“Itu papa saya, Om.” Aku terbata-bata, air mata masih jatuh menelusuri pipiku, tidak bisa diungkapkan lagi bagaimana perasaanku saat ini, apakah bahagia atau bersedih karena sudah bertemu dengan kakakku, jadi Santa adalah kakakku.
“J-jadi… Pak Kenneth itu adalah papamu?” mereka berdua melonjak ketika mengetahuinya. Aku yang sedang menunduk itu mengangguk dengan bersemangat.
“Dia dan mama saya sudah meninggal 6 tahun yang lalu, om. dia tidak pernah bercerita kepadaku kemana kakakku pergi.” Aku menunduk, air mataku keluar lebih banyak. Aku menangis tersedu.
“Maafkan Om, Nak, Om tidak bermaksud mengambil kakakmu, tetapi papamu yang memberikannya kepada kami, kami minta maaf…” Tubuh papa Santa yang besar dan kokoh itu memeluk tubuhku yang sedang menangis tersedu.
“Saya sudah tidak memiliki siapapun di dunia ini, tidak ada yang mendekat kepadaku, karena mereka takut pada kemiskinanku, aku tidak punya apa-apa, aku hanyalah loper koran.” Aku menangis tersedu, sudah lama aku tidak merasakan pelukan seorang pria dewasa, aku merindukan papaku.
“Kamu tidak usah berbicara seperti itu… masih ada kami, kalau kamu mau, kamu bisa tinggal dengan kami.” ujar papa Santa, aku hanya terdiam.
“Iya, Nak, kamu bisa tinggal dengan kami, sekarang kami adalah keluarga barumu.” ujar mama Santa.
“Tapi, apakah kalian tidak malu memiliki anak angkat sepertiku yang dulunya loper koran miskin?” tanyaku dengan jelas.
“Apakah Tuhan Yesus pernah memandang seluruh jabatan dan tingkatan manusia? Apakah dia memberikan Kasih-Nya dengan memandang-mandang siapa kita? Apakah kebahagiaan diukur dengan kekayaan?” Papa Santa mengelap air mataku yang berjatuhan tidak berhenti saat itu.
Aku menggeleng. Kemudian mama Santa memelukku.
“Maafkan kami ya, Nak,” ujar mama Santa, dia seakan berdosa.