Mohon tunggu...
Ronaldo Tengker
Ronaldo Tengker Mohon Tunggu... Penulis - Writer

The Author of: The Unconditional Love (2012), Beautiful Exchange (2013), Everlasting Love (2015), FriendShape (2015), The One I Love (2016), Romeo and Julio (2017), The Unconditional Love 2 (2021), You Only Love Once (soon)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Santa & Claus (Cerpen Natal)

25 Desember 2015   06:32 Diperbarui: 25 Desember 2015   08:16 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SANTA & CLAUS
“Apakah masih ada kebahagiaan untukku di dunia ini?”

Sewaktu aku kecil, aku hanya mengingat beberapa momen-momen tertentu saja dalam hidupku, termasuk ketika kebahagiaan terenggut dari kehidupanku, dari kehidupan kami. Aku hanya mengingat bahwa di setiap malam, sehabis papa pulang dari khotbah di suatu gereja dia selalu membawakan beberapa makanan untukku, kakakku cowok dan untuk mamaku. Dan juga beberapa momen yang lainnya.

Papaku adalah seorang pendeta yang kurang beruntung, dia adalah orang yang baik dan sayang kepada keluarga. Tetapi, apakah itu bisa disebut seorang papa yang sayang akan keluarganya sehingga dia rela melakukan segalanya, termasuk menukar kebahagiaan kami, mama tidak pernah menceritakannya kepadaku, kebahagiaan apa yang telah terenggut dari kami, setelah tumbuh dewasa aku menyadarinya, kebahagiaan apa yang telah terenggut dari kami…

​​​​​​​***

Namaku adalah Claus, Stuart Claus, aku tidak pernah menanyakan arti namaku kepada kedua orangtuaku, aku ingin menanyakannya, tetapi, takdir berkata lain, orangtuaku sudah dipanggil oleh Tuhan sebelum aku sempat menanyakannya, ya, aku yatim piatu.

Sudah lebih dari 6 tahun yang lalu orangtuaku telah meninggal, meninggal karena penyakit, demikian kata dokter, kami orang miskin yang sering sakit-sakitan, tidak pernah makan makanan yang bergizi. Saat ini aku tidak tinggal dengan siapa-siapa, karena seluruh saudaraku membuangku, mereka malu dengan keberadaanku yang miskin dan sakit-sakitan ini, mereka takut tertular dengan ‘penyakit’ miskinku, mereka tidak pernah melihat keadaanku sama sekali. Tidak ada yang mau denganku, tidak ada yang mau dekat-dekat denganku. Aku juga tidak tahu dimana kakakku berada, apakah dia di luar sana masih hidup atau bagaimana nasibnya, aku tidak tahu.

Aku hanya berusaha untuk bertahan hidup dengan menjual koran dari jalan ke jalan. Seperti hari ini, aku mengacungkan tanganku yang tergenggam beberapa nama koran kepada para pengendara yang sedang berhenti di lampu lalu lintas. Beberapa ada yang terjual, aku bisa lega, aku bisa makan hari ini. Aku tidak pernah memikirkan apapun selain bisa makan saja sudah cukup bagiku.

“Koran… koran… koran….” teriakku setiap hari, setiap saat, kepada semua pengendara baik itu mengendarai mobil ataupun sepeda motor.

​“Mas, koran…” teriak salah seorang pengendara mobil yang membuka kaca mobilnya, dengan semangat aku berjalan melangkah menuju orang itu, aku kemudian menyerahkan koran yang dimaksud oleh orang itu, dan dia memberiku uang seratusan ribu rupiah.

“Maaf, mas, apa tidak ada uang kecil?” tanyaku dengan sungkan, aku tidak mungkin menghitung kembalian uang untuk orang itu.

“Ambil saja kembaliannya, saya memberinya kepadamu.” tanya orang itu, dia sepertinya seumuran denganku, cuma saja dia jauh lebih kaya dan jauh lebih bersih dari aku.

“Terima kasih…. terima kasih… terima kasih…” ucapku berulang-ulang sambil menundukkan kepala dalam-dalam kepada cowok itu.

“Tidak usah seperti itu, saya senang membantumu…” ujarnya sambil lalu, dia menutup kaca mobilnya dan segera tancap gas, karena lampu lalu lintas sudah menunjukkan lampu hijaunya.

Mataku berair ketika melihat uang seratus ribuan itu. Aku membauinya, mengusap-usapkan ke pipiku, aku bersyukur kepada Tuhan, karena telah mengirimkan malaikatnya untukku, dan memberiku uang seratus ribu ini. aku bisa makan hari ini, tetapi, aku tidak berpuas begitu saja, ketika lampu merah aku kembali menjajakan koranku, yang tinggal bersisa beberapa saja.

​​​​​​***

 Siang hari sudah datang, panasnya terasa menyengat, membakar kulitku yang kecoklatan, Dengan hati yang bahagia aku memasuki sebuah restoran cepat saji, sudah lama sekali aku tidak memakan ayam goreng yang besar dan enak. Terakhir kali aku memakan ayam goreng, 12 tahun yang lalu, aku sudah lupa bagaimana rasa ayam goreng.
​Dengan bergegas aku segera melihat sekeliling dan berjalan dengn langkah yang cepat menuju tempat pemesanan ayam goreng di restoran cepat saji itu. Aroma gurih ayam goreng sudah tercium olehku, sejak aku memasuki pintu masuk tadi. Aku melihat deretan menu yang ada di meja kasir.

​"Selamat siang, mau pesan apa, mas?” tanya pramusaji restoran dengan ramah, dia melihatku dan memasang senyumnya, senyum terpaksa lebih tepatnya. Karena dia pasti agak jijik melihat penampilanku yang kumal dan dekil itu.

“Saya mau pesan yang Paket Satu, mbak, yang ayamnya ada dua, nasi dan soda…” kataku dengan cepat, lalu aku merogoh saku dan mengambil uang seratus ribuan yang diberi oleh cowok kaya tadi.
​Pramusaji restoran cepat saji itu segera menghitung harganya di meja kasir dan segera menyebutkan nominal harga. Tanpa berpikir panjang aku menyerahkan uang seratus ribuan itu ke pramusaji restoran. Aku menelan ludah, sudah membayangkan ayam goreng yang gurih dan renyah memasuki mulutku, memanjakan lidahku dengan rasanya yang luar biasa enak. Pramusaji restoran segera memberi kembaliannya dan mengucapkan terima kasih kepadaku. Lalu aku menunggu pesananku datang.

Tidak sampai 10 menit, pesanan ayam gorengku sudah tiba, pramusaji restoran yang lainnya menaruhnya di atas piring yang ada di nampan, dan aku segera membawanya, berhati-hati agar tidak jatuh, pandanganku hanya terfokus kepada ayam goreng yang ada di nampanku tanpa memandang jalan yang ada di depanku.

Tanpa aku sadari, ada orang yang berjalan, berlawanan denganku, aku masih asyik melihat ayam gorengku, hingga orang yang berjalan dari depanku, menabrakku, hingga aku terjengkal, ayam goreng, minum dan nasiku berhambur ke lantai restoran, orang yang aku tabrak tadi mengumpat kesal, dia terlihat marah.

“Maaf, saya tidak tahu.” ujarku sembari mengambil ayam gorengku yang jatuh di lantai.

“Jalan itu dilihat pakai mata!” kata orang itu, usianya kira-kira akhir 40-an. Aku meminta maaf sekali lagi. Sepertinya dia tidak terima dengan kelakuanku. Hingga terjadi keributan kecil.

“Ada apa ini?” kata seseorang dari belakangku, dia muncul begitu saja, sedetik kemudian aku mengenali sosok itu.

“Kamu…” ujarku dengan lemah.

“Maaf Pak, teman saya begitu ceroboh, dia membawa tidak melihat jalan, maafkan dia Pak.” katanya sambil menunduk dalam-dalam, orang itu segera pergi, tidak ingin menghabiskan waktu berdebat denganku, karena dia lebih mementingkan urusan perutnya.

“Terima kasih.” ujarku singkat setelah kerumunan orang yang melihati kami tadi sudah buyar. Dia tersenyum padaku.

“Kamu tidak usah berterima kasih. Kamu yang di lampu merah tadi kan?” Dia mengangkat alis sebelahnya, dia menyeret lenganku menuju kursinya, menyeret lembut, tidak ada kekerasan sedikitpun.

“Tapi, ayam gorengku…” Aku melihat ke arah ayam gorengku yang tergeletak di lantai. kotor sama seperti diriku. Tidak lama kemudian ayam goreng yang mengotori lantai sudah dibersihkan oleh bagian kebersihan restoran itu.

“Kamu makan saja ayam gorengku.” dia menyerahkan ayam gorengnya yang sepertinya masih baru dan tidak disentuhnya sama sekali. “Aku belum memakannya secuilpun. Makanlah!” dia menyodorkan nampannya ke hadapanku.

​“Tapi, kamu?” aku merasa bersalah padanya.

“Setiap hari, aku bisa saja memakan ayam goreng itu, kapanpun aku mau, aku yakin, kamu pasti lebih menginginkannya daripada aku.”
​Aku tertunduk lemas. “Terima kasih sekali lagi. Aku sudah merepotkanmu hari ini.”

“Kamu bukan suatu hal yang merepotkanku. Aku senang bisa membantumu…” katanya pelan. “Cuci dulu tanganmu sebelum makan, lalu kembali lagi ke sini.”

​“Siap boss!” aku secepat kilat berlari ke arah wastafel dan mencuci tanganku dengan sabun. Lalu kembali lagi ke tempatku, terlihat dia sedang memainkan ponselnya. “Sebelum tanganku kotor, kenalkan namaku Claus, lebih lengkapnya Stuart Claus.” aku menyodorkan tanganku yang sudah bersih, masih basah di beberapa sisi. Dia meletakkan ponselnya dan membalas jabatan tanganku.

“Aku George Santa, panggil saja aku George…” katanya kemudian, senyum selalu menghiasi wajahnya. Dia begitu menyenangkan.
​“Kalau aku memanggilmu Santa, bagaimana menurutmu?” aku tertawa, lalu memulai memakan makananku.

Dia tertawa lebar, wajahnya ditolehkan ke arah jendela. “Terserah kamu saja. Senang berkenalan denganmu, Claus.” dia menolehkan wajahnya kembali ke arahku yang sedang makan dengan lahapnya.
​Santa adalah cowok yang baik, aku seperti mendapatkan teman hari ini. Tetapi sepertinya dia memiliki strata sosial lebih tinggi dari aku, juga usianya terpaut jauh denganku, mungkin.

“Kamu sendirian? orangtuamu dimana?” tiba-tiba dia bertanya tentang orangtuaku.

“Orangtuaku meninggal 6 tahun yang lalu, mereka meninggal akibat penyakit yang ditimbulkan akibat kemiskinan yang melanda kami. Papaku itu dulu pendeta, tapi, kamu tahu lah, pendeta mana ada yang kaya. Aku dulu juga punya kakak cowok, waktu itu aku masih kecil, aku tidak ingat apa-apa, setelah dewasa aku sadar, dimana kakakku. Aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa, karena kedua orangtuaku sudah meninggal.” AKu meletakkan ayam goreng, menundukkan kepala ketika mengingat-ingat hal itu lagi.

“Kamu sekarang nggak sendiri kok, sudah ada aku, kalau kamu butuh sesuatu aku pasti berusaha memberinya.” kata-kata Santa barusan seperti air es yang menyiarm hatiku yang kering dan panas. Aku terharu, air mata tiba-tiba tergenang di mataku. Cepat-cepat aku mengusapnya dengan punggung telapak tanganku.
​Dia memelukku dari samping, menepuknya perlahan.

​“Lalu kamu?” aku bergantian bertanya kepadanya. Entah kenapa aku bisa seakrab ini dengan orang lain, sebelum-sebelumnya aku tidak pernah mengurusi orang lain. Memangnya orang lain mau mengurusi aku?

“Aku, aku begini, aku keluarga yang bisa dibilang kaya harta, tapi, orangtuaku lebih sibuk untuk mencari uang daripada mengurusku. Memang kebutuhanku terpenuhi semuanya… ya begitulah… hingga aku kesepian, tidak ada seorangpun yang berani mendekatiku, mereka takut karena aku kaya, mereka mengira aku sombong, aku heran apakah orang tidak bisa sekali saja menilai orang lain berdasarkan penampilan luar. Penampilan memang menunjang tetapi bukankah tidak akan seimbang jika hatinya tidak baik?” Santa tertawa, aku juga, memang tidak ada yang lucu, tetapi aku sependapat dengannya. “Ngomongnya jadi ngelantur begini…”

Kami pun tertawa bersama, tidak memerdulikan sekeliling kami. Semenjak saat itu, aku mempunyai teman, memiliki seseorang yang bisa diajak berbicara. Orang lain memang menilai lain, kenapa ada orang miskin bisa berteman dengan orang sekaya Santa? Aku tidak memikirkannya. Aku kembali bahagia, karena aku memiliki teman. Tetapi kebahagiaanku belum sepenuhnya terisi.

​​​​​​***

Berhari-hari setelahnya, aku tidak pernah bertemu dengan Santa lagi, entah kenapa aku merasa kehilangan dirinya. Aku tidak memiliki nomor ponselnya ataupun alamat rumahnya. Aku merasa hari-hariku berjalan biasa-biasa saja. Sebenarnya aku tidak tergantung padanya, tetapi, aku membutuhkannya sebagai teman. Aku merasa bahagia jika dia berada di sisiku. Tetapi, saat ini dia tidak ada di sisiku.

Seperti biasanya, hari ini aku berjualan koran di jalan raya, setiap mobil atau sepeda motor yang berhenti di lampu lalu lintas. Aku berharap salah satu dari mobil yang berhenti disitu adalah mobil milik Santa.

Tetapi sepertinya harapanku tidak terkabul hari itu. Tidak saat hari itu saja aku telah berharap bahwa aku akan bertemu dengannya.
​Lampu lalu lintas kembali menunjukkan warna hijau menyalanya, semua kendaraan yang tadinya berhenti di lampu merah kini berjalan, membelah jalan raya yang saat itu tidak sepi juga tidak ramai. Aku terduduk di salah satu trotoar panas, pantatku sudah terbiasa dengan rasa panas yang menjalar di permukaannya. Aku memandang bebatuan yang ada di bawahku.

“Claus… Claus…” tiba-tiba saja ada yang memanggilku. Aku mendongak, melihat siapa yang memanggilku, rupanya Jen, dia adalah pengamen di sekitar sini. AKu menyatukan alis ketika melihat wajahnya yang terlihat gusar.

“Ada apa?” tanyaku penasaran, aku bangkit berdiri, kini Jen berada di hadapanku.

“Ada mobil yang ditabrak truk di sana… di sana… lihat yuk… Aku baru dibilang teman-teman sih… “ Jen menyeretku tanpa menunggu keputusanku untuk melihatnya atau tidak. lampu kini sudah berubah merah. aku hendak melepaskan cengkeraman tangan Jen, tapi cengkeraman tangannya lebih kuat. Aku pun pasrah.

Aku berlari beriringan dengan Jen, tanganku masih dicengkeramnya, berlari di pinggir jalan lalu menyeberanginya. Aku menyipitkan mata, melihat sebuah mobil mewah yang belum hancur sepenuhnya, hanya bagian depannya saja sedang diderek ke atas mobil derek. Aku segera mengenali mobil itu… jantung serasa berhenti berdetak Santa.. Aku menghentikan langkahku ketika melihat seseorang digotong dan diletakkan di atas trotoar yang beralaskan daun. AKu melihat wajah Santa yang berlumuran darah, tangisku berhambur ketika aku melihat sosoknya. Aku berlari menghampirinya.

“Santa… Santa…” Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya, sedetik kemudian aku memeriksa nadinya. Masih ada. “Seseorang panggil ambulans! Cepat!” aku berteriak kepada kerumunan orang yang hanya melihat kejadian itu tanpa ada yang memanggilnya.

“Polisi dan ambulans segera datang, kami sudah meneleponnya.” Ujar seorang ibu yang berada di kerumunan orang. Aku tidak membalas perkataan ibu itu, aku menangis, melihat wajah Santa dan tubuhnya yang berlumuran darah.

Tak berapa lama ambulans datang, dengan cepat petugasnya segera menggotong tubuh Santa memasuki ambulans, aku juga ikut masuk ke dalamnya.

Aku tidak ingin dia mati, aku tidak ingin kebahagiaanku terenggut lagi.

​​​​​​***

Sesampainya di rumah sakit para dokter dan suster segera berlarian menolong Santa, aku tidak diperbolehkan dokter untuk masuk ke ruang gawat darurat. Suster yang lainnya memberiku dompet milik Santa.

Aku berjalan menuju bagian administrasi untuk mendaftarkan nama Santa, George Santa sekaligus untuk meminjam teleponnya. AKu hendak menelepon keluarganya. Di dompet milik Santa terdapat kartu nama miliknya dan beberapa nomor telepon yang bisa dihubungi.

“Halo,” kataku begitu telepon terhubung. AKu mendengarkan suara di seberang. “Maaf, ini adalah teman dari George Santa, iya, dia saat ini sedang berada di Rumah Sakit Bakti Kasih. Iya, terima kasih kembali.” Aku tidak bisa berbicara panjang lebar, sepertinya yang barusan aku telepon tadi adalah mama dari Santa. Aku berjalan gontai menuju ruang tunggu, menunggu kepastian dari dokter tentang nasib dari Santa. “Kenapa kamu bisa menemuiku dengan keadaan seperti ini, Santa? Apakah tidak ada cara lain yang lebih baik dari ini?” Aku mengusap air mata. Sudah berapa air mata yang berjatuhan membasahi pipiku, aku tidak tahu.

“Keluarga saudara George Santa…” Suster memanggil dengan keras, Aku mendengarnya dengan jelas, aku segera berlarian menuju ruang gawat darurat, menghampiri suster yang menyebutkan nama George Santa.

“Saya Sus…” ujarku dengan jantung yang berdetak kencang. “Bagaimana keadaannya?”

"Dia dalam kondisi gawat, dia kehabisan darah, apakah Anda bisa mencarikan seseorang dengan golongan darah A Rhesus negatif? Di rumah sakit ini stok darah itu cuma sedikit.” Suster memandangku dengan rasa penuh kekhawatiran.

“Coba saya Sus, saya bersedia memberikan darahku, apapun, yang penting Santa bisa terselamatkan…” Aku menangis di hadapan suster, tidak perduli apa yang orang lain katakan.

“Tapi, apakah Anda golongan darah A rhesus negatif?” tanya suster lagi.

“Setahu saya, saya golongan darah A tetapi tidak tahu rhesusnya…” kataku dengan jujur. Aku memang tidak tahu rhesusku apa.

“Baiklah, kami akan melakukan pemeriksaan darah milik Anda, jika bersih dan rhesus negatif maka akan kami donorkan…” Tanpa banyak tanya lagi suster segera membawaku masuk ke bagian pemeriksaan darah.

​Setelah diperiksa, aku hanya duduk terdiam lagi, lagi dan lagi.

“Tuan Stuart Claus….” teriak suster lagi, aku segera berjalan menghampirinya.

“Syukurlah, darah Anda A rhesus negatif, dan juga sehat, biasanya kami sangat amat kesulitan mencari rhesus darah negatif, apakah Anda siap mendonorkan darah milik Anda…?” tanya suster lagi. Suster ini tidak tahu betapa aku tidak sabaran, aku mengangguk dengan cepat. Aku pun bersedia mendonorkan darahku untuk Santa.

​​​​​​***

“Maaf kami datang terlambat, bagaimana nasib Santa?” tanya pria yang kira-kira berumur 50an itu, beserta istrinya di sampingnya. AKu menduga bahwa mereka adalah orangtua Santa.

“Semuanya sudah terkendali, Om, Tante, Santa tadinya berada di kondisi yang sekarat, kekurangan darah, tetapi, syukur Puji Tuhan, saya memilikinya sehingga saya bisa mendonorkan kepada anak om dan tante.” Aku melihat ekspresi mereka berdua yang bersedih, sangat sedih ketika mendengar ceritaku.

“Maaf, sudah merepotkanmu, terima kasih banyak atas bantuanmu siapa namamu, nak?” tanya mama Santa.

"Saya Stuart Claus, tante, om.” aku menyodorkan tanganku. mereka membalas jabatan tanganku tanpa merasa jijik. Kemudian mereka duduk di sebelahku, menghembuskan nafas pelan.

“Sebenarnya Santa bukanlah anak kandung kami.” jantungku merasa berhenti ketika Papa Santa berbicara demikian. “Dia anak yang pemuruh dan pendiam, tidak ada teman.”

“Maaf, kalau saya mencampuri urusan om dan tante, ataupun keluarga om dan tante. Maksud, Om apa? maksudnya Santa bukan anak kandung Anda?” tanyaku dengan tergagap.

“Begini, sewaktu dulu ketika Santa berumur 6 tahun, ada seorang pendeta dan istrinya datang ke rumah kami, aku dan pendeta itu sudah cukup dekat, aku memberinya rumah dan mengobatkan istrinya. Entah kenapa, malam itu mereka datang ke tempat kami dan hendak memberikan anaknya, sebagai balasan kepada kami. Memang waktu itu kami sedang merindukan kehadiran seorang anak dalam keluarga kami. tetapi kami tidak pernah memaksa pendeta itu untuk memberikan anaknya. Dia sendiri yang memberikannya kepadaku sebagai balas jasanya karena kami telah menolong kehidupan keluarganya… Kalau tidak salah Bapak Kenneth, panggilannya Ken” Papa Santa bercerita. Air mataku kemudian jatuh satu persatu ketika mendengar ceritanya.

“Santa…” hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. “Pak Kenneth…”

​“Iya, Pak Kenneth…” balas mama Santa.

“Itu papa saya, Om.” Aku terbata-bata, air mata masih jatuh menelusuri pipiku, tidak bisa diungkapkan lagi bagaimana perasaanku saat ini, apakah bahagia atau bersedih karena sudah bertemu dengan kakakku, jadi Santa adalah kakakku.

“J-jadi… Pak Kenneth itu adalah papamu?” mereka berdua melonjak ketika mengetahuinya. Aku yang sedang menunduk itu mengangguk dengan bersemangat.

“Dia dan mama saya sudah meninggal 6 tahun yang lalu, om. dia tidak pernah bercerita kepadaku kemana kakakku pergi.” Aku menunduk, air mataku keluar lebih banyak. Aku menangis tersedu.

​“Maafkan Om, Nak, Om tidak bermaksud mengambil kakakmu, tetapi papamu yang memberikannya kepada kami, kami minta maaf…” Tubuh papa Santa yang besar dan kokoh itu memeluk tubuhku yang sedang menangis tersedu.

“Saya sudah tidak memiliki siapapun di dunia ini, tidak ada yang mendekat kepadaku, karena mereka takut pada kemiskinanku, aku tidak punya apa-apa, aku hanyalah loper koran.” Aku menangis tersedu, sudah lama aku tidak merasakan pelukan seorang pria dewasa, aku merindukan papaku.

​“Kamu tidak usah berbicara seperti itu… masih ada kami, kalau kamu mau, kamu bisa tinggal dengan kami.” ujar papa Santa, aku hanya terdiam.

“Iya, Nak, kamu bisa tinggal dengan kami, sekarang kami adalah keluarga barumu.” ujar mama Santa.

“Tapi, apakah kalian tidak malu memiliki anak angkat sepertiku yang dulunya loper koran miskin?” tanyaku dengan jelas.

​“Apakah Tuhan Yesus pernah memandang seluruh jabatan dan tingkatan manusia? Apakah dia memberikan Kasih-Nya dengan memandang-mandang siapa kita? Apakah kebahagiaan diukur dengan kekayaan?” Papa Santa mengelap air mataku yang berjatuhan tidak berhenti saat itu.

Aku menggeleng. Kemudian mama Santa memelukku.

“Maafkan kami ya, Nak,” ujar mama Santa, dia seakan berdosa.

“Iya tante, saya memaafkan tante dan om…” Aku hanya bisa berkata-kata seperti itu di tengah tangisanku.

“Jangan panggil kami tante dan om… kamu boleh memanggil papa dan mama mulai dari sekarang.” Aku tenggelam dalam pelukan papa dan mamaku yang baru. Aku bersyukur, akhirnya doaku terjawab sekarang, meskipun aku harus menunggu selama bertahun-tahun, menunggu keajaiban yang Tuhan kepadaku.

​​​​​​***

Perlu waktu berhari-hari untuk proses penyembuhan Santa. Aku yang kini berpindah dari rumah kumuh ke rumah mewah milik orangtua baruku. Seluruh orang yang dulu pernah menghina dan menyakitiku, diberikan sumbangan oleh papaku, dia memberi mereka uang untuk hidup. Mereka kaget, mereka meminta maaf kepadaku, karena dulu pernah menghinaku.

Aku selalu memaafkan orang yang telah menyakitiku, aku hanya berdoa agar Tuhan tidak membalasnya, karena orang yang menyakitiku tidak tahu apa yang mereka perbuat kepadaku. Bukankah lebih membahagiakan kalau kita bisa mengasihi musuh-musuh kita, orang -orang yang membenci kita? Bukankah Tuhan sudah mengajarkan agar kita mengasihi musuh-musuh kita, meskipun itu berat? Aku belajar untuk memaafkan dan mengampuni mereka.

Hari ini, Santa sudah diperbolehkan pulang, aku, papa dan mama menjemputnya. Dia terlihat sehat-sehat saja setelah 4 minggu berada di rumah sakit.

“Santa,” Aku memeluknya lalu menangis tersedu dipelukannya.

​“Claus…” dia juga menangis. “Terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku, mungkin tanpamu aku sudah meninggal… aku berterima kasih kepada Tuhan.” Santa menangis tersedu. Aku memeluknya yang sedang terduduk di kursi roda. “Aku bersyukur bertemu denganmu, adikku.”

Aku tersentak kaget ketika mendengar Santa menyebutkan kata adik untukku.

“Kamu sudah tahu?” aku melepaskan pelukannya, melihat wajahnya yang masih dibalut perban di daerah kepala dan dia mengangguk pelan.

“Papa dan mama memberitahuku, mereka sudah menceritakan semuanya, Claus.”

“Kami sudah menceritakan semuanya, Claus.” papa berjongkok mengusap punggungku dengan perlahan. “Yuk, pulang, nanti malam kita ke gereja, karena nanti malam sudah Malam Natal.”
​Aku segera berdiri, mendorong kursi roda milik Santa. “Ayo, pa, ma, Santa, nanti malam kita ke gereja bareng yaa…” uajrku bersemangat, melihat wajah mereka penuh dengan harapan dan kebahagiaan.

“Iyaaa…” Santa, papa dan mama membalas perkataanku hampir bersamaan. Kami berjalan meninggalkan rumah sakit, meninggalkan apa yang sudah terlalui, meninggalkan semuanya, kami tidak akan menoleh lagi, aku bersyukur kepada Tuhan, sepertinya dia masih mengizinkanku untuk berbahagia sekali lagi.

Selesai

 

Merry Christmas Everyone!

God bless you

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun