Mikael memperhatikan perubahan itu dengan cemas, namun Alea selalu berusaha menutupinya dengan senyum. “Gue cuma kecapean aja, El. Kebanyakan belajar kayaknya,” ucapnya setiap kali Mikael bertanya.
Meski begitu, Mikael merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan.
Suatu hari, saat mereka sedang duduk di bangku taman, Mikael memutuskan untuk menanyakan perasaan Alea dengan lebih mendalam.
“Lea, lo yakin gaada yang lo sembunyiin dari gue?” tanya Mikael, menatap mata Alea dengan penuh perhatian.
Alea terdiam sejenak, menatap ke arah langit yang mulai gelap. “Gue cuma… kadang ngerasa jenuh aja, El. Tapi ga apa-apa, beneran.”
Mikael mengangguk, meski hatinya masih ragu. Ia tahu Alea tidak mudah berbagi jika itu menyangkut hal serius.
Waktu terus berlalu, Mikael dan Alea terus menjalani hari-hari mereka dengan tawa dan cerita, meski di balik senyum Alea, Mikael merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Suatu hari, ketika hujan rintik-rintik membasahi halaman sekolah, Mikael melihat Alea duduk sendirian di bangku taman. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya, dan ada kerutan kekhawatiran di dahinya. Dengan langkah pelan, ia mendekati bangku taman tempat Alea duduk.
“Eh, lo masih disini, El.” sapa Alea ketika Mikael mendekat.
“Emm... sini deh, gue mau... cerita sesuatu,” tambah Alea dengan suara yang terdengar lemah.
“Kenapa, Lea?” tanya Mikael, kemudian ia duduk di sampingnya.