Tidak heran, istri Sobrah selalu menampilkan muka mbesengut setiap kali kami berkunjung. Aku malu. Penebusannya dengan cara membayar apa yang aku makan dilain waktu, lewat Sobrah tentunya.
Akhirnya aku memutuskan merantau kembali. Menjauhi Kopat, menutup hubungan dengan segala hal berbau kampung sebagai dampak tercemarnya reputasiku oleh kelakuannya.
***
"Untung Husin sudah minggat". Kopat menggosok-gosok telapak tangannya. Ada rona kebahagiaan pada kalimat yang ia ucapkan. "Berkali-kali aku disudutkan". Gigi Kopat mengunyah mentimun berpadu sambal matah. Butiran keringat bertimbulan dilingkar kepalanya. "Dia pinjam duit kamu, berapa? Brah".
Yang ditanya hanya tersenyum kecut. Sedang isterinya mbesengut sambil ngulek sambal.
Tanpa aku ketahui, ternyata Kopat telah lama menjelma menjadi Sengkuni. Mulutnya berbisa. Pantas saja, segala titahnya di amini. Hebat kamu, bangsat!.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H