Salah satu tokoh utama dalam filsafat Kristen, Thomas Aquinas, berpendapat bahwa akal budi manusia mampu membuktikan adanya Tuhan. Dalam karyanya Summa Theologica, Aquinas mengajukan lima argumen rasional yang dikenal sebagai Quinque Viae (Lima Jalan). Salah satunya adalah argumen kausalitas, yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta memerlukan penyebab. Karena rantai penyebab ini tidak mungkin berjalan tanpa henti, maka harus ada penyebab pertama yang tidak disebabkan oleh apa pun, yakni Tuhan. Pandangan ini mempertemukan logika Aristotelian dengan teologi Kristen, memberikan landasan filosofis yang kokoh untuk konsep ketuhanan.
Di sisi lain, Baruch Spinoza, seorang filsuf Yahudi yang sering dianggap radikal, memperkenalkan pandangan yang berbeda tentang Tuhan. Dalam karyanya Ethica, Spinoza mengidentifikasi Tuhan dengan "substance", yaitu sesuatu yang eksis dengan sendirinya dan tidak memerlukan keberadaan lain untuk menjelaskan dirinya. Menurut Spinoza, Tuhan bukanlah sosok personal yang terpisah dari alam semesta, melainkan esensi yang menyatu dengan seluruh realitas. Tuhan adalah manifestasi dalam segala aspek kehidupan, mulai dari hukum alam hingga pikiran manusia. Pendekatan ini menantang pandangan teistik tradisional dengan mengintegrasikan metafisika Tuhan ke dalam filsafat panteisme.
Meski berbeda dalam pendekatan, baik Aquinas maupun Spinoza menunjukkan bahwa filsafat dapat menjadi alat yang ampuh untuk menjelaskan keberadaan Tuhan. Keduanya mengundang kita untuk berpikir lebih dalam tentang hubungan antara akal budi dan iman, serta bagaimana pemahaman manusia tentang Tuhan dipengaruhi oleh konteks budaya, agama, dan intelektual.
Dalam konteks modern, diskusi filosofis tentang Tuhan tetap relevan. Pemikiran Aquinas dan Spinoza menginspirasi banyak perdebatan tentang apakah keberadaan Tuhan dapat dibuktikan secara rasional, atau apakah konsep Tuhan adalah pengalaman subjektif yang melampaui penalaran manusia. Hal ini memperlihatkan bahwa filsafat tidak hanya berusaha menjelaskan Tuhan, tetapi juga membantu manusia memahami perannya dalam kehidupan dan alam semesta.
René Descartes memandang Tuhan sebagai dasar kepastian, keberadaan, dan kebenaran, serta menggunakan pendekatan rasional untuk membuktikan keberadaan-Nya. Dalam Meditations on First Philosophy, ia mengajukan argumen ontologis, bahwa Tuhan sebagai "entitas yang sempurna" harus ada karena keberadaan adalah sifat kesempurnaan. Bagi Descartes, semua pengetahuan manusia bergantung pada Tuhan, karena hanya Tuhan yang sempurna dapat menjamin kebenaran logika dan persepsi manusia, sehingga memungkinkan keyakinan pada realitas dunia luar. Ia juga melihat Tuhan sebagai pencipta dan penjamin keteraturan kosmos, yang memberikan dasar metafisik bagi ilmu pengetahuan modern. Meskipun argumennya sangat berpengaruh, Descartes mendapat kritik, terutama terkait lingkaran logis dalam pembuktian keberadaan Tuhan, di mana ia mendasarkan kebenaran logika pada Tuhan sekaligus membuktikan Tuhan melalui logika. Namun, pandangannya tetap menjadi jembatan penting antara iman, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
Pandangan Filsuf Islam
Dalam tradisi filsafat Islam, konsep Tuhan menjadi salah satu tema utama yang dibahas secara mendalam. Para filsuf Muslim memadukan prinsip-prinsip teologi Islam dengan pendekatan rasional dan logis yang mereka warisi dari filsafat Yunani, khususnya Aristoteles dan Plotinus. Melalui perpaduan ini, mereka mencoba menjelaskan eksistensi Tuhan secara sistematis, sehingga mampu menjembatani keimanan dengan rasionalitas.
Al-Farabi dan Argumen Logis tentang Tuhan
Al-Farabi (872–950 M), salah satu filsuf besar Islam, dikenal sebagai "Guru Kedua" setelah Aristoteles. Dalam karyanya, ia mengembangkan konsep tentang Tuhan sebagai Sebab Pertama (al-‘Illah al-Ula). Menurut Al-Farabi, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini memiliki sebab, dan rantai sebab-akibat ini pada akhirnya bermuara pada Satu Sebab yang tidak disebabkan, yaitu Tuhan. Al-Farabi memandang Tuhan sebagai Wujud Niscaya (Wajib al-Wujud), sebuah entitas yang keberadaannya tidak bergantung pada apa pun, sementara segala yang lain adalah wujud mungkin (Mumkin al-Wujud) yang bergantung kepada-Nya.
Al-Farabi juga menggunakan prinsip logika Aristotelian untuk menjelaskan sifat-sifat Tuhan. Ia menekankan bahwa Tuhan adalah kesatuan mutlak yang tidak dapat dibagi atau dikomposisi, sehingga Tuhan berbeda secara esensial dari makhluk ciptaan-Nya. Pendekatan ini tidak hanya bersifat metafisik, tetapi juga melibatkan logika deduktif untuk memastikan bahwa eksistensi Tuhan dapat dipahami oleh akal budi manusia.
Ibn Sina dan Wajib al-Wujud