Sore ini cuaca sungguh cerah. Bulan ini yang normalnya intensif hujan sepertinya tak berkehendak. Aku menatap tingkah laku manusia berjejeran ditempatku. Sebaliknya mereka mengamati tarianku.
"Kyai slamet lagi bete, ya bu?". Tangan anak itu menjulurkan mentimun ke mulutku. Tidak aku gubris. Aku cuek habis.
"Taruh saja disitu nak", saran si ibu pada anaknya.
Sore berkibar lebat. Keramaian mengapung dendam. Aku melenggang kangkung. Kemana hud-hud? Ocehannya tidak terdengar. Pandanganku menyapu setiap sudut. Kakiku kuajak menjamahi lekuk-lekuk tanah seputaran kandang. Dimana dia?
"Kyai.....". Pandanganku kuarahkan ke sumber suara. Aku mendekat. Kulihat hud-hud tiarap. Mukanya pucat mayat.
"Kenapa kamu?". Hud-hud hanya terpana matanya melotot paruhnya gemetar.
"Lihat sosok yang berdiri disana bersayap seperti aku". Hud-hud menunjuk. Pandanganku mengikuti arahannya.
"Ada apa dengan dia?". Hud-hud tidak menjawab. Getar ketakutan terpancar dari rautnya.
"Aku mohon pamit, kyai"
"Lho, mau kemana? Ini sudah mendekati rembang senja. Bukankah pandanganmu selalu menurun?"
"Aku mau ke Jabalkat, tempat paling aman...". plash! Ia melesat cepat. Baru kali ini aku melihat ia terbang secepat kilat.