Tiga tahun berlalu sejak kelahiran Gavin. Ardi dan Kinan semakin mahir dalam mengelola usaha pertanian organik mereka. Kebun mereka kini telah berkembang menjadi sebuah perusahaan kecil yang mempekerjakan beberapa orang dari lingkungan sekitar.
Suatu siang, saat Ardi sedang memeriksa tanaman di rumah kaca, ia mendengar suara tawa riang Gavin dari halaman belakang. Ia bergegas keluar dan melihat putranya sedang bermain dengan ibunya di antara perkebunan sayuran.
“Ayah! Lihat, aku bantu Ibu memetik tomat!” seru Gavin dengan bangga, mengangkat sebuah tomat merah besar di tangannya yang mungil.
Ardi tersenyum lebar, hatinya dipenuhi kebahagiaan melihat keluarga kecilnya. Ia berjalan menghampiri mereka dan mengacak-acak rambut Gavin dengan sayang.
“Wah, hebat anak Ayah! Nanti kita masak sup tomat kesukaanmu,” ucapnya.
Kinan bangkit berdiri, membersihkan tanah dari celananya. “Di, tadi pagi ada telepon dari restoran baru di pusat kota. Mereka tertarik untuk menjadi pelanggan tetap kita.”
Ardi mengangguk, “Itu kabar bagus. Sepertinya kita perlu memikirkan untuk memperluas lahan lagi.”
“Iya, aku juga berpikir begitu,” jawab Kinan. “Oh iya, nanti sore Nadia dan Rangga akan datang berkunjung. Mereka ingin mendiskusikan rencana untuk membuka toko sayur organik di kota.”
“Ah, ide yang bagus itu. Kita bisa menjadi pemasok utama mereka,” Ardi tersenyum, merasa bersyukur atas dukungan teman-temannya.
Saat mereka berjalan kembali ke rumah, Ardi merangkul Kinan dan Gavin. Ia memandang ke sekeliling, melihat kebun yang telah menjadi sumber penghidupan mereka, rumah sederhana yang penuh kehangatan, dan keluarga kecil yang ia cintai.
“Terima kasih,” bisik Ardi pelan.