Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku, Hud Hud, dan MALAIKAT

23 Juni 2018   15:55 Diperbarui: 23 Juni 2018   16:06 1120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah pagi menyambutku dengan bersenandung. Hiruk pikuk meretas ditempat aku berdiam. Lalu-lalang kesibukan pagi merupakan repetisi dari masa lalu. Tempat aku bersama kerabatku ini merupakan kediaman baru. Sebelumnya kami bertempat tidak jauh dari sini, kampung sebelah. Tempatnya nyaman, bersih, sejuk. Dikarenakan leluhurku beranak pinak dan sangat subur maka kami pindah. Dulu, menurut cerita, beberapa kerabat sering berserakan disembarang tempat. Keadaanlah yang bercerita. Penuh sesak beraroma pengap. Kami bersyukur akhirnya Allah swt melimpahi anugerah.

Depan tempat tinggalku alun-alun. Ditengahnya ada pohon beringin kembar besar dengan dedaunan yang rindang. Pagar besi mengitari bak benteng pertahanan. Masyarakat menyebutnya beringin kurung. Rendezvous sering nampak. Beberapa manusia menjadikannya tempat bersantai.

Pagi atau sore alun-alun ramai. Tingkah polah manusia riuh rendah berjumpalitan. Aku memandangi setiap gambarannya.

"Kyai, makanannya sudah siap". Kalimat ini menari ditelingaku bila ransum disodorkan. Keluar dari mulut pengasuhku. Aku perennial vegetarian. Apa yang terhidang ku sikat lahap. Aku tidak pilih-pilih. Masih beruntung bisa makan. Diluar lingkaran, banyak yang tidak seberuntung seperti kami. Kerap kali keluh kesah tetangga beterbangan menyatroni. Aku hanya bisa meringis diterjang tangisan anak-anak mereka bergulat dengan perih diperut. Hatiku sebenarnya seperih perut mereka. Tapi apa daya? Ransum ini sebatas untukku.

"Makhluk yang selalu beruntung dan diistimewakan".

Aku kaget. Ada suara tanpa bentuk. Mulutku berhenti mengunyah. Oh, ternyata....

"Aku Hud-hud"

Itu ucapnya ketika kali pertama mengenalkan diri. Sudah hampir setahun ia mengagendakan silaturahim kepadaku. Kami menjadi akrab. Hubungan mutualis ini sebuah takdir Illahi.  

Hud-hud, burung berbulu putih dengan sapuan coklat dibeberapa lekuk bulunya. Kemunculannya transeden, hadir tiba-tiba laksana asap tembakau terbakar. Tahu-tahu hinggap dipunggungku tanpa aku rasakan gigitan kukunya.

Dari paruh lancip-sering membuat buyar kerumunan kutu dibadanku-keluar kilatan-kilatan cerita berkelindan: Hud-hud sudah tidak bertuan lagi dibumi. Sebelumnya-setelah bertahun-tahun-mengabdi pada baginda Sulaiman. Setiap datang ia membawa serumpun kisah. Namun sayang, jangan harap ceritanya panjang. Sepertinya episode-episode diatur olehnya. Ia telah mengembara menembus tabir-tabir zaman. Kepak sayapnya membelah sejarah, meruap tragedi, membekap pencerahan terjalin jadi satu cerita menarik. Hud-hud ibarat lembar-lembar inskripsi. Otakku dijejali ayat-ayat pribadi.

"Manusia dari jaman baginda Sulaiman hingga sekarang hakikatnya sama. Sejarah mereka dikucuri fragmen-fragmen konspirasi ambisi".

Aku mendiam. Kebiasaan ini aku genggam. Hud-hud terus mengumbar cerita sembari mematuki punggungku. Irama benturan paruh dengan kulit menciptakan bunyi alami.

"Baginda Sulaiman adalah raja yang bijak. Sangat dicintai makhluk yang berdiam diwilayahnya. Dari jin, manusia hingga cindil(anak tikus)di ayomi, diperlakukan sebagaimana hakikatnya. Ia imparsial. Ini menimbulkan rasa hormat serta cinta pada baginda. Impresiv. Kerajaannya sungguh makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.

Tapi sayang, makhluk satu yang bernama manusia memang kadang tak tahu balas budi. Penuh nafsu angkara, jahat, serakah, manipulatif".

"Masa?". Aku menyanggah. "Pengasuhku manusia baik"

"Kyai belum tahu saja. Nanti suatu saat akan tahu macam apa pengasuhmu itu".

Nafasku tertahan beberapa detik. Kalimat terakhir seperti gelombang panas menghantam nurani. Sesak.

"Kebijakan yang yang diterapkan baginda ternyata belum cukup memuaskan hasrat manusia. Sekelompok diantara rakyatnya berhasil diprovokasi jin ifrit untuk menggulingkan tahtanya. Ketika beliau gencar-gencarnya mencurahkan perhatian pada pembangunan kawasan pinggir, kelompok tadi-terdiri dari golongan hedonis, picaroon, beberapa elit kabinet-melakukan konspirasi. Agitasi diledakkan dikerumunan rakyat agar terjadi perpecahan dan ketidaknyamanan. Hingga pecahlah coup d'etat. Huru-hara melimpah menyeruak, mengharubiru. Endemik kebingungan menggerogoti hati rakyat. Sabda beliau sudah tidak didengar lagi"

Hud-hud bercerita dengan mimik sedih.

"Usia uzur membuka jalan bagi sayap pemberontak menyingkirkan beliau dari singgasana. Badai pemberontakan batas akhir beliau memimpin kerajaannya. Aku melihat dengan jelas detik-detik peristiwa itu. Baginda terjungkal dan meninggal dunia"

"Stop!". Aku berteriak lantang hingga pengasuhku njondil(kaget)

"Wah..wah..kamu ngaco luar biasa! He! Apa dikira aku tidak paham kisah itu?

Semburanku membuat Hud-hud tersudut. Aku diatas angin.

"Ustad yang ada dimasjid sebelah-dengan sound di stel full-pernah dalam pengajian mingguan cerita kalau baginda Sulaiman meninggal ketika mengawasi pembangunan sebuah menara. Para pekerja yang konsentrasi pada pekerjaannya tidak menyadari bahwa beliau sudah dipanggil Kekasihnya, Allah swt, lewat malaikat Izroil. Tongkatnya digerogoti rayap dan beliau tersungkur dari tahtanya. Itu yang benar! Jadi tidak ada namanya...apa itu tadi? Kuldesak?"

"Coup d'etat", koreksi hud-hud.

"Ya itu!", balasku ngotot

"Kyai, dalam Al-Qur'an ada ayat-ayat qath'i(jelas) tapi ada juga ayat-ayat yang zhanni(samar). Tongkat yang dimaksud hakikatnya adalah kekuasaan baginda,sedangkan rayap itu merupakan perwujudan dari kaum pemberontak. Kyai jangan mentah-mentah menelan keterangan ustad itu. Bisa jadi ia jenis ustad lugu, skripturalis, saklek. Hanya melihat yang tersurat. Padahal kedalaman setiap ayat perlu digali, diresapi, dimaknai, dihayati. Itu menandakan...."

"Ustad itu bodoh! Itukan yang akan kowe ucapkan?" . aku dongkol, sahabatku ini lama-lama ngelantur. Jiwanya seperti terbelah.

"Kyai..."

"Sudah! Jangan diperpanjang lagi diskursus ini"

Hud-hud terbang ketika badanku aku goyang. "Lama-lama ocehanmu membabi-buta. Aku sangsi!"

Hud-hud hinggap ditanah. Ia berjalan sambil mematuki remahan sisa makananku. Letupan kemarahanku masih membara. Aku lupa dengan statemenku tadi, peluru kalimatku terus kusodokkan.

"Dulu kamu juga ngomong kalau Allah swt menyuruhmu membuat sarang didekat mulut gua Tsur guna membantu rasulullah Muhammad saw bersama Abu Bakar menyembunyikan diri dari kejaran orang-orang Qurasy. Apa benar itu? Mokal! Tidak mungkin!"

"Itu realitas kyai", ucap hud-hud meyakinkanku. "Aku perwujudan merpati yang bersarang dicelah-celah batu bersama pasanganku. Berkat Allah swt pasanganku bertelur. Kami saksi hidup bersama laba-laba dengan tebaran jaring menutup mulut gua".

Hud-hud terbang pindah hinggap dipagar besi. Semakin siang perbincangan kami kian mendalam. Panas matahari dengan tiupan angin selatan memenuhi tanah lapang. Orang-orang menyelamatkan diri dengan beteduh dibawah beringin kurung. Pengasuhku leyeh-leyeh meletakkan badan dikursi panjang.

Sebuah mobil berhenti. Keluarlah pria setengah baya bersama sopirnya membawa bingkisan sekarung jagung dan kangkung segar.

"Pengikutmu datang, kyai". Hud-hud hinggap dipunggungku. Aku menyambut mereka. Mereka menyodorkan hasil hasil bumi. Dengan nikmat aku santap pemberiannya. Siang itu memaksa aku lahap.

"Kultus individu. Manusia telah me-tuhan-kanmu kyai. Itu syirik". Hud-hud tidak mampu mengendalikan ocehannya. Nafsu makanku tereduksi. Bagai parang menyayat hati.

"Bukan salahku"

"Tapi kyai menikmati", sindirnya.

Ocehannya tajam. Aku menjauhi hidangan. Gerakanku yang tiba-tiba mengagetkan hud-hud hingga ia kelabakan terbang kebingungan.

"Sepertinya kyai Slamet sudah kenyang bos"

"Ia kayaknya". Pria itu memanggil pengasuhku. Terjadi pembicaraan. Pria itu mengeluarkan dompet. Keluarlah lembar-lembar puluhan ribu dan berpindahtangan ke pengasuhku. Tak lama kedua pria itu pergi meninggalkan deru. Pengasuhku tersenyum menang.

"Senyum artifisial", oceh hud-hud. Ia sekali lagi mencoba hinggap ke punggungku. Tapi dengan kasar aku menolak.

"Jaman semakin modern tapi kesyirikan masih mengental".

Hud-hud kebingungan mau hinggap dimana. Kepak sayapnya berhenti pada tumpukan barang dipinggir kandang. Pengasuhku terganggu, "Burung stres!" . Ia mengusirnya sebelum langkahnya menuju warung angkringan.

"Kyai, kerabatmu nun jauh disana juga pernah dimanfaatkan manusia. Terakhir diajak demontrasi"

Aku merebahkan diri ketanah. Hud-hud mendekati. Matahari makin bergerak ke barat. Sore mulai menjelang. Tanah lapang kian dipadati orang-orang.

"Kyai adalah produk jahilliyah modern"

"Sekali lagi aku katakan, itu bukan salahku. Biar mereka yang menanggung dosanya"

"Tapi kyai-kan punya otoritas. Badan besar dengan tanduk melengkung tajam bisa digunakan untuk menghentikan praktek-praktek syirik yang menempel dan ditempelkan pada kyai. Jangan mau dikirab! Kyai akan dihisap nantinya di akherat".

Sebenarnya aku sedih juga melihat kelakuan manusia. Ritual kebudayaan dijadikan selubung untuk mensuburkan tradisi jahilliyah itu. Semua yang bersentuhan denganku diperebutkan. Air bekas aku mandi, liur dari mulut sampai kotoranku dijarah, dijadikan semacam azimat(sesuatu yang mustajab).

Menjelang 1 suro, ulama-ulama sekotaku giat melancarkan perang urat syaraf. Menghimbau para jama'ah serta masyarakat jangan menonton aku. Telah terjadi pembalikkan.

"Sampai kapan kyai dikultuskan?". Ocehannya makin menggangguku dengan kalimat sarkasme. "Lihat kelakuan pengasuhmu". Burung itu memaksaku untuk menatap pria yang sedang nongkrong di angkringan dekat situ. Makan, minum, merokok,....

"Uang yang dipakai pemberian pria bermobil. Seharusnya untuk dibelikan sayuran buat kyai. Itu yang dinamakan baik? Manipulatif koruptif!"

Sore ini cuaca sungguh cerah. Bulan ini yang normalnya intensif hujan sepertinya tak berkehendak. Aku menatap tingkah laku manusia berjejeran ditempatku. Sebaliknya mereka mengamati tarianku.

"Kyai slamet lagi bete, ya bu?". Tangan anak itu menjulurkan mentimun ke mulutku. Tidak aku gubris. Aku cuek habis.

"Taruh saja disitu nak", saran si ibu pada anaknya.

Sore berkibar lebat. Keramaian mengapung dendam. Aku melenggang kangkung. Kemana hud-hud? Ocehannya tidak terdengar. Pandanganku menyapu setiap sudut. Kakiku kuajak menjamahi lekuk-lekuk tanah seputaran kandang. Dimana dia?

"Kyai.....". Pandanganku kuarahkan ke sumber suara. Aku mendekat. Kulihat hud-hud tiarap. Mukanya pucat mayat.

"Kenapa kamu?". Hud-hud hanya terpana matanya melotot paruhnya gemetar.

"Lihat sosok yang berdiri disana bersayap seperti aku". Hud-hud menunjuk. Pandanganku mengikuti arahannya.

"Ada apa dengan dia?". Hud-hud tidak menjawab. Getar ketakutan terpancar dari rautnya.

"Aku mohon pamit, kyai"

"Lho, mau kemana? Ini sudah mendekati rembang senja. Bukankah pandanganmu selalu menurun?"

"Aku mau ke Jabalkat, tempat paling aman...". plash! Ia melesat cepat. Baru kali ini aku melihat ia terbang secepat kilat.

"Assalamu'alaikum". Sebuah salam ber-aura surga bergema dari celah belakang.

Aku menjawab sembari menoleh. Dekat sekali ia berdiri dengan magisnya.

"Wahai makhluk Allah, kemana temanmu ?"

"Siapakah tuan dan mau perlu apa dengannya?"

"Aku Izroil, utusan Tuhan".

Aku tercekat. Izroil tersenyum. Ini malah membuatku kian tercekik. Tulang serasa berloncatan. Kulitku merinding menebal.

"Jangan takut. Takdirmu bukan saat ini"

Kalimat itu menolong jiwaku yang terguncang. Aku menghela lega. Pupus sudah leleran keringatku.

"Menurut catatan langit, hari ini, tepatnya rembang senja aku harus mencabut nyawa Hud-hud di Jabalkat. Yang membuat aku heran, dia kok berada disini?"

"Wahai malaikat Allah, kehadiranmu membuat sahabatku kelabakan. Jiwanya berantakan. Ia telah pergi cepat menuju Jabalkat. Tempat yang menurutnya paling aman".

"Oh ya?", Izroil datar tersenyum,"Tidak ada tempat yang paling aman didunia ini kalau takdir tertoreh padat. Terimakasih, aku akan menyusulnya. Assalamu'alaikum".

Belum sempat ku jawab ia sudah lenyap. Aku merenung bengong.

Sore makin menua, kerumunan manusia menyusut pelan menyisakan gumpalan-gumpalan pendar cahaya temaram. Rembang senja melewati garis batas.[tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun