Ardi menatap peti mati di hadapannya dengan tatapan kosong. Air matanya tak lagi mampu mengalir, seakan telah habis terkuras selama beberapa hari terakhir. Ia hanya bisa terdiam, mencoba menerima kenyataan pahit yang harus dihadapinya. Ayahnya, satu-satunya keluarga yang tersisa, kini telah pergi untuk selamanya.
Di tengah kesedihan yang mendalam, kenangan-kenangan indah mulai berputar dalam benaknya, menariknya kembali ke masa-masa saat segalanya masih berbeda.
Lima tahun lalu, hidupnya masih normal. Ia hanyalah seorang siswa SMA biasa yang tinggal bersama kedua orang tuanya di sebuah rumah sederhana. Ayahnya, Pak Harto, adalah seorang pedagang sayur keliling yang gigih bekerja untuk menghidupi keluarganya. Sementara ibunya, Bu Siti, membantu dengan berjualan gorengan di depan rumah.
Meski hidup pas-pasan, keluarga kecil itu selalu bahagia. Ardi ingat bagaimana ia selalu menantikan makan malam bersama, saat-saat di mana mereka bisa berkumpul dan berbagi cerita tentang hari yang telah dilalui.
Seiring berjalannya waktu, usaha keras Pak Harto akhirnya membuahkan hasil. Berkat ketekunan dan kejujurannya dalam berdagang, ia mulai mendapatkan kepercayaan dari para pelanggan. Pesanan sayur semakin banyak, bahkan ada beberapa restoran yang menjadikannya sebagai pemasok tetap. Pak Harto pun mulai merekrut beberapa karyawan untuk membantunya.
Perlahan tapi pasti, usaha keluarga Ardi berkembang pesat. Dalam waktu dua tahun, Pak Harto berhasil membuka tiga cabang toko sayur di berbagai lokasi. Kehidupan keluarga mereka pun mulai berubah. Mereka pindah ke rumah yang lebih besar, Ardi bisa masuk ke SMA Swasta terbaik di kota-nya, dan Bu Siti tidak perlu lagi berjualan gorengan.
Namun, kebahagiaan itu ternyata tidak bertahan lama. Di penghujung tahun 2019, dunia diguncang oleh pandemi Covid-19. Dampaknya terasa hingga ke usaha keluarga Ardi. Banyak restoran yang tutup, permintaan sayur menurun drastis, namun biaya operasional tetap tinggi. Pak Harto terpaksa menutup dua cabang tokonya dan memberhentikan sebagian besar karyawannya.
Tekanan finansial mulai menghantuinya. Ardi sering mendapati ayahnya termenung di ruang kerja, memandangi tumpukan tagihan yang belum terbayar. Raut wajah Pak Harto yang biasanya ceria kini selalu diliputi kekhawatiran.
Pukulan terberat datang ketika Bu Siti terpapar virus Covid-19. Kondisinya memburuk dengan cepat, dan dalam hitungan hari, ia menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. Ardi masih ingat betapa hancurnya ia saat itu, melihat ibunya pergi tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal.
Kepergian Bu Siti membuat Pak Harto semakin terpuruk. Ia seolah kehilangan semangat hidupnya. Usaha yang tersisa pun akhirnya bangkrut total. Ardi terpaksa pindah ke sekolah negeri karena tidak mampu lagi membayar uang sekolah swasta yang cukup besar.