"Rani, aku juga tidak mau kehilanganmu. Tapi, aku ikhlas apa yang telah diputuskan oleh ayahmu."
"Tidak, Satya. Tidak semudah itu. Karena aku yang menjalani. Bukan ayahku."
Satya menggenggam tangan Rani, "apa yang aku bicarakan dengan ayahmu kemarin sudah jelas bahwa semua demi kebahagiaan dirimu, Rani!"
"Aku semakin tak tahan menghadapi sikap ayahku. Berada di rumah bagaikan terbakar api neraka. Ayah terlalu memaksaku." tangis Rani meledak.
"Jaga ucapanmu, Ran! Ayahmu bermaksud baik." Suara Satya tenang berusaha meredam emosi Rani.
"Saat ini aku hanya ingin lari dari rumah. Bawalah aku pergi, Sat!" (air mata Rani banjir membasahi dua kelopak matanya, terisak dengan tubuh bergetar).
"Tidak Rani. Jangan bertindak bodoh. Â Itu akan membuat masalah kita menjadi rumit. Pulanglah, Ran! Kau adalah harapan orang tuamu. Masa depan kita masih panjang untuk kita jalani. Berusahalah untuk selalu berpikir jernih. Aku percaya kau mampu melakukannya. Kalau memang kita jodoh, suatu saat Tuhan akan mempertemukan kita dengan banyak jalan."
Sikap Satya yang dewasa mampu memberi ketenangan Rani. Bahwa cinta tidak harus memiliki. Satya berusaha memberi pemahaman kepada Rani untuk ikhlas menjalani bahwa semua yang terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa. Suasana hening sesaat. Tangis Rani reda. Keduanya terhanyut dalam lamunan masing-masing.
"Aku antar kamu pulang,ya!" kata Satya memecah keheningan.
"Tidak. Aku ingin di sini saja!"
"Ran.., betapa cemasnya Ibumu saat ini. Beliau pasti sedang mencarimu. Pokoknya aku antar kamu pulang sekarang. Sebentar lagi gelap." tegas Satya dengan memaksa.