Banyak orang menganggap, kalau kerja ditoko Nyonya Hun pasti kenyang akan jejalan macam roti. Padahal salah. Kalau mau mencicipi ya harus beli. Tapi Kopat berhasil menjalin  konspirasi dengan salah satu chef: bagaimana caranya agar bisa mencicipi roti racikan si nyonya galak tanpa mengeluarkan uang, tanpa diketahui serta tidak menimbulkan kegaduhan?Â
Sungguh berat, karena CCTV terpasang dibeberapa sudut dengan posisi licik, mampu menjungkir balikkan kelakuan para maling. Selain itu, takaran yang diolah sudah dihitung secara njelimet, berapa roti yang akan dihasilkan dari satu karung tepung terigu. Jadi, Nyonya Hun sudah kawakan kalau masalah beginian. Dia tidak bisa dikadali. Benarkah?
"Kami cuil sedikit demi sedikit dari tiap adonan yang akan dijadikan roti. Sampai terkumpul menjadi segenggam", kata Kopat. "Keluar dari oven, dilentingkan pada wadah khusus yang telah kami samarkan. Dari situlah  kami mencicipi kelezatan roti tersebut", ungkapnya tertawa bangga. "Kamar mandi tempat paling aman untuk mengunyah jarahan".
Tapi, sebuah tindakan gegabah menjadikan Kopat di maki habis-habisan oleh Nyonya Hun. Dia tepergok menjumput tepung, kemudian diterbangkan mirip penari balet. Hukuman membersihkan toilet harus diterima Kopat. Tapi tindakan itu justru menjadi prahara bagi Nyonya Hun. Dia sakit keras. Mulutnya membusuk sampai harus dilarikan ke rumah sakit.
"Sikat giginya aku jadikan untuk menggosok toilet", kata Kopat tanpa rasa bersalah. "Dia tidak tahu kalau kuman-kuman dari pemakai toilet menggasak mulutnya. Itu aku lakukan berkali-kali". Ceritanya membuat aku merinding membayangkan sikat gigi itu. Kopat memang bajingan tengik.
Tapi Tuhan Maha Adil, beberapa waktu kemudian Kopat menderita sakit parah, sampai masuk IGD. Teman-temannya urunan untuk meringankan beban sebagai bentuk solidaritas. Menurut keluarganya, lambung serta paru-parunya digerogoti kuman paling ganas. Dari foto yang tersebar, terlihat kondisi Kopat sungguh mengenaskan.Â
Tubuhnya kurus kering tinggal kulit, mirip jerangkong. Wajahnya hitam mengerak, terlihat tua. Pipinya cekung, bawah mata tersapu garis pekat mirip penghuni kamp konsentrasi Auschwitz.Â
Dampak obat-obatan yang diinjeksikan merusak jaringan kulit. Timbul bercak-bercak hitam sebesar kacang tholo disekujur tubuh, terutama wajah. Butuh keajaiban agar Kopat sembuh. Bahkan rumornya, dia sudah pasrah. Ia merasa malaikat pencabut nyawa nongkrong dikepalanya.
"Karma berbicara. Kelakuanmu pada Nyonya Hun dibalas", batinku trenyuh.
Ternyata Tuhan memberi kesempatan kedua. Penyakitnya terangkat, tubuhnya bugar seperti semula. Tapi sayang, otaknya jadi terbalik. Perilakunya aneh serta membingungkan: kalau ngomong pahpoh-tak mikir apa akibat bagi diri serta orang lain, janggal, hingga memalukan.Â
Seperti masalah pinjaman pada Netty. Tanpa pakewuh dan menampilkan kepercayaan diri setangguh gunung batu, dia ngomong, "Sin, Netty bilang, kalau uangnya tidak usah dikembalikan". Aku melongo. Darahku mendidih. Manusia terkutuk ini memang layak digampar.