Namun, Hindu juga mengakui keberadaan para dewa, yang merepresentasikan aspek-aspek Tuhan yang lebih terjangkau oleh manusia. Para dewa seperti Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara), dan Siwa (pelebur) membentuk konsep Trimurti, yaitu manifestasi Tuhan dalam tiga fungsi utama kosmis. Selain itu, dewi-dewi seperti Lakshmi, Saraswati, dan Durga juga dihormati sebagai representasi kekuatan ilahi yang spesifik, seperti kekayaan, pengetahuan, dan perlindungan. Penghormatan kepada dewa-dewi ini bukan berarti politeisme, tetapi ekspresi dari pandangan bahwa Tuhan hadir dalam berbagai bentuk untuk memudahkan manusia memahami-Nya.
Swami Vivekananda, seorang tokoh Hindu modern, menjelaskan bahwa Tuhan dalam Hindu dapat dipahami melalui pendekatan personal maupun impersonal. Ia menekankan bahwa agama Hindu memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk memilih cara menyembah Tuhan, baik melalui bentuk-bentuk dewa tertentu maupun melalui meditasi untuk mencapai kesadaran tentang Brahman. Menurut Vivekananda, kedua pendekatan ini tidak saling bertentangan, tetapi saling melengkapi untuk membantu manusia memahami aspek Tuhan yang tak terbatas.
Mahatma Gandhi, seorang pemimpin spiritual dan politik, juga menyatakan bahwa pemahaman Hindu tentang Tuhan sangat inklusif. Baginya, Tuhan adalah kebenaran mutlak (satya) yang dapat diwujudkan dalam berbagai cara, termasuk melalui doa, pengabdian, dan pelayanan kepada sesama manusia. Ia percaya bahwa ajaran Hindu tentang Tuhan mendorong toleransi dan penghormatan terhadap semua agama, karena semua jalan menuju Tuhan pada akhirnya mengarah kepada satu sumber ilahi yang sama.
Dalam agama Hindu, Tuhan dipahami melalui konsep Brahman yang transenden dan para dewa yang imanen. Brahman menggambarkan realitas tertinggi yang abstrak dan universal, sedangkan para dewa adalah representasi Tuhan dalam berbagai bentuk untuk membantu manusia mengenali sifat-sifat-Nya. Pendekatan ini mencerminkan fleksibilitas dan inklusivitas agama Hindu, yang mengakui keragaman cara manusia berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Pandangan tokoh seperti Swami Vivekananda dan Mahatma Gandhi menekankan kebebasan, toleransi, dan kesatuan di balik keberagaman tersebut.
Pandangan Filsuf Budha
Dalam ajaran Buddha, ketuhanan tidak dipahami sebagai sosok Tuhan pribadi yang mengatur alam semesta atau kehidupan individu, seperti dalam banyak agama teistik lainnya. Sebaliknya, fokus ajaran Buddha adalah pada pencapaian kesadaran dan pemahaman tentang kebenaran mutlak yang mengarah pada nirvana , keadaan bebas dari penderitaan dan keterikatan duniawi. Ajaran Buddha menekankan pemahaman tentang Dukkha (penderitaan), penyebabnya, dan jalan menuju pembebasan dari penderitaan tersebut, yang dikenal sebagai Noble Eightfold Path (Jalan Berunsur Delapan).
Buddha, atau Siddhartha Gautama, mengajarkan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk mencapai pencerahan (bodhi) dan mengatasi keterikatan pada dunia material. Dalam ajaran ini, tidak ada Tuhan yang menciptakan atau mengatur dunia; sebaliknya, semua fenomena bersifat sementara (anicca), tidak ada inti yang kekal (anatta), dan ketergantungan timbal balik adalah bagian dari hukum alam semesta (dependent origination). Pencarian untuk memahami kebenaran mutlak ini mengarah pada penghilangan keinginan dan kebodohan, yang pada akhirnya mengarah pada nirvana, keadaan pembebasan yang melampaui penderitaan dan siklus kelahiran kembali (samsara).
Tokoh-tokoh besar dalam tradisi Buddha memberikan berbagai penafsiran mengenai pemahaman ketuhanan ini. Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet, menjelaskan bahwa dalam tradisi Buddhisme Tibet, meskipun ada penghormatan terhadap berbagai dewa dan makhluk suci, mereka bukanlah Tuhan dalam pengertian teistik yang mengatur takdir umat manusia. Menurut Dalai Lama, konsep ketuhanan dalam Buddhisme lebih berfokus pada pengembangan batin yang sadar, penuh belas kasih (karuna), dan kebijaksanaan (prajna), dengan tujuan mengatasi kebodohan dan mencapai pencerahan.
Thich Nhat Hanh, seorang biksu Zen Vietnam, juga mengajarkan bahwa Buddha tidak melihat Tuhan sebagai sosok yang harus disembah, tetapi sebagai contoh seorang manusia yang berhasil mencapai pencerahan melalui usaha dan disiplin spiritual. Hanh berpendapat bahwa nirvana adalah keadaan kesadaran yang penuh tentang realitas, bukan tempat atau entitas yang terpisah, dan bahwa setiap orang bisa meraihnya melalui meditasi dan pemahaman yang mendalam tentang sifat sejati kehidupan.
Bagi Buddha sendiri, pencarian ketuhanan bukan soal menemukan Tuhan sebagai entitas eksternal, tetapi lebih kepada mengungkap kebenaran tentang eksistensi manusia dan alam semesta. Buddha mengajarkan empat kebenaran mulia yang menyoroti bahwa kehidupan penuh dengan penderitaan, penderitaan ini memiliki akar penyebab, dan ada jalan keluar melalui pencapaian pencerahan batin.
Pandangan Buddha tentang ketuhanan berfokus pada pencarian batin untuk memahami kebenaran mutlak dan mencapai pencerahan. Ajaran Buddha menolak konsep Tuhan pribadi dan menggantinya dengan penekanan pada kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang dunia dan diri sendiri. Seperti yang diajarkan oleh tokoh-tokoh spiritual seperti Dalai Lama dan Thich Nhat Hanh, tujuan utama dalam Buddhisme adalah mengatasi penderitaan dan mencapai nirvana melalui kebijaksanaan dan belas kasih, bukan melalui hubungan dengan Tuhan sebagai sosok transenden.