Aku mendiam. Kebiasaan ini aku genggam. Hud-hud terus mengumbar cerita sembari mematuki punggungku. Irama benturan paruh dengan kulit menciptakan bunyi alami.
"Baginda Sulaiman adalah raja yang bijak. Sangat dicintai makhluk yang berdiam diwilayahnya. Dari jin, manusia hingga cindil(anak tikus)di ayomi, diperlakukan sebagaimana hakikatnya. Ia imparsial. Ini menimbulkan rasa hormat serta cinta pada baginda. Impresiv. Kerajaannya sungguh makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.
Tapi sayang, makhluk satu yang bernama manusia memang kadang tak tahu balas budi. Penuh nafsu angkara, jahat, serakah, manipulatif".
"Masa?". Aku menyanggah. "Pengasuhku manusia baik"
"Kyai belum tahu saja. Nanti suatu saat akan tahu macam apa pengasuhmu itu".
Nafasku tertahan beberapa detik. Kalimat terakhir seperti gelombang panas menghantam nurani. Sesak.
"Kebijakan yang yang diterapkan baginda ternyata belum cukup memuaskan hasrat manusia. Sekelompok diantara rakyatnya berhasil diprovokasi jin ifrit untuk menggulingkan tahtanya. Ketika beliau gencar-gencarnya mencurahkan perhatian pada pembangunan kawasan pinggir, kelompok tadi-terdiri dari golongan hedonis, picaroon, beberapa elit kabinet-melakukan konspirasi. Agitasi diledakkan dikerumunan rakyat agar terjadi perpecahan dan ketidaknyamanan. Hingga pecahlah coup d'etat. Huru-hara melimpah menyeruak, mengharubiru. Endemik kebingungan menggerogoti hati rakyat. Sabda beliau sudah tidak didengar lagi"
Hud-hud bercerita dengan mimik sedih.
"Usia uzur membuka jalan bagi sayap pemberontak menyingkirkan beliau dari singgasana. Badai pemberontakan batas akhir beliau memimpin kerajaannya. Aku melihat dengan jelas detik-detik peristiwa itu. Baginda terjungkal dan meninggal dunia"
"Stop!". Aku berteriak lantang hingga pengasuhku njondil(kaget)
"Wah..wah..kamu ngaco luar biasa! He! Apa dikira aku tidak paham kisah itu?