“Aku George Santa, panggil saja aku George…” katanya kemudian, senyum selalu menghiasi wajahnya. Dia begitu menyenangkan.
“Kalau aku memanggilmu Santa, bagaimana menurutmu?” aku tertawa, lalu memulai memakan makananku.
Dia tertawa lebar, wajahnya ditolehkan ke arah jendela. “Terserah kamu saja. Senang berkenalan denganmu, Claus.” dia menolehkan wajahnya kembali ke arahku yang sedang makan dengan lahapnya.
Santa adalah cowok yang baik, aku seperti mendapatkan teman hari ini. Tetapi sepertinya dia memiliki strata sosial lebih tinggi dari aku, juga usianya terpaut jauh denganku, mungkin.
“Kamu sendirian? orangtuamu dimana?” tiba-tiba dia bertanya tentang orangtuaku.
“Orangtuaku meninggal 6 tahun yang lalu, mereka meninggal akibat penyakit yang ditimbulkan akibat kemiskinan yang melanda kami. Papaku itu dulu pendeta, tapi, kamu tahu lah, pendeta mana ada yang kaya. Aku dulu juga punya kakak cowok, waktu itu aku masih kecil, aku tidak ingat apa-apa, setelah dewasa aku sadar, dimana kakakku. Aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa, karena kedua orangtuaku sudah meninggal.” AKu meletakkan ayam goreng, menundukkan kepala ketika mengingat-ingat hal itu lagi.
“Kamu sekarang nggak sendiri kok, sudah ada aku, kalau kamu butuh sesuatu aku pasti berusaha memberinya.” kata-kata Santa barusan seperti air es yang menyiarm hatiku yang kering dan panas. Aku terharu, air mata tiba-tiba tergenang di mataku. Cepat-cepat aku mengusapnya dengan punggung telapak tanganku.
Dia memelukku dari samping, menepuknya perlahan.
“Lalu kamu?” aku bergantian bertanya kepadanya. Entah kenapa aku bisa seakrab ini dengan orang lain, sebelum-sebelumnya aku tidak pernah mengurusi orang lain. Memangnya orang lain mau mengurusi aku?
“Aku, aku begini, aku keluarga yang bisa dibilang kaya harta, tapi, orangtuaku lebih sibuk untuk mencari uang daripada mengurusku. Memang kebutuhanku terpenuhi semuanya… ya begitulah… hingga aku kesepian, tidak ada seorangpun yang berani mendekatiku, mereka takut karena aku kaya, mereka mengira aku sombong, aku heran apakah orang tidak bisa sekali saja menilai orang lain berdasarkan penampilan luar. Penampilan memang menunjang tetapi bukankah tidak akan seimbang jika hatinya tidak baik?” Santa tertawa, aku juga, memang tidak ada yang lucu, tetapi aku sependapat dengannya. “Ngomongnya jadi ngelantur begini…”
Kami pun tertawa bersama, tidak memerdulikan sekeliling kami. Semenjak saat itu, aku mempunyai teman, memiliki seseorang yang bisa diajak berbicara. Orang lain memang menilai lain, kenapa ada orang miskin bisa berteman dengan orang sekaya Santa? Aku tidak memikirkannya. Aku kembali bahagia, karena aku memiliki teman. Tetapi kebahagiaanku belum sepenuhnya terisi.
***
Berhari-hari setelahnya, aku tidak pernah bertemu dengan Santa lagi, entah kenapa aku merasa kehilangan dirinya. Aku tidak memiliki nomor ponselnya ataupun alamat rumahnya. Aku merasa hari-hariku berjalan biasa-biasa saja. Sebenarnya aku tidak tergantung padanya, tetapi, aku membutuhkannya sebagai teman. Aku merasa bahagia jika dia berada di sisiku. Tetapi, saat ini dia tidak ada di sisiku.
Seperti biasanya, hari ini aku berjualan koran di jalan raya, setiap mobil atau sepeda motor yang berhenti di lampu lalu lintas. Aku berharap salah satu dari mobil yang berhenti disitu adalah mobil milik Santa.