“Di,” Kinan memecah kesunyian, “aku baru sadar, sudah tiga tahun kita menjalani hidup seperti ini. Rasanya seperti baru kemarin kita memulai semuanya.”
Ardi tersenyum, menggenggam tangan Kinan dengan lembut. “Iya, waktu berlalu begitu cepat. Tapi lihatlah semua yang telah kita capai bersama.”
Mereka memandang ke arah kebun yang menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Dari kejauhan terdengar suara jangkrik, menciptakan melodi alam yang menenangkan.
“Kamu tahu?” tutur Ardi pelan, “Pernah ada waktu ketika aku merasa hidupku telah berakhir. Tapi sekarang, aku merasa ini baru permulaan. Kita masih punya banyak hal indah untuk dijalani bersama.”
Kinan mengangguk, menyandarkan kepalanya di bahu Ardi. “Ya, dan kita akan terus menghadapi semua hal bersama, seperti yang selama ini kita lakukan.”
Sejenak mereka terdiam, merasakan kehangatan satu sama lain. Kinan kemudian melanjutkan, “Ngomong-ngomong, besok Gavin mulai masuk sekolah.”
Ardi tersenyum lebar, “Dia tumbuh begitu cepat. Aku tak sabar melihatnya belajar berbagai hal baru.”
Malam itu, Ardi tidur dengan perasaan damai. Ia tahu, meskipun hidup tak selalu mudah, ia memiliki cinta dan dukungan keluarganya. Dan itu lebih dari cukup untuk menghadapi apapun yang akan datang di masa depan.
Begitulah, dari benih cinta yang sempat terpisah, kini tumbuh sebuah keluarga yang kuat dan bahagia. Ardi dan Kinan telah membuktikan bahwa dengan tekad, kerja keras, dan cinta, mereka bisa mengubah badai kehidupan menjadi hujan yang menyuburkan kebun mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H