidak harus memiliki. Satya berusaha memberi pemahaman kepada Rani untuk ikhlas menjalani bahwa semua yang terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa. Suasana hening sesaat. Tangis Rani reda. Keduanya terhanyut dalam lamunan masing-masing.

"Aku antar kamu pulang,ya!" kata Satya memecah keheningan.

"Tidak. Aku ingin di sini saja!"

"Ran.., betapa cemasnya Ibumu saat ini. Beliau pasti sedang mencarimu. Pokoknya aku antar kamu pulang sekarang. Sebentar lagi gelap." tegas Satya dengan memaksa.

***

Selepas masa sulit itu Satya tetap berkomunikasi dengan Rani meskipun jarak memisahkan mereka. Hari-hari Rani kini telah berkutat dengan kegiatan di Kampus IPDN. Sementara Satya sibuk mengolah sebidang tanah milik orang tuanya yang luasnya kurang setengah hektar. Ini akhir kemarau. Awal musim penghujan. Masa yang bagus untuk memulai bertanam. Sudah beberapa kali hujan mengguyur, membasahi tanah, menumbuhkan berbagai tetumbuhan. Rumput mulai subur menghijau seperti cintanya dua insan, Satya dan Rani.

Satya dan Rani menyadari cinta penuh pengorbanan. Cinta tak seharusnya terhalang oleh status sosial dan tidak bisa ditakar dengan harta benda. Cinta adalah kodrat yang harus dijalani oleh siapapun. Maka dari itu Satya dan Rani ingin hidup bersama dengan berikrar "Yang Pertama Dan Terakhir"

Lewat chat whatsapp, Satya menulis pesan kepada Rani ;

"Dear..Raniku.., semoga engkau bahagia di sana.

Raniku.., walaupun kita terpisah oleh jarak, kita tidak pernah terpisah oleh cinta. Aku merindukan senyumanmu, dan semua hal kecil yang kita lakukan bersama. Aku menantikan hari ketika kita dapat berkumpul lagi, merayakan kebahagiaan, dan merencanakan masa depan kita bersama-sama.

Selama kita tetap saling mendukung dan memahami satu sama lain, aku percaya bahwa kita akan mampu melewati semua rintangan dan menghadapi masa depan dengan penuh kebahagiaan.

Selalu ingat bahwa cintaku padamu takkan pernah pudar, dan aku akan selalu bersamamu, meski hanya dalam pikiran dan hatiku. Aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini,

Raniku, ingat.., jalan kita masih panjang. Tetap semangat, ya!."


~from u lover~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun