Mohon tunggu...
Rucika GalvaniPutri
Rucika GalvaniPutri Mohon Tunggu... Lainnya - XII MIPA 6 - SMAN 1 PADALARANG

CIK

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

JALAN MENUJU ROMA

8 Februari 2021   15:02 Diperbarui: 8 Februari 2021   16:43 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa depanku sudah ditentukan. Bapak bilang aku tidak usah melanjutkan sekolah karena pada akhirnya  pendidikan yang tinggi akan sia-sia.  Gadis desa sepertiku hanya memiliki masa depan untuk mengurus keluarga kecil tanpa berpikir untuk berkarir sukses di kota. Keinginanku menjadi seorang chef terkenal yang ada di dapur mewah, beralaskan lantai-lantai mengkilap hanya sebagai angan-angan belaka yang nyatanya garis tanganku mengatakan aku harus ada di dapur yang beralaskan tanah saja. Garis tangan gadis desa tidak jauh seperti itu, khususnya aku. Garis yang dibuat oleh orangtuaku sendiri.

Setiap orang di desa mempunyai pemikiran jika pendidikan tinggi itu hanya semata-mata untuk kehidupan yang sementara. Lagi pula pemikiran anak desa tentang pendidikan sangatlah rendah. Mereka hanya mengikuti apa yang dikatakan orang tuanya bahwa setelah lulus SMA hanya perlu bekerja di desa. Hanya aku, seorang gadis yang berani menentang orangtuanya sendiri demi menggapai angan yang sudah diukirkan langit diatas. Aku harus berdiri di atas langit itu meskipun duniaku menolak untuk tidak melakukannya.

***

Setiap pagi, ibu dan bapak pergi untuk beternak di belakang rumah. Jadwal kegiatanku setiap pagi  ketika hari libur pasti menulis harapan di secarik kertas yang nantinya akan ku tempel dibelakang pintu lemari supaya ibu dan bapak tidak tahu tentang harapanku karena aku tahu ibu dan bapak pasti melarang aku berharap yang tidak mungkin akan terjadi. Dikertas kecil itu aku selalu menulis apa yang akan aku lakukan dimasa depan dan aku yakin semua yang aku tulis pasti akan terjadi.  

Saat aku mengukir satu demi satu huruf di secarik kertas sembari duduk di meja dekat jendela kamar, tiba-tiba ibu memanggil “Tari bantu ibu didapur!”. Seketika secarik kertas yang aku tulis terbawa angin karena terkejut mendengar suara ibu. Aku langsung berlari menuju dapur dan bertanya “Iya bu, Tari bantuin apa?”. “Ini Ri, bantuin ibu cuci sayuran terus potong kecil-kecil buat dimasak”, ucap ibu sambil memberi wadah berisi sayuran. Ketika aku sedang mencuci sayuran, terlintas dipikiranku untuk menanyakan aku akan melanjutkan sekolah kemana, karena ujian nasional untuk SMA sudah tinggal menghitung hari.

“Bu, habis lulus SMA aku lanjut sekolah kemana? boleh ke kota kan bu?”, ucap Tari gugup. Lalu ibu menjawab dengan spontan dan nada tinggi “Ke kota? Memang kamu pikir sekolah di kota itu mudah? Dan biayanya juga pasti sangat besar, anak desa itu gaperlu ribet, habis lulus sekolah kamu ikuti aja apa yang dilakukan ibu dan bapak didesa, habis itu kamu nikah dan mengurus keluarga”. Dengan cepat aku membantah perkataan ibu “Tapi bu, masa depan aku itu masih panjang, aku punya cita cita sebagai chef terkenal dan untuk masalah biaya kan bisa mencari beasiswa...”. Belum selesai aku membantah, ibu sudah memotong pembicaraan “Jadi chef saja ribet, kamu tinggal masak di dapur aja, jadi ibu ga usah capek-capek masak”. Tanpa basa basi aku langsung meninggalkan ibu dan pergi ke kamar.

Saat dikamar, meja di dekat jendela itu adalah tempatku untuk menenangkan hati dan pikiranku sambil melihat keadaan desa yang hijau. Disitu aku berpikir Roma yang aku inginkan belum tentu Roma yang Allah takdirkan. Mungkin jalan hidupku hanya sebatas perempuan yang selamanya akan hidup di desa, dan harapan yang ditulis di secarik kertas itu hanya sebuah hiasan tersembunyi di dalam lemari.

Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku sampai aku tersadar dari lamunan yang membuatku semakin pesimis menggapai cita-cita. “Kamu mikirin apa sih Ri?”, ucap Ita. “Eh kalian dari tadi disini?”, ucapku terkejut. “Tadinya aku sama Nia cuma ngelewat depan rumah kamu aja, tapi kita liat kamu dijendela lagi melamun jadi kita minta izin sama ibu kamu buat masuk ke kamar kamu”, ucap Ita. Karena penasaran. Lalu Nia melanjutkan pertanyaan Ita tadi “Eh Ri emang kamu lagi ngelamunin apa sih? ayo cerita ke kita”, ucap Nia sambil memohon. Kemudian aku ceritakan semua kejadian tadi, ternyata setelah mendengar ceritaku tadi tanggapan Nia dan Ita seakan-akan memihak kepada ibu yang tidak mengizinkan aku untuk pergi ke kota. Tapi aku akan berusaha meyakinkan Nia dan Ita jika masa depan itu penting untuk mengubah kehidupan kita di desa dan ternyata meyakinkan mereka itu tidak sesulit meyakinkan ibu dan bapak, meskipun mereka setelah lulus sekolah nanti pasti akan tetap mengikuti keinginan orang tua mereka.

Perbincangan kami terhenti ketika handphone Nia berbunyi. Saat Nia berbicara di telepon wajahnya terlihat senang dan menjawab telepon itu dengan semangat. Setelah dia menutup telepon itu aku dan Ita segera bertanya kepada Nia tentang apa yang terjadi. “Tadi, Sani teman kecilku di kota bilang kalau nanti akan ada mahasiswa kota yang akan ke desa untuk melakukan penelitian sebagai tugas akhir mereka, salah satu mahasiswanya adalah kakaknya Sani, namanya Kak Citra”, ucap Nia dengan wajah bahagia. “Akhirnya desa kita kedatangan orang yang istimewa hehe, semoga saja dia bisa membangkitkan semangat anak-anak untuk sekolah setinggi-tingginya”, ucapku. “Aku harap juga sih begitu, dengan pola pikir yang berbeda semoga aja nanti  jadi  banyak anak desa yang melanjutkan sekolah ke kota”,ucap Ita dengan penuh harapan.

***

Di pagi hari yang cerah, aku dan kedua temanku sedang berjalan melewati taman Balai Desa, saat itu kita berniat untuk mempersiapkan belajar ujian nasional di rumah Ita. Diperjalanan menuju rumah Ita, kita melihat ada perempuan dengan pakaian modis yang sedang duduk di taman balai desa, kemudian kita mengahampirinya dan bertanya “Permisi kak, kayanya kita baru melihat kakak disini?, ucapku sambil berdiri di depan perempuan itu. “Iya, kakak dari kota yang datang kesini untuk melakukan penelitian”,ucap kakak itu ramah. “Oh kaka namanya Kak Citra ya?”, ucap Nia gugup. “Bukan, kenalkan nama kakak, Putri”,sambil menundukan kepala. Aku kira awalnya itu adalah Kak Citra, kakaknya Sani. Untung saja Kak Putri orangnya ramah jadi kita tidak seperti patung dihadapannya. Tak lama kemudian, ada seorang perempuan tinggi dan putih yang memakai sepeda dari arah seberang menuju ke arah kami. Melihat perempuan itu, Kak Putri langsung memanggilnya teriak dengan sebutan Citra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun