Buddhisme, di sisi lain, mengajarkan bahwa jiwa bukanlah entitas tetap, melainkan bagian dari aliran kesadaran yang terus berubah. Pandangan ini menolak adanya "diri" yang tetap atau kekal. Dalam ajaran Buddha, tujuan utama kehidupan adalah mencapai pencerahan (nirvana), yang dicapai dengan menghilangkan keterikatan pada dunia material dan mengatasi penderitaan. Buddha mengajarkan dalam Dhammapada 277, "Segala sesuatu yang ada adalah tidak kekal, maka jangan terikat padanya." Ajaran ini menegaskan bahwa tidak ada jiwa yang abadi dalam arti tradisional, melainkan lebih pada kesadaran yang bertransformasi seiring waktu, dan pencerahan dicapai ketika individu memahami sifat ketidakkekalan ini dan membebaskan dirinya dari penderitaan.
Setiap tradisi agama besar ini memberikan pandangan yang mendalam dan beragam tentang jiwa. Meskipun ada perbedaan dalam pemahaman, mereka semua sepakat bahwa jiwa adalah sesuatu yang sangat penting dalam perjalanan spiritual manusia. Apakah sebagai ciptaan Tuhan yang abadi, bagian dari energi ilahi, atau bagian dari kesadaran yang terus berubah, jiwa tetap dianggap sebagai inti dari eksistensi manusia yang memiliki tujuan lebih tinggi di luar kehidupan duniawi.
Roh: Dimensi Transendental Manusia
Roh sering kali dipandang sebagai dimensi paling transendental dalam diri manusia, yang menghubungkan manusia dengan dimensi ketuhanan atau realitas tertinggi. Dalam filsafat Neo-Platonisme, roh dianggap sebagai elemen yang melampaui jiwa, berhubungan langsung dengan "Yang Esa" (The One), yang merupakan sumber segala sesuatu. Menurut Plotinus, roh manusia harus menjalani perjalanan kembali ke sumbernya melalui pembersihan batin dan penghayatan kebenaran yang lebih mendalam. Proses ini disebut henosis, yakni penyatuan dengan realitas ilahi.
Roh dalam Pandangan Agama-Agama Besar
Pandangan tentang roh dalam berbagai agama besar menyoroti peranannya sebagai unsur yang melampaui dimensi material dan berfungsi sebagai sarana hubungan manusia dengan ketuhanan. Meski memiliki istilah dan penekanan yang berbeda, inti ajarannya menunjukkan bahwa roh adalah pemberian ilahi yang memandu manusia menuju tujuan spiritual yang lebih tinggi.
Kristen
Dalam Kristen, roh dipandang sebagai anugerah Tuhan yang memungkinkan manusia untuk berhubungan langsung dengan-Nya. Roh Kudus, yang merupakan bagian dari Trinitas, dianggap sebagai penolong dan penghibur yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya. Roma 8:16 menegaskan peran roh ini: "Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah." Roh Kudus tidak hanya membantu manusia memahami kehendak Tuhan, tetapi juga memperbaharui hati dan pikiran untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Teolog Kristen seperti Augustinus menggambarkan roh manusia sebagai pusat kehidupan spiritual yang harus diarahkan kepada Tuhan melalui iman dan kasih.
Islam
Dalam Islam, ruh dipandang sebagai ciptaan Allah yang berasal langsung dari-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Isra (17:85): "Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." Ruh diberikan kepada manusia saat penciptaannya, seperti yang dinyatakan dalam Surah As-Sajdah (32:9): "Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya." Konsep ini menekankan bahwa ruh memiliki sifat ilahi dan akan kembali kepada Allah setelah kehidupan di dunia berakhir. Dalam Sufisme, roh adalah elemen yang menghubungkan manusia dengan Allah secara langsung. Para sufi seperti Rumi menggambarkan roh sebagai pengembara yang rindu kembali kepada asalnya, yakni Tuhan yang Maha Esa.
Yudaisme