Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kajian Filsafat tentang Akal-Budi, Jiwa dan Roh dalam Memahami Konsep Ketuhanan

16 Desember 2024   14:22 Diperbarui: 16 Desember 2024   14:22 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Manusia, sebagai makhluk yang kompleks, telah lama menjadi objek kajian dalam berbagai bidang ilmu. Dari sudut pandang filsafat, agama, dan spiritualitas, pertanyaan mendalam tentang esensi manusia seringkali berkisar pada hubungan antara akal budi, jiwa, roh, dan konsep ketuhanan. Bagaimana keterkaitan elemen-elemen ini membentuk pemahaman kita tentang eksistensi dan kehidupan yang lebih tinggi? Artikel ini akan mengupas keterkaitan ini, menghubungkan ajaran filsafat dengan ajaran agama-agama besar, dan mencoba menawarkan perspektif yang menyeluruh untuk memahami kehidupan manusia dalam konteks spiritual dan rasional.

Akal Budi: Alat untuk Memahami Realitas

Akal budi, atau kemampuan berpikir rasional, telah menjadi pusat perdebatan filsafat sejak zaman kuno. Dalam pemikiran Barat, Descartes, dengan ungkapannya yang terkenal "Cogito, ergo sum" ("Saya berpikir, maka saya ada"), menekankan bahwa akal adalah dasar dari eksistensi manusia. Akal budi, menurut Descartes, bukan hanya alat untuk memahami dunia fisik, tetapi juga sebagai fondasi bagi kesadaran diri dan pencarian kebenaran.

Sementara itu, Immanuel Kant menambahkan dimensi baru dengan ide bahwa akal tidak hanya menerima informasi dari dunia luar tetapi juga membentuknya berdasarkan kategori-kategori internal. Menurut Kant, akal manusia membentuk pengalaman melalui struktur yang sudah ada dalam pikiran kita, seperti ruang dan waktu. Hal ini menandakan bahwa akal tidak hanya pasif, tetapi aktif dalam mengonstruksi kenyataan.

Namun, bagaimana akal berhubungan dengan jiwa dan roh? Dalam pandangan Plato, jiwa adalah entitas yang lebih tinggi daripada tubuh dan akal budi adalah salah satu aspek penting dari jiwa. Jiwa, bagi Plato, memiliki tiga bagian: akal, semangat, dan keinginan. Akal adalah bagian yang paling mulia, yang seharusnya mengarahkan semangat dan keinginan agar hidup manusia menjadi harmonis.

Jiwa: Esensi Kehidupan Manusia

Jiwa, dalam berbagai agama besar, dipandang sebagai elemen yang menghubungkan manusia dengan Tuhan atau prinsip tertinggi yang diyakini dalam setiap tradisi. Meskipun setiap agama memiliki pemahaman dan penafsiran yang unik, ada konsensus bahwa jiwa adalah unsur yang abadi dan berfungsi sebagai inti dari eksistensi manusia yang lebih tinggi.

Dalam ajaran Kristen, jiwa manusia dipandang sebagai ciptaan Tuhan yang abadi dan tidak dapat hancur. Tuhan menciptakan jiwa sebagai bagian dari rencana-Nya yang lebih besar. Konsep ini ditegaskan dalam Alkitab, seperti yang tercantum dalam Matius 16:26, "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?" Ayat ini mengingatkan umat Kristen akan pentingnya menjaga jiwa mereka dengan perbuatan yang benar, karena setelah kematian, jiwa akan menerima ganjaran atau hukuman sesuai dengan perbuatan di dunia. Seorang teolog Kristen terkenal, Thomas Aquinas, juga menyatakan bahwa jiwa adalah bentuk substansial tubuh manusia, yang tidak terikat oleh waktu dan ruang, dan karenanya, kekal.

Dalam Islam, jiwa atau ruh juga dianggap sebagai ciptaan Allah yang memiliki tujuan transendental, yakni untuk kembali kepada Tuhan setelah menjalani kehidupan di dunia. Sebagai umat Islam, diyakini bahwa kehidupan dunia ini adalah ujian, dan keputusan akhir tentang nasib jiwa seseorang akan ditentukan berdasarkan amal perbuatan di dunia. Al-Qur'an mengingatkan umat Islam tentang hal ini, sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Zumar (39:42), "Allah memegang jiwa ketika matinya, dan yang belum mati (disimpan-Nya) pada waktu tidurnya." Jiwa yang telah dipisahkan dari tubuh, pada akhirnya akan dikembalikan kepada Allah untuk diadili. Dalam pandangan Islam, jiwa adalah sesuatu yang sangat berharga dan harus dijaga kesuciannya agar bisa kembali kepada Tuhan dalam keadaan baik. Pemikir Islam seperti Al-Ghazali menekankan bahwa tujuan utama jiwa adalah untuk mencapai kedamaian dengan Tuhan, yang hanya bisa dicapai melalui pengabdian yang tulus.

Dalam ajaran Hindu, jiwa atau atman dianggap sebagai bagian dari Brahman, kekuatan tertinggi yang abadi dan tidak terpisahkan. Hindu mengajarkan bahwa jiwa tidak mati, melainkan mengalami siklus kelahiran kembali (samsara) hingga mencapai pembebasan (moksha) dan bersatu dengan Brahman. Ini sejalan dengan pengajaran dalam Bhagavad Gita (2:20), "Jiwa itu tidak lahir dan tidak mati; ia tidak dapat dibinasakan. Itu tidak terlahir, tidak mati, dan tidak hancur." Konsep ini menekankan pada ide bahwa jiwa adalah energi ilahi yang kekal, yang harus menjalani siklus kehidupan untuk mencapai pembebasan dan kesatuan dengan Tuhan. Filsuf Hindu seperti Adi Shankaracharya menekankan bahwa atman adalah aspek ilahi dalam diri setiap individu yang pada akhirnya harus menyatu dengan Brahman untuk mencapai kesempurnaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun