Kinan mengangguk. “Iya, dan mungkin kita bisa mulai mempekerjakan satu atau dua orang untuk membantu. Permintaan sepertinya akan terus meningkat.”
“Kamu benar,” Ardi menimpali, tangannya tanpa sadar mengusap perut Kinan yang kini sudah mulai membesar. “Dengan bayi yang sebentar lagi lahir, kita memang perlu penghasilan yang lebih stabil.”
Mereka berdua terdiam sejenak, memandang ke arah kebun yang kini telah berubah menjadi sumber penghidupan mereka. Ardi merasa hatinya dipenuhi rasa syukur dan haru. Ia teringat akan perjuangan ayahnya dulu sebagai pedagang sayur, dan kini ia melanjutkan perjuangan itu dengan caranya sendiri.
“Ayah pasti bangga melihat kita sekarang, berjuang dan tumbuh di tempat yang dia cintai,” ucap Ardi dengan nada penuh rasa syukur.
Kinan menggenggam tangan Ardi erat. “Tentu. Dan aku yakin, dia akan semakin bangga saat melihat cucunya tumbuh di tengah kebun ini, melanjutkan warisan yang telah dia bangun”
Ardi tersenyum, merasa optimis menghadapi masa depan. Meski perjalanan hidupnya penuh liku, ia bersyukur masih diberi kesempatan untuk bangkit dan memulai lembaran baru.
Waktu berlalu dengan cepat. Kebun organik Ardi dan Kinan semakin berkembang. Mereka mulai mempekerjakan beberapa tetangga untuk membantu mengelola kebun yang kini telah mencakup area cukup luas. Pesanan dari restoran dan toko-toko organik di kota terus berdatangan.
Suatu sore, saat Ardi sedang mengecek tanaman di rumah kaca, ia mendengar teriakan Kinan dari dalam rumah. Jantungnya berdegup kencang, ia segera berlari masuk.
“Kinan! Ada apa?” tanya Ardi panik.
Kinan berdiri di ambang pintu kamar, satu tangan memegangi perutnya. “Di… aku rasa… sudah waktunya.”
Ardi terdiam sejenak, otaknya mencoba memproses informasi tersebut. Lalu, seolah tersadar, ia bergegas mengambil tas yang telah mereka siapkan untuk ke rumah sakit.