"O....begitu ya? Kapan ketemu Netty", tanyaku pura-pura bodoh. Rahangku berkedut.
"Dua hari yang lalu. Lewat Whatsapp". Hakim Roda Emas ini mengumbar kebohongan masif. Seutas senyum masih sempat ia selipkan. "Netty memang baik. Beruntung kamu punya adik seperti dia"
Ndasmu!, batinku. Netty sudah aku beritahu kronologis hal ihwal pinjaman itu. Ia malah terbahak-bahak. "Kopat pemain watak paling brillian", ujar Netty. Sisa tawanya tertutup tangan.
Apakah aku bongkar kelicikannya sekarang? Kelakuannya sungguh mengganggu. Tapi aku tidak tega. Wajah cembungnya menyiratkan belas kasihan. Itulah titik lemahmu yang dimanfaatkan Kopat. Kamu tipe nggak tegaan.
Kopat itu lamis. Banyak warga kampung bebal sehingga mudah terbuai. Retorikanya empuk, mampu mengecoh siapapun. Tapi tidak buatku dan.... Sobrah.
"Kabar Kopat bagaimana, Sin?". Aku bertemu Sobrah di pasar Notohardjo. Dia usai mengambil ayam potong pada langganannya. Tumpukan daging menumpuk dibelakang bak mobil dalam kabinet plastik.
"Ya begitulah". Aku ceritakan segala yang pernah menimpaku selama berhubungan dengan Kopat. "Sabar saja", kata Sobrah. Dari dia aku kian yakin kalau Kopat manusia terkutuk.
"Sampaikan salamku pada istrimu. Dan mohon katakan, kalau kelakuan Kopat tidak ada hubungannya denganku", kataku.
"Istriku paham. Sudah aku beritahu. Tenang saja", kata Sobrah.
Jadi begini, beberapa kali aku diajak ke warungnya Sobrah, ternyata Kopat memanfaatkan pertemanan guna manipulasi alias tidak bayar.
"Sobrah kawanku paling kental, mbak. Dulu satu kerjaan di usaha sablon kaos". Dari bilik warung, percakapan itu menyentil telingaku. Kopat mencoba melakukan intimidasi. "Sobrah nggak akan mempermasalahkan. Percaya deh".