Rossi Elbana
No: 17
Tangis Kering Sang Aktivis
/1/
Di atas tanah pertiwi ini
Pernah lahir sang pejuang
Pahlawan kemanusiaan
Pembela keadilan yang timpang
Dia Munir Said Thalib
Suami Suciwati
Aktivis HAM pendiri Kontras
(Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
Para penguasa orde baru
Yang semena-mena menindas
Membunuh dan membantai rakyat kecil
Oleh Munir mendapat perlawanan keras
Tanpa lelah ia terus mencari fakta
Dan realita, mengungkap berbagai kasus
Pembunuhan orang yang tak berdosa
Meskipun bertaruh darah dan usus
Bahkan tercabut nyawa
Hingga aksi-aksi perjuangannya
Menjadi ‘musuh berbahaya’
Bagi lawan-lawannya
Gerakan ‘human right’ gagasannya
Membuat geram para penguasa
Aku sering diancam
Dengan berbagai teror mencekam
Aku bisa ditenggelamkan di lautan
Dibunuh di udara dan trotoar jalan
Aku akan dibuat menderita
Sampai tak bernyawa
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti,
Tutur Munir suatu kali
/2/
Malam sepi
Suciwati wanti-wanti
Memekarkan firasat buruk akan terjadi
Pada suaminya
Yang hendak pergi melanjutkan studi
Ke negeri kincir angin Belanda
Pak, apa tidak bisa ditunda saja berangkatnya?
Tidak bisa, Bu. Besok musti ke Bandara
Malam itu ada pertanda
Akan turun hujan
Kilat makin sering membelah langit
Ketika langit sedetik benderang,
Terlihat awan hitam menggumpal
Suciwati mendengar dari jauh
Suara burung hantu
Menyayat kalbu
Terbaring di samping
Suami tercinta
Kemudian ia teringat besok kepergiannya
Mengucurlah dingin peluh
Suara burung hantu
Ia hubungkan dengan kematian
Hujan lalu terjun bebas
Larut malam semakin berhias
Segala kecamuk jiwa
Menuntunnya ingat sepertiga malam-Nya
Bersimpuh sujud
Mengembalikkan prasangka yang belum terwujud
/3/
Setelah matahari hampir tenggelam di ufuk barat
Hati Suciwati bergetar hebat
Pikirannya limbung
Saat mendengar langsung
Suaminya tak lagi bernapas
Di atas pesawat Garuda berkualitas
Peristiwa terjadi di hari ke tujuh
Tahun duaribuempat bulan ke sembilan
Persis satu bulan menjelang pelantikan
Presiden dan wakilnya yang baru
Tiba-tiba kesadarannya melayang
Naik mengejar bayang
Suaminya yang sendirian
Lagi kedinginan
Beruntung cepat tersadar dan tidak jadi terjatuh
Namun dari mulutnya keluar rintihan penuh
Mengerang panjang
Lalu ia teringat
Beberapa hari sebelum berangkat
Ia dan kedua anaknya
Dipeluk hangat suaminya
Seraya berkata,
Saya sudah menemukan surga saya!
Ternyata itu kalimat terindah terakhir
Yang ia dengar dari suaminya, Munir
(Kemenangan terbesar para penjahat kemanusiaan
Kesedihan mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan)
Cukuplah kebenaran tangis
Yang jatuh berderai untukmu
Hanya untukmu, suamiku
Tandas Suciwati
Rasa kehilangan terkulai
Pada sudut ruang
Tanpa suara
Tanpa kata
Suamiku, ketuklah daun pintu
Yang tak sampai terkuak angin pagi
Masuklah!
Dan lihat, betapa senja telah murung
Dalam rona cahaya
Ruang hatiku
Rinduku hanya akan melayang
Di hamparan udara
Seperti debu terhempas angin
Seperti asap api lilin,
Suciwati membatin
/4/
Di pusara suaminya
Isak tangis kembali mengudara
Gesekan daun kamboja
Mengajaknya memorabilia
Jangan tangisi
Aku ingin pulang
Ikhlaskan
Biarlah aku tenang
Bersama kesunyian-Nya
Sebab cinta telah membuatku terbiasa
Di dalam-Nya,
Bisik suaminya seolah-olah
Bila kau dengar getar hatiku
Genggamlah jari-jemari tanganku
Agar rasa cinta yang terlahir dari kalbuku
Akan sampai padamu,
Balasnya tanpa lengah
Kadang melelahkan
Kalau tidak melepaskan
Perasaan sakit dan kehilangan
Demi prioritas
Kedua anaknya tertawa lepas
Ia harus menyembuhkan dirinya sendiri
Membahagiakan permata hati
/5/
Munir boleh mati
Tapi lentera perjuangannya tak boleh mati
Suciwati boleh lelah
Tapi ia berjanji tak akan menyerah
Tak terus terpuruk dalam lara
Tak terus-menerus menghiba
Jiwa aktivis kembali menitis
Perlawanan masa lalu
Saat membela hak-hak buruh
Menggelora optimis
Hak hidup
Hak berbicara
Hak beragama
Dan sebagainya
Yang kian tersingkirkan
Kepentingan tertentu
Ia bertekad
Mengusung keranda keadilan kuat-kuat
Membongkar dalang besar
Di balik kematian suaminya
Pernah ia sama-sama rasakan
Panas mentari intimidasi
Saat berjalan di divisi advokasi
Bersama buruh yang dikambinghitamkan
Majikannya sendiri
Yang dilecehkan seksualnya
Yang dipeluk cium seenaknya
Yang dipukul saat bekerja bicara
Itu cukup sebagai bukti
Keberaniannya melawan
Ketidakadilan
Tak lagi diragui
Berbagai macam cara terus ia rentang
Lendir perih luka meradang
Dipingpong ke sana ke mari terkadang
Demi merobohkan hukum yang pincang
Hingga fakta ditemukan:
Suaminya dibunuh!
Pada wartawan ia umumkan
Dengan teguh
Lalu bersama kawan-kawan
Ia dirikan organisasi-organisasi kemanusiaan
Bukan hanya aksi solidaritas untuk Munir
Namun lebih ke persoalan kemanusiaan yang dihinakan
Desakkan investigasi pada Pemerintah
Menemukan benang merah
Pembunuhan penuh konspirasi
Dan penyalahgunaan kekuasaan
Oleh badan intelejen negara
Tercium ke udara
/6/
Cinta sama sekali
Tak pernah merintangi
Jejak langkah siapapun
Untuk ke depan melaju
Seperti,
Cinta Suciwati
Meski dulu remuk redam
Kasih sayang suami padam
Teruslah kau mekar dalam hatiku
Walau musim terus berganti saban waktu,
Ujar Suciwati
Kembang cintanya senantiasa tengadah
Pada bias cahaya di antara rupa kelam
Cintanya yang terlalu besar
Mengalahkan rasa ragu dan takut yang mencekam
Sedikit perlahan
Dengan perjuangan total
Dan tak henti-hentinya mengingatkan
Baik dalam negeri maupun luar
Untuk menuntaskan kasus ketidakadilan
Mengungkap orang-orang yang dihilangkan
Lumayan terbayarkan
Tirai konspirasi
Dan adagium usang;
‘Kerahasiaan negara’
Lama-lama terkoyak
/7/
Orang pertama yang menjadi tersangka
Adalah Pollycarpus, sang kopilot Garuda
Seharusnya ia sedang cuti
Demi sebuah misi tersembunyi
Ia pun membuat surat tugas imitasi
Aksi bejat semakin mencuat
Tatkala ia ‘meminta’ Munir
Agar duduk mesra
Bersamanya
Seraut wajah ramah
Bercampur sumringah
Dari jendela kaca pesawat
Terlihat berbincang hangat
Tanpa terjaga lawan bicara
Tangan kirinya memasukkan sesuatu
Ke dalam minumannya yang satu
Sebelum eksekusi pembunuhan terjadi
Pollycarpus ditelepon agen intelejen senior
Aba-aba puncak teror
Terealisasi pasti
Duapuluh Desember duaribulima
Vonis duapuluh tahun penjara
Oleh hakim dibacakannya
Meskipun sampai saat ini
Ia tetap tidak mengakui
Skenario surat palsu jadi alat bukti
Lalu timbul seribu tanya,
Untuk apa Pollycarpus membunuh Munir?
Apakah ada duri menusuknya?
Darimu itu pasti
Aksi ini tercipta,
Umpat Pollycarpus dengan mulut berapi
Tangannya menunjuk penguasa
Jelasnya, badan intelejen negara
/8/
Kesiur angin membawa berita
Nomor siluman
Yang pernah Pollycarpus terima
Berasal dari Mayor Jenderal Purnawirawan
Muchdi Purwoprandjono namanya
Mantan komandan Kopassus TNI
Menjabat di BIN sebagai Deputi
Diseret juga sebagai terdakwa
Di pelataran pengadilan
Negeri Jakarta Selatan
Awal Desember duaribudelapan
JPU membacakan tuntutan
Muchdi patut diberi ganjaran
Limabelas tahun masa tahanan
JPU memaparkan sejumlah fakta
Surat dari BIN untuk Garuda
Tentang Pollycarpus yang direkomendasi
Sebagai petugas Aviation Security
Hal aneh,
Mengapa BIN ikut nyemplung urusan remeh?
Perang frontal
Di tengah ketidakrelaan
Rahasia terbongkar sial
Berbagai antisipasi nakal dilecutkan
Seperti membungkam
Orang-orang bermulut seribu
Mengorek borok penguasa orde baru
Semisal para pejuang HAM
Usaha para jaksa membongkar kasus
Dan menuntut Muchdi dipenjara
Harus kandas di tengah pusara
Oleh keputusan ketua majelis
Suharto namanya, yang misterius
Serta menimbulkan tanya
Akhir Desember duaribudelapan
Muchdi divonis bebas
Atas keterlibatannya ikut melibas
Sang aktivis kemanusiaan
Kurangkah bukti di pengadilan?
Ataukah ada rupiah dibalik keputusan?
Atau ada ancaman mengerikan bagi penegak keadilan?
Inikah keputusan paling adil?
Dalam memperjuangkan hak asasi manusia
Ketika Pollycarpus sendiri terbukti
Membunuh atas ‘bimbingan’ intelegensi
Dan divonis duapuluh tahun penjara
Sementara Muchdi tidak
Indonesia kini sebagai surga impunitas
Bagi para penjahat HAM berkelas
/9/
Suciwati tidak patah arang
Padanan feminitas dan maskulinitas
Melebur tanpa batas
Menciptakan kesatuan kekuatan
Jiwa srikandi garang
Memperjuangkan haknya yang tumbang
Sampai sekarang
Setelah delapan tahun berjalan
Tak ada bunyi pengusutan
Terlempar jalang
Budaya lupa
Orang Indonesia
Terlanjur mengakar
Liar
Terbiar
Kadang air membasahi bola matanya
Kala cerita tentang cinta
Namun tak jarang kering seketika
Saat meluapkan kemarahan statusnya
Kepahitan-kepahitan
Yang dicecapnya
Berganti kemanisan cita-cita
Demokratis cinta
Menjunjung hak asasi manusia
Yang semestinya
Impiannya
Gusti, perkenankan aku merayu
Bergelayut dalam selendang arsy-Mu
Tolong, gerakkan Qadar-Mu
Tuk membuka hati
Para penegak hukum di negeri ini,
Pintanya dalam hati
Matahari terus berlari
Mengejar hari-hari
Sementara Suciwati masih berdiri
Memegang panji janji
Pada Pemerintah kini
Menghadapi kegelapan
Hanya dengan lentera keberanian
Hingga saat ini
Ketika mulut tak lagi didengar
Cuma dianggap sesumbar
Justru pledoi terdakwa yang acapkali diumbar
Aku tutup rapat mulut
Tapi aksi diamku tak susut,
Suciwati mentahbiskan
Aksinya bikin decak kagum
Para penyaksi yang datang ke negeri ini
Memandang Pemerintah mata sebelah
Sebab membiarkan rakyat pesakitan;
Orang-orang yang hak asasinya tercampakkan
Yang terlalu lama mengandung lara
Dibiarkan begitu saja
Sebuah protes yang sunyi
Kini hanya diam
Menghitung kelam masa lalu
Koar-koar menuntut hak benar
Masih terkubur kekuasaan baru
/10/
Senja merona
Di sebuah pegunungan subur
Di kota Malang, Jawa Timur
Sambil memandang ke luar jendela
Suciwati menelusuri hati,
Kau seperti candu
Yang memaksaku untuk terus mencintaimu
Mencintai jejak perjuanganmu
Selalu ingin ku dengar bisik lirih dari hatiku
Atas keberadaanmu
Di dalam-Nya
Meski takkan lagi bisa ku miliki dirimu
Dalam keutuhan nafasmu
Dulu, kau ingin habiskan masa tua kita di sini
Menulis sambil bertani
Nikmat sekali
Sayang, waktu telah memanggilmu
Mengambil segalamu
Dari rotasi kehidupanku
Di dinding
Bingkai suaminya tertembak hening
Dari ruang tamu
Alif, anak sulungnya
Terdengar menangis, marah dan menggerutu,
Aku mau bunuh Pollycarpus!
Setelah baru tahu
Siapa sebenarnya pelaku
Pembunuhan abahnya
Suciwati datang memeluknya
Erat
Seraya bertanya,
Mengapa Alif mau bunuh Pollycarpus?
Sedikit tenang ia menjawab,
Dia jahat!
Kalau Alif membunuh, Alif juga jahat, bukankah ia juga membunuh?
Tapi kan…
Biarlah Tuhan yang membalas, Nak
Abahmu orang baik
Alif juga harus jadi anak baik,
Ujar Suciwati bijak
Alif memeluk ibunya semakin erat
Ya, Bu. Alif nggak mau seperti dia
Menengok ‘bagian dalam’ kehidupan
Dapat merasakan hidup nyaman
Lupakan ‘bagian luar’ yang sudah tercemar
Memendamnya dalam diri biar tak lagi keluar
Untuk disterilisasi memahami kebajikan
Dengan cara membuang dendam dan
Menggantikannya dengan kelembutan
/11/
Suciwati berjalan di antara gerimis
Terdengar olehnya ritmik suara titik
Air jatuh di sela-sela keheningan
Yang bergulir lamban
Ia hanyutkan amarah
Kekesalan
Ketidakadilan
Di selokan jaman penuh sampah
Beruntung ia masih memiliki cinta
Yang memayunginya dari tolak bala
Bahkan cintanya menjalar
Ke berbagai akar
Akar kesenjangan sosial
Akar para korban kekerasan
Akar melawan lupa
Supaya tumbuh menjadi batang
Nurani dan akal pikiran tinggi menjulang
Semoga pohon itu terus tumbuh berkembang
Berkuntum bunga
Menyatu dalam naungan cinta
Bak pengantin jiwa sepasang
Tersenyumlah, sebab cinta menginginkan
Itu darimu, dari kita berdua,
Ucap sebuah suara tiba-tiba
Sebuah bayangan
Mendekap erat tubuhnya
Suciwati bergetar hebat
Menggigil sesaat
Tak lama kemudian
Ia pun kembali tegar dengan bias wajah penuh senyuman
***
bumiayu, 20082012
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Hari Pahlawan
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H