Ibn Sina (Avicenna, 980–1037 M) melanjutkan gagasan Al-Farabi dengan pendekatan yang lebih terstruktur. Dalam Al-Shifa' (The Book of Healing), Ibn Sina mengajukan argumen ontologis yang dikenal sebagai konsep Wajib al-Wujud (Wujud Niscaya). Menurutnya, segala sesuatu dapat dikelompokkan menjadi dua:
1. Wujud Mumkin (Contingent Being): Wujud yang keberadaannya bergantung pada wujud lain. Segala sesuatu di alam semesta adalah wujud mumkin, karena ia tidak ada dengan sendirinya.
2. Wajib al-Wujud (Necessary Being): Wujud yang keberadaannya mutlak dan tidak bergantung pada apa pun. Wujud ini adalah Tuhan.
Argumen Ibn Sina menunjukkan bahwa keberadaan makhluk yang berubah-ubah dan terbatas memerlukan adanya entitas yang tak berubah, tak terbatas, dan mandiri sebagai asal mula segala sesuatu. Argumen ini menjadi landasan utama dalam filsafat Islam dan diterima luas bahkan dalam filsafat Barat.
Al-Ghazali dan Kritik Rasional terhadap Filsafat
Berbeda dari Al-Farabi dan Ibn Sina, Al-Ghazali (1058–1111 M) memberikan pendekatan kritis terhadap filsafat, meskipun ia tetap menggunakan logika dalam upayanya memahami Tuhan. Dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (The Incoherence of the Philosophers), Al-Ghazali mengkritik para filsuf yang dianggap terlalu bergantung pada rasionalitas sehingga menafikan wahyu. Namun, Al-Ghazali tetap menggunakan logika untuk memperkuat argumennya bahwa Tuhan adalah Wujud Mutlak yang melampaui nalar manusia. Ia menekankan bahwa meskipun Tuhan dapat dipahami sebagian melalui akal, keberadaan dan sifat-sifat-Nya sepenuhnya hanya dapat didekati melalui wahyu dan pengalaman spiritual.
Ibnu Rusyd dan Rasionalisasi Eksistensi Tuhan
Ibnu Rusyd (Averroes, 1126–1198 M), seorang filsuf dan ahli hukum Muslim dari Andalusia, berusaha mendamaikan filsafat dengan teologi. Dalam karyanya Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), ia membela para filsuf seperti Al-Farabi dan Ibn Sina dari kritik Al-Ghazali. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa argumen rasional dapat digunakan untuk membuktikan eksistensi Tuhan, tetapi tidak bertentangan dengan wahyu. Ia percaya bahwa memahami Tuhan melalui filsafat adalah cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, karena akal adalah salah satu anugerah Tuhan yang harus digunakan secara maksimal.
Para filsuf Islam memberikan kontribusi signifikan dalam kajian rasional tentang Tuhan. Mereka tidak hanya mempertahankan keimanan, tetapi juga memperluas cakrawala pemikiran teologis dengan menggunakan logika dan metafisika. Pendekatan mereka mengajarkan bahwa keyakinan kepada Tuhan tidak harus bertentangan dengan akal, melainkan dapat saling melengkapi. Hingga kini, gagasan-gagasan mereka tetap relevan dalam diskusi filsafat agama, baik di dunia Islam maupun Barat.
Pandangan Filsuf Hindu
Dalam agama Hindu, konsep ketuhanan sangat kompleks dan kaya, mencerminkan keragaman cara memahami Tuhan. Tuhan dipahami melalui dua aspek utama: Brahman dan para dewa. Brahman adalah realitas tertinggi, yang tak berbentuk, tanpa sifat, melampaui ruang dan waktu, serta merupakan sumber dari segala sesuatu. Brahman dianggap sebagai inti dari keberadaan, dan pemahaman terhadap Brahman sering digambarkan dalam kitab suci seperti Upanishad dan Bhagavad Gita. Dalam Upanishad, Brahman disebut sebagai sesuatu yang "Sat-Chit-Ananda" (kebenaran, kesadaran, dan kebahagiaan mutlak). Pandangan ini menekankan sifat Tuhan yang abstrak dan universal.